Baca : BAGIAN 4
MY SECRET FEELING © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
Story by
Mickey_Miki
.
.
.
.
SUMMARY
Rate: M
Genre: Romance & drama
Story by
Mickey_Miki
.
.
.
.
SUMMARY
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
.
.
.
.
.
.
.
.
BAGIAN 5
Aku terbangun saat matahari menyinari wajahku. Ku sibakkan selimut lantas turun dari ranjang dan menghampiri kamar mandi. Setelah membasuh wajah aku turun ke dapur. Di atas meja sudah ada makanan yang disiapkan istriku. Istri yang selama delapan bulan menemaniku. Walau sifatku dingin padanya dan tak berperasaan dia tetap betah bersamaku. Melakukan semua pekerjaannya sebagai seorang istri yang tak jarang juga ku tanggapi.
Sebenarnya selama ini aku sudah menyukainya, namun entah kenapa aku tidak bisa menunjukkannya. Aku selalu memperhatikannya namun tidak secara langsung. Di kantor maupun di rumah. Aku tahu semua kesulitan yang dia hadapi di kantor, hampir semua karyawan tidak menyukainya, aku tidak tahu apa masalahnya dan aku juga tidak pernah menanyakannya.
Bahkan semalam sahabatku Lena mengatakan agar aku terbuka padanya, menunjukkan sedikit perhatianku.
Aku pergi lari pagi, makanan sudah ku siapkan di meja makan jika kau lapar.
Zahya.
Seperti biasa dia pergi lari pagi sebelum ke kantor. Aku senang memiliki istri seperti dia yang mau menjaga kesehatan dan walaupun dia adalah seorang istri CEO tak pernah sekali pun dia meminta sesuatu padaku untuk membeli sesuatu.
Ceklek
Suara pintu pagar terdengar, aku keluar sekedar melihatnya. Hatiku bergemuruh ketika melihatnya bersama seorang pria. Siapa laki-laki itu mereka tampak senang, Zahya juga tertawa berbeda ketika bersama denganku.
Aku kembali ke dapur, memakan masakan yang sudah dia masak dengan perasaan tidak tenang. Otakku terus mengingat Zahya dan laki-laki itu. Siapa laki-laki itu? temannya, kah? Sahabatnya? Atau.... kekasihnya?
Aku menggelengkan kepala kuat. Aku tidak pernah berharap pada pertanyaan terakhir itu. Jawaban atau apapun yang keluar dari mulutnya untuk pertanyaan itu. Aku tidak ingin dia pergi, meninggalkanku dengan hatiku yang sudah tertancap namanya.
Tidak berapa lama dia datang dan mengambil air minum di kulkas.
“Kau dari mana saja?” Tanyaku datar berusaha menyembunyikan kegusaran.
“Bukankah aku sudah memberitahumu lewat catatan itu?” Sahutnya juga dengan nada tak kalah datar sambil menunjuk catatan yang tertempel pada kulkas. Astaga kenapa dengan nada bicaranya, apakah dia berniat membalasku karena sering berperilaku dingin terhadapnya? Atau karena dia berusaha menghindar dariku. Oh, semoga saja tidak. Aku tidak akan bisa dan tidak akan kubiarkan itu terjadi.
Aku masih memperhatikannya yang sedang menuangkan jus dan air putih pada gelas.
“Siapa yang mengantarmu tadi?” tanyaku sekali lagi setelah dia menaruh jus di samping piring makanku. Biarlah dia menganggapku cerewet dan banyak urusan yang penting aku bisa memastikan, toh dia istriku dan aku memiliki kewajiban untuk mengetahui semua tentangnya.
“Oh... dia Bagas, kami tadi bertemu saat lari pagi.”
Santai sekali dia menjawab. Lagipula apa maksudnya baru bertemu dan terlihat akrab seperti tadi bahkan dia tertawa. Tapi untunglah, dia bukan siapa-siapa Zahya.
Aku menghela nafas lega, karena memikirkan hal-hal buruk tentangnya. Aku melanjutkan makan, namun berhenti ketika pandanganku menangkap matanya yang terus menatapku. Mungkin dia merasa bingung dengan tingkah lakuku pagi ini. Lebih menampakkan kepedulian padanya yang jarang sekali ku lakukan atau bahkan tidak pernah. “Ada apa?”
“Bukan apa-apa. Oh ya, apa kau tidak ke kantor?” Jawabnya lalu melanjutkan makan nampak tak peduli dengan pertanyaannya. Aku terus menatapnya yang sedang makan. Lahap sekali dia. Sepertinya dia sangat lelah sehabis lari pagi. “Mungkin sekitar jam 8.” Jawabku kemudian.
Dia diam menatapku nampak seperti memikirkan sesuatu. “Kau kenapa? Apa aku salah menjawab pertanyaanmu?”
Dia menggeleng dan detik berikutnya dia tersenyum. Senyum yang sangat manis. Apa dia selalu menampakkannya pada semua orang termasuk laki-laki tadi? Pantas saja laki-laki itu pergi dengannya. “Tidak. Kau tidak salah menjawab.” Jawabnya lantas membereskan peralatan makan. “Aku duluan.” Setelah mengatakan itu dia pergi meninggalkan aku yang masih terpaku. Ada apa? Apa perubahanku ini sangat mengejutkannya hingga dia bertingkah aneh juga?
Tidak lama dia dia turun dengan mengenakan pakaian kerjanya. Sejujurnya aku senang dia menggunakan pakaian seperti itu, pakaian yang tidak menampakkan lekuk tubuhnya. Kemeja putih dilapis blazer dengan celana kain berwarna crem. Aku tidak tahu kenapa dia tidak suka memakai rok pencil ke kantor dan malah lebih senang memakai celana. Di saat para karyawati kantorku gencar-gencarnya memamerkan lekuk tubuhnya, istriku malah sebaliknya. Mungkin aku adalah suami yang sangat beruntung mendapatkan istri seperti dia.
“Aku pergi duluan.” Ucapnya saat melewatiku.
“Hn. Hati-hati.” Sahutku namun hanya ku irik dari sudut mataku. Dia berhenti sejenak. Dan menatapku. Kenapa, adakah yang aneh padaku? Aku berpaling menatapnya namun ketika ingin kutanyai dia sudah melanjutkan peralanannya.
Ku lirik jam dinding yang terletak di atas TV yang sudah menunjukkan pukul 7.00, aku pun bersiap-siap untuk ke kantor. Seperti biasa istriku sudah menyiapkan pakaian kerjaku walau sering kuabaikan namun dia tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri. Aku mungkin adalah seorang suami yang tak tahu diri tapi aku juga tak tahu harus bertindak bagaimana. Jika berada di dekatnya bawaannya selalu tegang, jantungku tidak berdetak dengan tenang dan akhirnya hanya diam yang bisa ku lakukan tak jarang pula aku bersikap dengin hanya untuk menutupi rasa gugupku. Jika boleh jujur padanya aku ingin mengatakan bahwa sedari awal aku bertemu dengannya sebelum perjodohan itu aku sudah menyukainya. Walau dengan penampilan sederhana yang jauh dari kata menarik aku menyukainya.
Dia lucu namun ada kalanya dia bertindak tegas. Dia juga sangat sensitif padahal sifatnya sangat tomboy, hatinya gampang tersentuh oleh sesuatu yang menyedihkan walau pandangan orang lain tidak.
Dua puluh menit setelah perjalanan aku sampai pada kantor tempatku kerja. Ruanganku terletak pada lantai 35, lantai yang di khususkan untuk ruangan direksi termasuk pemilik dari perusahaan ini. Aku berjalan menyusuri lorong menuju ruanganku di ujung ruangan tepatnya di depan pintu masuk ruanganku sudah ada sekertarisku. Aku hanya menghela nafas melihat pakaian yang dia kenakan, apakah gaji yang ku berikan tidak cukup untuk membeli baju yang layak?
“Selamat pagi pak.” Ucapnya dengan nada yang terdengar seperti suara cicak yang terjepit kursi. Apa salahnya menggunakan nada bicara seperti biasa? Toh itu terdengar lebih baik.
Aku hanya berjalan tak menanggapi sapaannya. Memasuki ruanganku tanpa harus dibukakan pintu olehnya.
Aku duduk di kursi kebesaranku membuka file-file yang sudah di letakkan di atas meja kerjaku. Belum 15 menit berlalu, sekertarisku mengirimkan jadwal hari ini. Sekitar pukul 10 hari ini client dari perusahaan web akan datang untuk membahas kerja sama. Perusahaanku akan membuat iklan untuk pembukaan hotel baru di daerah kota Kendari. Daerah itu memang tidaklah besar namun potensi untuk menghasilkan uang sangatlah banyak.
“Oliv, hubungi bagian accounting untuk menyerahkan laporan bulanan.” Pintaku pada sekertarisku. Ah.. aku ingat bagian divisi accounting adalah tempat kerja istriku. Aku jadi merindukannya.
Bunyi intercome membuyarkan lamunanku, “Pak, orang-orang dari perusahaan web telah tiba.” Ucap sekertarisku.
“Baiklah, suruh mereka masuk.” Sahutku dan tidak lama kemudian orang-orang dari perusahaan web memasuki ruanganku.
“Si─” ucapanku terhenti saat melihat seseorang yang baru memasuki ruanganku. “Max. Jadi kau? Astaga... Jadi kau pemilik perusahaan web?” Ucapku tak percaya. Ternyata sahabat kuliahku sendirilah yang menjadi pemilik perusahaan itu.
“Hei.. Jangan lupakan aku, Jo.” Sahut seseorang yang berada di samping Max.
“Billi? Kalian?”
Mereka mengangguk. “Yah, perusahaan web ini adalah milik kami berdua. Kami yang mendirikannya. Hebat, bukan?” jelas Max dengan gaya percaya dirinya seperti biasa.
“Kalian benar-benar hebat. Tidak ku sangka ternyata hobi kalian yang bermain-main itu mampu membuahkan hasil seperti ini.”
“Hei... Apa maksudmu main-main? Itu adalah seni.” Protes Billi. Tak terima dengan penjelasanku. Aku benar-benar kagum pada mereka. Padahal sewaktu kuliah mereka adalah mahasiswa yang terkenal karena kemalasan dan kenakalannya. Namun yang ku lihat sekarang sangat berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Ternyata kepintaran tak selamanya menjamin kesuksesan seseorang dan tidak menuntut kemungkinan jika hobilah yang akan membuat kita bisa sukses seperti mereka.
“Sudahlah. Masa lalu nanti saja dibahas. Aku tahu kau sedang sibuk dengan proyek barumu itu, jadi berhenti memabahas itu sekarang kita lanjutkan masalah pengiklanan ini.”
“Yah... baiklah.”
Dari penjelasan mereka akhirnya satu yang ku sadari, sejak saat kami meninggalkan kampus mereka sudah sangat berubah. Penjelasan yang mereka berikan sangat mudah ku terima bahkan terkesan sangat hebat. Dengan ide-ide baru yang mereka tawarkan, pantas saja banyak yang menyewa jasa mereka.
Tok.. tok.. tok...
“Maaf pak laporan bulanan yang anda minta sudah dibawa kemari.” Jelas sekertarisku setelah membukakan pintu untuk mempersilahkan seseorang.
Tidak berselang lama seseorang memasuki ruangan kerjaku. Dari cara berpakaiannya sepertinya aku kenal. Astaga Zahya, kenapa dia yang membawa semua laporan itu, kemana karyawan lain? Seharusnya laki-lakilah yang membawa laporan itu. Aku mengalihkan tatapanku pada sahabatku dan ternyata mereka juga menatapnya. Apa-apaan mereka kenapa menatapnya seperti itu? Itu bukanlah tatapan keheranan melainkan tatapan kekaguman pada seorang wanita. Mereka tidak mungkin menyukai istriku, kan? Dia bukanlah tipe mereka.
“Hei, siapa gadis itu?” Aku menaikkan satu alis ketika Billi mengajukan pertanyaan itu.
“Dia sudah memiliki suami. Lagipula sepertinya wanita tadi bukanlah tipemu.” Jelasku walau bukan jawaban dari pertanyaannya.
“Seseorang akan berubah seiring dengan berjalannya waktu, kawan. Termasuk aku dan mungkin juga Max. Lagipula ada apa dengan nada sinismu itu, tidak biasanya. Bukankah kau tidak pernah memedulikan bagaimana dengan sikap kami dulu?”
“Seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu, kawan.” Jelasku mengikuti cara bicaranya.
“Hei, apa-apaan kau. Kau benar-benar banyak berubah. Tapi jujur aku memang tertarik pada wanita itu. Dia terlihat berbeda. Sangat sederhana walau tampilannya sangat jauh dari kata menarik namun dia memiliki pesona yang tidak bisa ditolak. Kenalkan aku padanya, yah.” Mintanya. Apa yang harus ku lakukan? Aku tidak ingin dia mendekati istriku, tetapi aku juga merasa sulit untuk mengungkapkan yang sebenarnya.
“Jika kau ingin dekat dengannya, kau juga harus terbuka. Jujur dan menerima itulah yang harus kau lakukan.”
Kata-kata Lena terngiang di kepalaku. Aku memang harus jujur jika ingin lebih dekat dengan istriku, tetapi haruskah secepat ini membongkar rahasia kami? Padahal aku sendiri yang melarangnya untuk tidak memberitahukan kepada siapapun.
“Aku tidak bisa, Bill.” Sahutku. Mereka menatapku heran.
“Kenapa kau pelit sekali? Lagipula dia hanyalah karyawanmu. Apa susahnya, sih?
“Tentu saja aku tidak bisa, Bill karena dia....”
“Dia? Dia kenapa?” Sahut Max dengan satu alis yang terangkat.
Aku menghela nafas. Ini memang harus kulakukan untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi di kemudian hari. “Karena...karena dia... Istriku Bill.”
.
.
.
.
TBC
a/n : Sampai disini dulu, nanti bakal dilanjut. Hehehe...
Terima kasih sudah dibaca ^,^
See u
Mickey
22.07.16
Next : BAGIAN 6

Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment