BACA : BAGIAN 5
BAGIAN 6
Jika kau ingin dekat dengannya, kau juga harus terbuka. Jujur dan menerima itulah yang harus kau lakukan.
MY SECRET FEELING © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
Story by
Mickey_Miki
.
.
.
.
SUMMARY
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
.
.
.
.
.
.
.
BAGIAN 6
“Jika kau ingin dekat dengannya, kau juga harus terbuka. Jujur dan menerima itulah yang harus kau lakukan.”
Kata-kata Lena terngiang di kepalaku. Aku memang harus jujur jika ingin lebih dekat dengan istriku, tetapi haruskah secepat ini membongkar rahasia kami? Padahal aku sendiri yang melarangnya untuk tidak memberitahukan kepada siapapun.
“Aku tidak bisa, Bill.” Sahutku. Mereka menatapku heran.
“Kenapa kau pelit sekali? Lagipula dia hanyalah karyawanmu. Apa susahnya, sih?
“Tentu saja aku tidak bisa, Bill karena dia....”
“Dia? Dia kenapa?” Sahut Max dengan satu alis yang terangkat.
Aku menghela nafas. Ini memang harus kulakukan untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi di kemudian hari. “Karena...karena dia... Istriku Bill.”
Dan penjelasanku itu sukses membuat mereka terbelalak tak percaya. Meski dengan susah payah, alhasil kalimat itu akhirnya terlontar juga. Aku bernafas lega. Akhirnya dua kata yang selama ini selalu ku tekan karena egoismeku, kini meluncur tanpa beban. Aku tidak akan lagi peduli dengan tanggapan mereka, yang terpenting mereka sudah mengetahui bahwa Zahya, perempuan yang membuat mereka tertarik itu adalah istriku.
“Kau bercandakan Jo? Kau mana mungkin sudah menikah. Bukankah kau bilang akan menikah saat usiamu sudah menginjak kepala tiga? Memang sekarang usiamu berapa? Tiga puluhan?” Pertanyaan yang diselingi dengan nada bercanda itu tak ku hiraukan. Memang dulu aku pernah berkata seperti itu, tetapi waktu membawa sebuah perubahan pada seseorang, aku berubah pikiran setelah bertemu dengan dia. Bagiku dia adalah perempuan unik yang sangat langka bahkan hanya ada satu di dunia ini. Aku tidak mungkin membuang kesempatan untuk memilikinya.
“Aku tidak bercanda, Max. Aku serius. Kami menikah delapan bulan lalu dan hanya mengundang tamu dari keluarga besar saja.” Jelasku dan sukses membuat mereka kembali terbelalak.
“Wow... Apa ini sebuah kejutan?” Tanya Bill tidak percaya namun terselip nada candaan di dalamnya.
“Bill, aku benar-benar serius. Apa aku pernah berbohong pada kalian?”
“Tidak ku sangka. Dan kenapa tak ada undangan yang kami dapatkan?”
“Maaf. Bahkan diperusahaanku sendiri tak ada yang tahu siapa istriku atau mungkin mereka tidak tahu jika aku sudah memiliki seorang istri.”
“Dan kenapa tak ada satupun karyawanmu yang tahu?” Billi semakin bersikeras bertanya. Aku sendiri yang menyuruh istriku untuk tak memberitahu siapapun jika kami sudah menikah dan alasannya pun hanya untuk melindunginya dari saingan bisnisku yang perusahaannya sudah ku singkirkan dan kebanyakan memang jatuh bangkrut. Tapi entahlah, ada hal lain yang aku sendiri tak tahu mengapa aku lakukan itu.
“Untuk melindunginya.” Sahutku tak yakin dan kurasa mereka menyadari nada bicaraku itu.
Bill menghela nafas lalu menatapku. Aku tahu dia kurang yakin dengan penuturanku itu, “Kau─”
“Kau bahkan tidak yakin dengan alasanmu itu.” Max memotong ucapan Bill dan perkataannya itu sangatlah benar.
“Entahlah. Aku juga tidak tahu pasti.” Sahutku.
“Kau pasti mencintainya? Melihat sikapmu ini, aku yakin kau sangat mencintainya. Tapi dengan sikapmu yang seperti ini, aku yakin dia tidak tahu dengan perasaanmu itu, menilik dengan sifatmu selama ini─ well, kurasa tidak jauh berubah dari yang dulu─ dan kau tahu, tidak hanya kami saja yang berniat ingin mendekatinya, banyak juga laki-laki lain, pasti banyak yang berlomba untuk mendapatkan dia. Bahkan aku yakin jika dia menemukan seseorang yang cocok dengannya, dia pasti akan membuka diri pada mereka dan kemungkinan akan meninggalkanmu.” Timpal Bill.
Kata-kata itu seperti palu godam yang mengenai kepalaku dan menyadarkanku tentang semua sikap salah yang selama ini kulakukan terhadap istriku. Mereka benar, jika sikapku seperti ini terus, istriku pasti akan menyerah dan membuka diri pada pria lain lalu aku pasti akan dia tinggalkan.
Tidak. Aku tidak mau. Aku sangat mencintainya, walau istriku itu tidak mengetahuinya. Aku tidak ingin dia pergi dariku, aku tidak ingin melepaskannya dan berbahagia dengan laki-laki lain selain aku.
Sudah cukup penantianku selama beberapa tahun untuk mendapatkannya, sampai-sampai aku merendahkan harga diriku pada ayah untuk menjodohkanku dengan istriku itu. Aku tidak mau sampai itu terjadi. Aku pasti akan gila jika tanpanya.
Bill, menepuk pundakku, “Kau pasti bisa.” Katanya lalu melirik Max yang tengah memperhatikan kami. “Kami yakin kau pasti bisa. Dan─ well, waktu kami sudah habis. Kami harus segera kembali, beberapa client tengah menunggu kami. Kau tahu, kami sangat sibuk.” Lanjutnya sambil memberiku semangat lewat senyumnya.
“Thanks.” Sahutku tulus.
....
Ponsel di saku celanaku begetar. Pekerjaan yang sedari tadi kukerjakan dengan terpaksa ku akhiri untuk menjawab panggilan ini. Bill. Ternyata dialah yang sedang menghubungiku. Oh, sudah bisa ditebak apa yang ingin dia katakan. Pasti ajakan party sama seperti ketika di Harvard dulu.
Dengan malas aku mengangkatnya. Aku tidak mau ponselku bergetar terus dan terus menggangguku. Bill adalah orang yang pantang menyerah dan akan melakukan apapun untuk membuatku menuruti apa yang dia inginkan.
“Hn. Apa yang kau inginkan Bill?” sahutku sebelum dia mengatakan maksudnya.
“Hehehe... Party pelepasan status bujang. Kami tunggu di Stocholm. Ada Rei juga.”
“Aku ta─”
Ah sial. Kebiasaannya tidak berubah. Padahal aku ingin cepat pulang untuk melihat istriku dan juga agar aku tidak melihatnya berpura-pura menonton tv karena menungguku. Well, walau bagaimana pun dia berbohong aku pasti tahu.
Dia terlalu mudah untuk ditebak. Terlalu polos untuk berbohong seperti anak-anak yang baru belajar bebohong. Tapi aku juga sangat menyukai ekpresinya ketika berbohong, bibirnya terlihat seksi ketika tanpa sengaja dia gigit karena berbohong seolah mengundangku untuk mencicipinya. Dan juga wajah yang seperti anak anjing yang ingin dibelai oleh majikannya. Aku benar-benar rindu padanya.
Kira-kira apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sedang memikirkanku? Oh, ku harap begitu. Aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi menggemaskannya ketika membayangkanku, bibirnya yang melengkung ke atas dan membuat matanya menyipit sambil membayangkan diriku─ Ah...andai itu memang terjadi.
Tapi sayang, sepertinya hanya aku saja yang selalu memikirkan hal itu. Memikirkan dia dalam tiap kegiatanku, istirahat ataupun bekerja karena dengan memikirkannya membuatku lebih bersemangat untuk menyelesaikan semuanya.
Mencintai tak berarti memiliki. Bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia namun bukan karena diri kita tetapi dengan orang lain. Kata-kata yang benar-benar menggelikan sampai membuatku bergidik. Aku bukanlah orang yang seperti itu. Aku adalah orang yang egois, apapun akan kulakukan untuk mendapatkan apa yang kumau termasuk hati dan cinta dari wanita yang kuinginkan.
Tapi gara-gara Bill, aku tidak bisa melihat raut bahagia istriku ketika melihatku pulang.
Dalam perjalanan menuju klub tak henti-hentinya aku memikirkan istriku. Seperti ketika istirahat makan siang. Entah karena apa dia langsung meninggalkan kafe ketika melihatku yang baru datang di sana padahal ku tahu waktu istirahat makan siangnya pun masih tersisa banyak. Apakah dia memang tidak menyukaiku dan tidak ingin melihatku yang masuk ke dalam sana dan menjadi pusat perhatian hingga membuatnya terganggu untuk melanjutkan makannya atau dia cemburu pada Lena. Oh andai pilihan kedua memang benar. Aku pasti sangat bahagia, karena jika begitu berarti perasaanku bukanlah cinta sebelah pihak saja.
Mobil sudah berhenti tepat di depan sebuah klub malam ternama di kotaku. Klub malam yang hanya bisa dimasuki oleh kaum yang memiliki tingkat keuangan di atas rata-rata. Tentu saja karena klub malam ini tidak hanya memiliki desain interior mengagumkan, minuman-minuman yang berkelas juga pelayanan seperti tamu VVIP. Well, itu adalah penjelasan dari Bill dan memang terkesan sangat berlebihan. Ini adalah kali pertama aku memasuki klub malam setelah beberapa tahun lulus dari Harvard. Jadi jika ditanya soal klub-klub malam yang terdapat di kotaku maka jawabanku adalah tidak tahu apa-apa.
Dua petugas keamanan sudah bersiap di depan pintu masuk klub. Tubuh mereka lebih kekar dari tubuhku, otot-ototnya tercetak jelas di balik kaos hitam yang mereka gunakan bahkan wajah mereka pun tak menunjukkan adanya keramahan.
“Maaf, tolong kartu pengenal Anda!” Ucap salah satu petugas itu sambil menahan langkahku yang ingin memasuki klub malam ini.
Tak ingin membuat masalah, aku segera menyerahkan kartu nama pada petugas itu. Aku tahu ini adalah prosedur karena klub ini sangat terkenal jadi cara masuknya juga ketat─walau aku tidak suka.
Tidak lama kemudian petugas itu membiarkanku lewat. Suara dentuman alat musik elektro memasuki indra pendengaranku dan itu sangat membuatku tidak nyaman. Bukan tidak nyaman pada musiknya tetapi pada tatapan liar dari wanita-wanita di dalam klub yang akan ku dapatkan.
Aku semakin mengedarkan pandanganku ketika tak menemukan ciri-ciri dari ketiga temanku itu. Entah dimana keberadaan mereka di antara kerumunan orang-orang liar di sini. Ponselku bergetar, Bill yang tengah menghubungiku saat ini.
“Aku berada di depan meja bar untuk menemui temanku. Kalau mereka berdua ada di lantai dua, ruang khusus tamu VIP. Tanya saja pada penjaga di sana ruang tempatku berada. Mereka akan mengerti.” Katanya sebelum mematikan hubungan.
Laki-laki itu memang tak berubah. Tetap saja bodoh, jika aku tidak memasang kupingku baik-baik di tengah dentuman musik klub ini aku mungkin tak akan mendengar apa yang dia katakan.
Tapi tetap saja aku yang lebih bodoh karena mau menuruti apa yang dia inginkan.
Setelah melalui beberapa rintangan yang dibuat oleh wanita-wanita liar yang ada di dalam klub ini, aku berhasil menemukan ruang yang dimaksud Bill. Sesuai dengan namanya, ruangan ini memang diperuntukan oleh mereka yang ber-uang banyak. Ruangan ini sangat berbeda dengan ruang VIP ataupun VVIP yang berada di klub-klub yang pernah kukunjungi. Tidak hanya dekorasi ataupun interior yang dipadukan dengan seni-seni design lain, tetapi kenyamanan yang disuguhkan dalam ruangan ini memang sangat baik. Oh, jangan lupakan jika lantai ruangan ini terhubung dengan lantai 1 dance floor, hingga orang-orang di bawah sana bisa terlihat namun tidak dengan mereka. Lantai 2 ini memang nampak seperti riben namun dengan desain yang lebih elegan, berkelas namun liar.
Dasar, sialan si Bill itu, bisa-bisanya dia menemukan tempat sebagus ini.
Rei dan Max masih tetap seperti dulu. Mereka bahkan sangat tidak terlihat seperti seorang eksekutive muda. Mereka malah lebih nampak seperti bad boy kurang kerjaan dan pemalas.
“Lama sekali kau. Kami sudah hampir satu jam menunggumu─” Rei dengan gaya malas-malasannya sambil menyesap minuman perpaduan warna kuning dan hijau yang tampak bening, “Padahal ini adalah pesta pelepasan bujangmu.”
“Hn. Sudah terlambat. Aku menikah sudah hampir setahun.”
“Terserahlah.” Max menyahuti perkataanku. Ekspresinya masih tetap sama. Datar walau dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
Pesta perpisahan bujang yang mereka sebutkan, tidak lama kuikuti. Pesta yang kupukir akan berakhir dengan mabuk-mabukan dan ditemani oleh wanita asing diranjang hotel untuk semalam, sama seperti ketika masih bersekolah dulu. Well, tidak. Terima kasih. Aku sudah memiliki seorang istri yang amat sangat kucintai dan walau tak pernah ku sentuh sedikit pun.
Jam pergelangan tanganku sudah menunjukkan angka sembilan lebih, rekor pertama untukku karena bisa pulang tak lebih dari satu jam dari sana dan tanpa banyak alkohol yang mengisi lambungku.
Aku sedikit tersenyum ketika mengingat kelakuan dari sahabat pirangku itu sebelum beranjak dari sana. Tak pernah berubah dengan kekonyolan yang dia lakukan. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan seorang lelaki dengan penampilan seperti wanita dengan tubuh seksi yang dia bawa ke hadapan kami. Entah dia sadar atau tidak. Dia semakin bersemangat memamerkannya, menyuruhnya menari strips di depan kami dengan gaya yang begitu menggoda bahkan pada payudara sintesisnya yang nampak nyata.
Aku yakin baik Rei maupun Max menyadari itu, namun tidak dengan Bill, yang terlihat semakin tergoda dengan gaya lelaki itu. Bahkan dia hampir menciumnya kalau saja Max tidak memberitahu tentang kelamin asli dari laki-laki itu. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan ekpresi terkejut juga menjijikkan yang dia tampakkan. Pekikannya bak seorang wanita yang mengetahui bahwa dirinya tengah diintip ketika mandi. Itu benar-benar sangat lucu dan untung saja Max sempat merekamnya.
Namun ada hal yang benar-benar menyadarkanku. Membawaku pada suatu kenyataan yang membuatku mungkin akan sangat menyesalinya jika kuteruskan. Percakapan kami sebelum Bill datang. Max dan Rei, seolah mereka juga telah mengalami sesuatu yang sama seperti yang terjadi padaku saat ini. Pergolakan batin karena terlamapu mencintai seseorang hingga membuatku melakukan perbuatan bodoh dan mungkin juga membuatnya semakin tidak nyaman terhadapku.
“Well, entahlah. Aku sendiri tak yakin. Aku memiliki masalah.” Akuku hingga membuat mereka mengentikan kegiatan yang mereka lakukan. Mereka menyerngit. Heran atau pun tidak percaya. Selama ini, kalaupun aku memiliki masalah, aku bisa dengan mudah menyelesaikannya. Namun tidak dengan masalah ini. Aku bahkan tak memiliki solusinya, semua perhitungan ataupun rencana yang sudah kebuat tak satupun bisa berhasil menyelesaikan masalahku.
“Masalah? Apa?” Max bertanya masih dengan keadaan heran. Minuman yang tadi ingin disesapnya ditaruh di atas meja dan beralih menatapku.
“Aku tidak yakin, apa aku boleh menceritakan ini dengan kalian. Well, kalian mungkin tidak pernah mengalami seperti yang kualami sekarang. Tapi... Aku benar-benar sudah tidak sanggup memendamnya.” Jelasku belum memberitahu masalahku.
Rei tampak tak suka dengan pernyataanku hingga memberikan delikan tajam padaku. “Kami tidak akan tahu masalahmu, dude kalau kau tidak memberitahukan. Well, kau pikir selama beberapa tahun ini apa yang kami lakukan? Kami tidaklah sama seperti beberapa tahun yang lalu saat masih berada di sekolah.” Jelasnya.
“Aku.. Aku tidak bisa melakukan kontak fisik dengannya. Maksudku bahkan hanya sekedar mengobrol pun aku tak sanggup. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku hingga seperti ini. Jelas-jelas aku ingin lebih dekat dengannya, bahkan aku sudah beberapa kali memiliki keseempatan itu. Tapi pada suatu tertentu aku jadi merasa ragu. Seakan-akan dia memiliki tembok penghalang di sekelilingnya. Sulit sekali bagiku untuk bisa mendekatinya. Dan...dan yang bisa kuucapkan hanya anggukan atau gumaman bahkan terkadang kata-kata yang sangat kasar ku berikan.”
Aku tidak tahu apakah ini sudah benar membeberkan masalahku pada mereka. Tapi aku benar-benar tak tahu lagi dengan apa yang harus kulakukan. Aku mempunyai masalah namun tak memiliki satu solusi untuk menyelesaikannya. Aku selalu mendapatkan jalan buntu jika menyangkut tentang istriku. Bahkan selalu membuat pikiranku selalu tak fokus.
“Hm... kupikir pernikahanmu ini hanyalah sebuah alasan yang dilakukan oleh orang tua kalian. Hubungan timbal-balik yang berkedok pernikahan. Tapi sepertinya pikiranku ini salah...” Rei menyahut. Dia menatapku dalam-dalam, seolah menyampaikan maksudnya lewat matanya dengan menatap matanya aku bisa mengerti dengan masalah yang tengah kuhadapi. Namun, nyatanya tak ada satu pun yang bisa kutangkap dari arti matanya itu. Akhirnya aku hanya diam, menunggu kata-kata yang akan dia jelaskan selanjutnya. “Sepertinya perasaanmu terhadapnya... lebih dalam daripada yang kupikirkan.”
“Well, kau benar. Aku sangat mencintainya. Bahkan sangat... sangat mencintainya. Sejujurnya akulah yang menyuruh ayahku untuk menjodohkan kami.” Akuku. Mereka menatapku terkejut karena pengakuanku.
“Tunggu... Jangan bilang kau tidak pernah menyentuh satu wanita pun karena gadis itu?” Aku hanya menatap Max tanpa mengatakan apapun, “Oh ya ampun. Jadi begitu. Ah... Dan kupikir kau adalah laki-laki bodoh yang bisa-bisanya tak mengakui dia sebagai istrimu padahal kau begitu mencintainya. Ingat apa yang kau katakan di kantormu waktu itu? Kurasa kau bukannya ingin melindunginya tetapi untuk alasan egois yang lain... Kau hanya ingin melindungi dirimu sendiri. Ah.. kau benar-benar bodoh. Kemana perginya otak encer yang biasa kau banggakan bahkan mendapat gelar cumlaude?” Dan perkataan Max itu membuatku meringis, seolah ada sesuatu yang ditancapkan ke relung hatiku hingga membuatku tak bisa berkata-kata.
Max benar, aku hanya ingin melindungi diriku. Tetapi dari apa? Aku sendiri tak yakin soal itu.
Kulihat Rei yang sedang menghela nafas, “Kupikir alasan yang tepat adalah karena kau takut. Kau takut orang yang kau sayangi akan meninggalkanmu lagi.” Aku hanya diam, mendengar kata-katanya, “Kau merasa dia lebih berharga dari pada siapapun juga. Itulah kenapa kau sangat susah untuk mendekati dia. Kau pernah diabaikan oleh seseorang yang sangat berharga bagimu dan sekarang hadir lagi orang lain yang seperti itu untukmu...”
“Anabel─”
“Yah, kau benar Max. Anabel adalah orang yang sangat disayangi oleh Jo. Kakak, sahabat, juga orang yang sangat memperhatikan Jo. Dia adalah wanita yang disayangi Jo dan sangat dia percayai, dan dia juga yang menjadi penyebab Jo seperti ini─”
“Apa maksudmu, Rei?” Max menatap Jo yang masih menatapku iba. Aku menunduk, tak ingin kenangan lama itu kembali hadir. Dan membuatku kembali terpuruk. “Ya Rei. Jo merasa ada kemungkinan dia akan ditinggalkan dan terluka lagi.”
“Egomu yang terluka, mencoba untuk mencegah secara insting. Semakin dalam perasaanmu padanya, ketakutanmu pun akan meningkat di waktu yang sama, Jo. Jadi semuanya terserah padamu. Apakah kau bisa mengatasi rasa takut itu dan bisa lebih dekat dengannya atau malah semakin membuat kalian jauh. Hanya ini saranku. Cobalah lebih fokus pada betapa besar rasa cintamu padanya, lebih dari rasa khawatirmu bahwa dia akan meninggalkanmu.” Lanjutnya. Setelah itu kembali menyesap minumannya yang sedari tadi dia abaikan.
“Rei, kau....”
“Kau akan semakin dekat dengan dia dan mungkin juga perasaanmu terbalaskan atau kau akan semakin jauh darinya dan dia malah membencimu. Pilihan ada padamu, Jo.”
Aku benar-benar tak menyangka, di balik penampilan urakan─tidak terlihat bahwa mereka adalah eksekutiv muda, pemilik perusahaan yang sangat berpengaruh di kota itu─ mereka bisa bersikap lebih dewasa, jauh lebih dari dirinya.
Well, mereka memang benar. Aku hanya orang egois, berusaha melindungi diriku sendiri dari sesuatu aku sendirilah yang buat. Egoku secara insting membangun tembok di antara aku dengan istriku, sehingga kami berdua secara perlahan semakin menjauh.
Mulai saat ini aku akan berusaha mengubah sikapku padanya─ ah, tidak. Tetapi aku harus berubah demi kami berdua.
Tidak sampai setengah jam aku sudah sampai dikediaman kami berdua, rumah masih nampak gelap berbeda dari biasanya. Apa istriku sudah tidur dan tidak menungguku karena kelelahan?”
Tetapi pemikiran itu hilang manakala pintu yang seharusnya tidak terkunci malah terkunci. Aku mencari-carinya ke seluruh penjuru rumah karena tak menemukan sosoknya di ruang tengah tempat biasanya dia menonton sambil menungguku. Dapur, perpustakaan, kamar, bahkan kamar mandinya kosong, tak ada sosoknya di tempat-tempat itu. Dia tidak berada di rumah yang artinya dia belum pulang. Lalu bagaimana bisa? Jam kantor sudah selesai beberapa jam yang lalu. Apa dia pergi? Meninggalkanku karena tidak tahan dengan sikapku?
Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa jika dia meninggalkanku. Aku baru saja ingin berubah. Aku baru saja berbaikan dengan egoku dan ingin semakin dekat dengannya. Aku baru saja ingin menghancurkan tembok penghalang antara aku dan dia. Bagaimana bisa dia meninggalkanaku?
Apa dia sedang latihan? Tapi ini sudah larut malam. Kemana dia?
“Halo... Juan cari tahu dimana Zahya sekarang!!” Aku menghubungi asistenku untuk membantuku mencari istriku. Asisten yang memang sudah mengetahui apa yang terjadi padaku dan Zahya istriku.
Tidak sampai 15 menit panggilan dari Juan terdengar. Istriku ternyata masih berada di Dojo, tetapi dari info yang Juan berikan, di sana sudah tidak ada lagi yang latihan setelah larut seperti ini. Jadi apa yang terjadi padanya? Juan tidak tahu lagi apa yang dilakukan oleh Zahya karena Dojo itu memiliki petugas keamanan yang tidak memperbolehkan seseorang yang bukan anggota Dojo untuk masuk jika tak memiliki keperluan. Apa dia ketiduran?
.
.
.
.
.
.
TBC
See UMickey 24.07.16
Next : BAGIAN 7
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment