Fly with your imajination

Monday, October 19, 2020

SLEEPING BEAUTY - Kebenaran

Silahkan di baca chapter lengkapnya di SLEEPING BEAUTY

Chapter Sebelumnya Gosip

Aku hanya mengedit berdasarkan tanda baca, kelengkapan huruf pada kata-katanya, juga tanda baca, dan bukan pada alur.

Jangan lupa votement ya guys 😁

***



***

Gai, gai, gai,

Kata-kata itu terus berdengung di kepalaku. Seperti dengungan lebah yang mengusir manusia dari satangnya. Tidak, suara itu bahkan lebih menyebalkan, sama menyebalkan dengan suara rengekan anak kecil yang meminta permen pada ibunya. Mengganggu dan terus menggangguku. 

"Sean?!" 

Sapaan ragu sekaligus lega itu kembali terdengar, mengalihkan atensiku dari khayalan gilaku tentang mereka. Tapi, seandainya aku jadi salah satu dari mereka, aku juga tidak akan bisa abai. Siapa sih yang tidak akan tergiur melihat laki-laki tampan seperti mereka. Apalagi membayangkan hal-hal erotis yang sebelumnya pernah terjadi di antara... 

Ah tidak. Sisi otaku yang sudah lama kukunci mulai bangkit. 

Aku menggeleng kepala, berusaha menghilangkannya dan kembali fokus pada mereka berdua. 

Sean masih diam. Seakan suara itu hanyalah suara semut kecil yang imut, dan tidak bisa di dengar oleh manusia sepertinya. 

Kulihat dia memejamkan mata lalu menghembuskan nafasnya. Dia berbalik dan melihat laki-laki itu. Lama. 

Oh My. Tahukah kalian aku melihat mereka seperti apa? Aku melihat adegan romantis dua orang lelaki tampan. Saling mengagumi dan perlahan wajah mereka akan saling mendekat dan... 

"Kakak." 

Yah, kakak... eh, kakak? Aku menatap mereka. Pemilik rumah makan ini tersenyum tapi matanya malah terlihat sedih, tapi juga lega. Aduh, sial. Aku tidak bisa me-loading situasi ini di dalam kepalaku. Saraf-saraf otakku tidak mau saling koneksi. Aku benar-benar tidak paham. 

Sebenarnya ada apa ini? 

"Kau datang, aku─" 

"Aku ingin paket satu, dengan ocha dingin." sahutnya tiba-tiba dan memotong ucapan pemilik rumah makan dengan gaya sok cool-nya yang menyebalkan minta di lempar telur busuk─ eh, jangan. Kalau dilempar ketampananya akan hilang dan aku tidak mau jalan dengan orang bermuka telur bersifat kaku. Aku mungkin akan menjadi angin betulan, ada tapi tak dianggap. 

Tapi omong-omong jangan bilang padanya kalau aku bilang dia itu tampan. Tingkat kenarsisannya akan semakin meningkat. Dan dia akan mengejekku karena sudah mengakui kalau ia itu tampan. 

"Baiklah." sahut pemilik restoran lirih. Matanya meredup seperti lilin yang sudah kehabisan sumbu. 

Sean jahat sekali. 

"Sean kau sudah keterlaluan tahu. Padahal pemilik rumah makan ini sangat baik." sergahku tidak suka dengan sikapnya pada pemilik rumah makan. Aku masih ingat bagaimana dulu pemilik rumah makan ini bersikap dengan kami, bagaimana caranya melayani kami dengan baik, bagaimana ia memberikan senyum hangatnya pada kami hingga Deasy bisa menyukai laki-laki itu, dan aku tidak terima dengan sikap acuh Sean. Padahal, laki-laki itu kan kakaknya, kenapa malah tidak sopan? Dasar adik durhaka, dikutuk jadi jelek baru tahu rasa. 

Sean tidak menyahut. Dia hanya melihatku. Iris matanya meredup sama seperti pemilik rumah makan. Duh, aku jadi tidak tega memarahinya. Wajah songong minta di damprat miliknya tidak nampak, dan kalau aku memarahinya, akulah yang akan seperti wanita jahat. Sebenarnya mereka ini kenapa? Apa ini yang menyebabkan Sean murung dan ingin melakukan percobaan bunuh diri dulu? Ah... tidak mungkin. 

Aku menggeleng keras. Pasti bukan pemilik restoran. Dia bersikap acuh, mungkin karena kakaknya pindah rumah, dan dia jadi kesal karena kesepian di rumah. Yah, pasti begitu. 

Tapi, raut sendu yang ia perlihatkan, itu tidak mungkin karena masalah sepele begitu, kan? 

Duh... aku jadi pusing. 

"Apa ada yang lain yang ingin kau pesan?" Sean menggeleng, namun pandangannya tetap padaku. "Kalau begitu aku permisi." sahut pemilik rumah makan sebelum menyiapkan hidangan Sean. Sepertinya ia kecewa karena Sean tak bersuara lagi. Ucapan terima kasih saja dia tak ucapkan. 

Setelah pemilik rumah makn pergi, perlahan tubuh Sean mulai rileks seperti awal kami masuk, sebelum Sean berbicara dengan pemilik rumah makan ini. "Kau tadi sudah keterlaluan, kau tahu?" 

Sean tidak menyahut. Pandangannya ia arahkan pada seberang jalan dimana orang berlalu-lalang. 

Tak mau menyahutiku, eh? 

"Kalau kau punya masalah dengannya, seharusnya kau selesaikan bukan malah bertingkah kayak anak kecil seperti itu." 

Tetap tidak ada jawaban. 

"Padahal kau orang berpendidikan, kerja di perhotelan berbintang dengan kedudukan tinggi, tapi pikiranmu malah seperti anak kecil. Tidak dewasa sekali. Padahal kau selalu menyelesaikan masalah perusahaanmu dengan baik, sampai melewati krisis yang hampir membuat perusahaanmu gulung tikar. Tibanya dengan kakakmu sendiri..." aku menggeleng kepala jengkel dengan decakan tiap gelengan, "pengalamanmu itu tak ada artinya." 

Dan dia masih dalam mode diam, permirsa. 

Tahu rasanya kebelet pipis tapi tak bisa ke toilet karena sidang skripsi, atau mules pas di mol dan pengen dituntaskan segera tapi pas di toilet antriannya banyak. Atau tidak bisa memukuli musuh bebuyutan yang suka mempermalukanmu padahal kesempatannya besar sekali? Yap. Sakit. Itulah yang aku rasakan sekarang. Sama seperti lagu milik Cita Citata. Sakitnya tuh di sini, Bang. 

Aku gregetan sekali ingin menabok kepala gantengnya itu. Sayangnya, aku tidak bisa. 

Dari tadi dia terus mengabaikan semua kata-kataku seolah aku tidak ada. Suara toaku dianggap seperti angin sepoi yang membelai telinganya, membuatnya menutup mata, menikmati selayaknya dendang orkestra yang dimainkan grup orkestra lawas. 

Arrrgggghhh... 

Tuhan, bisakah aku membatalkan permohonanku? Kembalikan Sean yang tadi bersamaku. Tidak apa Sean kembali menjadi jahil, aneh, dan banyak bicara. Biarlah dia sering menggangguku, asal tidak mendiamiku seperti ini. Aku tidak sanggup Tuhan. 

"Kau berisik sekali, Aria." 

"Eh? Kau kembali? Tuhan terima kasih. Aku tidak akan mendoakan orang yang buruk lagi." doaku penuh syukur. 

Aku menatapnya. Pandangannya masih mengarah pada seberang jalan, tempat lalu lalang orang-orang dan kendaraan. 

"Dari tadi kau mendiamiku dan mengabaikanku. Kupikir kau sudah tidak bisa melihatku." ucapku lagi. 

"Bukankah kau sendiri yang janji, tidak akan mengajakku cerita kalau di tempat umum? Lagipula aku tidak membawa headset." jelasnya tanpa memandangku dan tetap bertopang dagu. 

Oh itu toh alasannya. Aku jadi malu sendiri. "Maaf?!" cicitku. 

"Hn." gumamnya. 

'Hn' hanya itu? Gak ada yang lain? Tapi─ ah sudahlah. 

Dikiranya aku tidak tahu kalau ia sedang menyembunyikan sesuatu. 

Tunggu. 

Sepintas ingatan tentang ia beberapa waktu lalu, Kiara dan Tio, Gosip yang beredar, kakak lalu- 

"Sean?!" 

Lagi-lagi panggilan ragu-ragu terdengar. Kali ini suara seorang perempuan. Sama seperti pemilik rumah makan, aku juga mengenal perempuan itu. Dia adalah istri dari pemilik rumah makan ini. 

Kulirik Sean. Tubuhnya kembali menegang. Rahangnya mengeras namun berusaha ia sembunyikan. Ia kemudian memejamkan mata sebelum menghembuskan nafas berat yang samar. Lalu menatap perempuan itu. 

"Hai... Hana..." 

─perempuan ini. 

Ada rindu yang tersamarkan dari nada suaranya. Ada ketegaran yang coba ia pertahankan lewat tatapannya. Dan ada pedih yang ia sembunyikan lewat senyum seringainya. 

Saat ini, Sean terlihat rapuh sekali. Tapi ia berusaha tegar. 

Aku ingin jadi penopangnya, penenangnya, tempat keluh kesahnya, tapi bagaimana bisa? Aku hanyalah jiwa tanpa raga yang memiliki empati padanya. Transparan dan tak tersentuh. 

Apakah Sean ingin memberi tahuku kalau merekalah yang sudah membuatnya seperti itu secara tidak langsung? Jadi, dugaanku yang tadi itu benar? Merekalah orang yang membuat Sean sedih dan terpuruk? 

"Bagaimana keadaan kalian?" suara Sean mengalihkan atensiku dan kembali fokus pada mereka. 

Perempuan itu kemudian mengambil duduk tepat di kursi tempatku berdiri tadi setelah menyusun pesanan Sean di atas meja dan secara terang-terangan perempuan ini juga memaksaku untuk beranjak dari sana dan menjadi penonton mereka. Kenapa perempuan cantik ini jadi menyebalkan, sih? Padahal dulu kan tidak. 

"Yah, seperti yang kau lihat. Rumah makan kami sedang ramai-ramainya sekarang. Jadi, bagaimana dirimu? Kudengar pertunanganmu dengan Kiara batal. Kau tak apa?" 

"Seperti yang kau lihat." Sean angkat bahu cuek, "Aku baik." 

"Mmm, bisa kulihat." sahut Hana malas sambil memutar bola matanya. "Aku yakin pasti Kiara tidak tahan dengan sikap keras kepala dan tidak mau mengalahmu itu, makanya dia memutuskan pertunangan kalian." cerocosnya. 

"Sepertinya begitu." Sean menyahutnya dengan santai. Aku tahu sikapnya itu hanya topeng untuk menutupi luka yang ia rasakan saat ini. Aku tahu, kalau Sean tidak ingin membuat perempuan cantik itu jadi terluka karena menunjukkan sikap gamblang yang mudah dibaca oleh perempuan itu, kalau saat ini ia mati-matian berusaha menutupi tiap kesakitannya karena pertemuan itu. 

"Sean..." 

"Hm." 

Perempuan itu terlihat menimbang kata-katanya dan beberapa detik kemudian ia kembali berucap, "Kau tidak mau memakan makananmu? Makanan itu aku sendiri yang membuatnya." 

"Baiklah." sahut Sean dan langsung memakan makanannya. Ia terlihat sangat lahap memakan makanan itu. Berbeda sekali kalau makan di tempat lain, padahal makanannya terlihat lebih menggiurkan. Ternyata selera orang berbeda-beda dan unik. 

Lima belas menit berselang makanan Sean habis tak bersisa. Aku hanya kedip-kedip mata melihatnya. Ini benar-benar sesuatu. Rekor baru untuk Sean. Ternyata makanan itu bisa membuat orang melupakan dirinya. Wow... sungguh memang sesuatu. 

"Makananmu enak seperti dulu." 

Dan ini adalah wow yang kedua. Sean memuji orang sodara-sodara. Padahal biasanya ia hanya memprotes, tidak terima dan menyuruh orang-orang menggantinya sesuai keinginannya. 

Tapi, kenapa rasanya pujian itu terdengar aneh. 

"Terima kasih." sahut pemilik rumah makan itu kemudian memanggil salah seorang pelayan untuk membereskan meja Sean. 

"Jadi, sekarang kau pasti punya pengganti Kiara, kan?" 

"Tentu saja." 

Kuperhatikan ekpresinya, sepertinya Sean tidak akan membuka topengnya. Dia terlalu baik. Meski hanya pada orang dan tidak padaku. 

"Benarkah?" aku membuka suara. Benar-benar penasaran. Pasalnya, aku tidak pernah melihatnya dengan wanita lain selain adiknya dan Karin, sekertarisnya. Apakah yang dia maksud itu Karin? 

Aku menggeleng lagi. Tidak mungkin. 

Kuperhatikan dua orang itu baik-baik sambil memasang telinga. Fokusku sekarang berada pada Sean sepenuhnya. Sifat detektif kepoku mulai beraksi. 

"Ah, syukurlah. Eh, siapa?" 

"Rahasia." yah... penonton kecewa. 

"Yah, kok gitu. Siapa? Ayolah beritahu aku." 

"Tidak." 

"Dasar pelit." 

"Hn." 

Diam beberapa saat. Mereka terlihat menikmati suasana itu. Seakan di ruangan ini hanya ada mereka berdua, tak ada kebisingan yang dihasilkan oleh dentingan alat makan atau suara orang-orang mengobrol. 

"Aku sudah mengingatnya." 

Tiba-tiba Hana menyelutuk. Baik aku maupun Sean bingung, "Maksudmu─" 

"Aku sudah mengingatnya." katanya sekali lagi. 

Tiba-tiba tubuh Sean menegang. Matanya menatap Hana dengan intens. 

"Tapi aku tidak bisa meninggalkannya. Aku memang dari dulu mencintainya..." 

Diam beberapa detik sebelum Sean menghela nafas berat dan menatap Hana dengan tatapan sendu. "Aku tahu." sahutnya lirih. "Dari awal aku sudah tahu. Kau hanya nyaman padaku dan salah mengartikannya. Aku juga tahu kalau kau hanya mengasihaniku. Aku-" 

"Sean..." 

"Aku juga ingin meminta maaf pada kalian yang-" 

"Sean..." 

"Jangan memotong ucapanku Hana!" Hana menunduk, matanya mulai berkaca. 

"Jangan merasa bersalah Hana. Di sini akulah yang salah karena memaksamu berada di sisiku dan membuatmu jauh dari kakak. Sekarang aku sadar. Aku terlalu egois." 

"Tidak. Aku yang salah." dan hanya beberapa detik setelah mengatakan itu, air mata Hana sudah mengalir. "Aku bersalah. Aku yang egois." suara Hana bergetar. 

Kuperhatikan orang-orang perlahan mulai diam tak lagi mengeluarkan suara-suara bising seperti tadi dan mulai memperhatikan mereka. 

Oh Sean, tahukah kau. Kau sangat cocok memerankan aktor laki-laki tampan yang jahat. Lihatlah para penonton itu, bahkan tidak berkedip. Apalagi pada para wanitanya, sedangkan yang pria terlihat ingin membakarmu hidup-hidup. 

Sean menghela nafas sekali lagi, "Hana, orang-orang memperhatikan kita. Bisakah kau berhenti menangis? Astaga, aku seperti laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab pada kehamilanmu."

Hana menangkup wajahnya. Menyembunyikannya dari para penonton lalu mengangguk sambil menahan isakannya.

Ini benar-benar drama. Aku lihat Sean mulai santai dibanding yang tadi.
Hana melepaskan tangkupan tangannya hingga menampakkan wajahnya. Ia sedikit mendongak dan...

Ahahahahaha...

Tawaku pecah.
Sialan. Hana benar-benar sukses merubah suasana hatiku.

Bayangkan, bulu matanya yang sebelah jatuh hingga menutupi setengah matanya, eyeliner-nya juga luntur dan menodai beberapa bagian wajahnya dan yang lebih parah adalah lipstiknya yang meluber hingga bibirnya tampak lebih dower.

"Hentikan." Sean berdesis, entah padaku atau Hana.

"Baiklah," sahut Hana, tapi aku tetap tertawa. Dia benar-benar sudah mengalahkan badut karnaval.

"Aria."

Oh, ternyata yang ia maksud adalah aku, toh. Tapi sumpah Hana benar-benar lucu.

Walau susah payah, aku tetap berusaha menghentikan tawaku. Yah, meski bibirku tak bisa menyembunyikan kalau saat ini aku sedang tertawa dalam hati.

"Aria?" setelah Hana menenangkan dirinya, ia melihat Sean dengan raut bingung namun sialnya seperti badut di acara ulang tahun anak kecil. "Yah. Maksudku adalah Aria. Gadis yang beruntung bisa dekat denganku." ucapnya sambil tersenyum tulus melihat Hana. Sedangkan aku yang mendengarnya ingin melempar mulutnya dengan cabe di atas meja.

Aku beruntung katanya?

Selain melihat wajahnya (yang sialnya harus kuakui tampan) tidak ada yang lain yang membuatku beruntung berada di dekatnya.
Awal pertemuan sifatnya dingin dan kaku, kalau bicara sangat pedas, makin jauh mengenalnya, sifatnya berubah lebih hangat tapi jahil dan menjadikanku bully-annya. Lalu apa yang menguntungkanku? Tidak ada.

"Aku senang mendengarnya, Sean."

"Terima kasih."

"Lalu bisakah aku melihatnya?"

"Kau tidak akan bisa melihatnya, Hana?

Tentu saja tidak bisa. Aku hanyalah berupa jiwa tanpa raga yang hanya bisa dilihat oleh anak kecil atau orang yang pemikirannya tidak waras (sebut saja orang gila) dan orang dewasa atau orang yang pemikirannya bisa bekerja dengan baik, tidak bisa. "Kenapa?"

"Yah, karena aku tidak mengijinkannya."

"Kau pelit sekali sih."

"Tidak masalah. Aku tidak mau dia berubah aneh sepertimu."

"Apa maksudmu, aku aneh? Orang yang menyukai cacing itu tidak aneh. Cacingkan banyak gunanya termasuk dalam perawatan tubuh." bela Hana dan membuatku membayangkan jika cacing di jadikan bedak atau lulur atau juga sabun mandi. Ih, mengerikan. Sean ternyata tidak jauh dari kata melata. Sudah sekertarisnya yang seperti ular, teman wanitanya malah menyukai cacing. "Jangan menyebut cacing di sini. Kau ingin membuat pengunjungmu lari."

"Ah," Hana terlihat malu karenanya. "maafkan aku."

Setelah itu mereka ngobrol lama. Tidak ada lagi suasana kaku, tegang dan sedih seperti di awal jumpa. Mereka terlihat akrab layaknya teman yang sudah lama tak jumpa. Membahas ini dan itu, tentang masa lalu, sekolah, dan kejadian memalukan mereka hingga beberapa jam berlalu. Sean pamit pada Hana yang dibalas senyum senang olehnya.

"Bilang pada kakak, aku tidak marah padanya."

Dan setelah mengatakan itu Sean benar-benar beranjak pergi dari sana.
Kulirik Hana, ia kembali menangis. Tapi bukan tangis sedih melainkan bahagia dan lega. Tidak berapa lama suaminya datang, merengkuh pundaknya lalu menenangkannya. 

Dan aktu tidak tahu lagi yang terjadi selanjutnya karena aku dan Sean sudah meninggalkan parkiran rumah makan itu.

Tbc.

 

Mickey139

Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:
Comments
Comments

2 comments:

  1. Wait... Wait... Ada ya orang yang suka cacing? Ih, geli banget padahal.

    ReplyDelete

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com