Fly with your imajination

Tuesday, November 3, 2020

PRINCESS OF FROG 6

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA SELANJUTNYA



BAGIAN 6 : KEMPING#2

Setelah semua anggota kemping berkumpul, kami berangkat. Sekitar sepuluh orang termasuk kami yang berangkat dengan menggunakan bus. Sepanjang perjalanan semua orang tampak menikmati, bernyanyi atau melakukan selfy. Namun beberapa orang─ lebih tepatnya hanya dua orang─ yang lebih bergelut dalam dunianya sendiri. Aku juga Raka. Entah ini adalah keberuntungan atau kesialan, kami bisa duduk bersama.

Berterima-kasihlah pada undian konyol yang ketua kemping ini lakukan. Berkat itu kami jadi terjebak berdua. Tetapi satu keuntungan yang bisa kudapat dari situasi ini. Sifatnya yang tidak banyak bicara membuatku bisa tenang dan menikmati perjalanan. Musik yang berasal dari MP3 milikku jadi lebih enak didengar.

Kulirik dia, hanya untuk memastikan jika ia masih sadar. Pandangannya tertuju pada pemandangan di balik kaca, tetapi dari pantulan matanya yang kulihat itu bukanlah sesuatu yang seperti tertarik atau sedang menikmati. Pandangan itu terlihat kosong, pancaran mata redup yang seolah mengartikan banyak kesusahan yang ia alami. Walau matanya sangat indah namun tertutup oleh kabut hitam yang membuat pancaran itu terlihat dingin dan mencekam.

Kulepas earphone di telingaku. Entah kenapa tubuhku bergerak sendiri untuk memasangkan earphone milikku di telinganya. Dia tersentak lantas berbalik. Dari auranya kutahu sebentar lagi dia akan meledak.

"Kau terlihat aneh dengan ekpresi seperti itu." kataku tiba-tiba sebelum dia meledak dan memberiku kuliah yang akan membuat kupingku jadi panas. "Aku selalu mendengarkan musik setiap kali aku memiliki masalah.... Musik adalah simfoni kehidupan, musik mampu mencairkan suasana, merelaksasi hati, dan menstimulasi pikiran. Musik juga mampu membangkitkan gairah dan semangat hidup. Untukku, musik adalah pelarian terbaik jika aku memiliki masalah. Kau pasti juga mengetahui, kalau banyak orang yang biasanya datang ke klub malam hanya untuk mencari penghiburan atau menghilangkan stres, tapi itu bukan sebuah saran yang baik. Kau hanya perlu mendengarkan musik yang kau sukai tanpa perlu ke sana." Jelasku. Ini adalah kalimat terpanjang yang pernah ku ucapkan untuk seseorang apalagi bukan orang terdekatku yang mengetahui kondisiku.

Dia diam namun tetap mendengarkan musik di earphone-ku yang memang sengaja ku setel untuk musik-musik klasik yang bisa menghilangkan stres atau melupakan masalah sejenak karena alunan musik yang tenang mampu merangsang otak dan merilekskan tubuh, menghipnotis seseorang agar terhanyut dan membiarkan diri masuk ke dalam aliran ketenangannya.

Buku yang berada di dalam tas selempanganku menjadi sasaran untuk menghilangkan kebosanan yang akan melandaku sejam kedepan.

'The fifty shades of gray', kata kak Devan novel ini sangat hebat. Aku tidak membaca sinopsisnya, karena kak Devan sudah menjelaskan. Novel yang membuat pembaca terbang menuju dunia khayal yang diciptakan oleh penulisnya. Kata-kata yang dituangkan sangat menarik, banyak kata-kata bijak, motivasi, bahkan kata-kata cintanya juga sangat romantis. Buku yang sangat fenomenal di kalangan remaja, katanya.

Beberapa menit setelah membaca novel ini, bab demi bab sudah kubaca hingga kata-kata vulgar itu terlihat. 'sialan kak Devan, dia menipuku. Bisa-bisanya dia merekomendasikan novel seperti ini padaku.'

"Aku tidak menyangka, kau membaca novel seperti itu." katanya sambil memejamkan mata, menikmati musik yang terdapat di dalam list MP3 milikku.

Aku menunduk tanpa melihatnya. Wajahku sudah pasti memerah sekarang. Dasar kak Devan menyebalkan. Keusilannya kali ini benar-benar membuatku seperti gadis berotak mesum.

Diam mungkin adalah jalan terbaik bagiku saat ini. Apapun yang akan dia katakan tidak akan kugubris.

"Ternyata kau gadis yang suka hal-hal seperti itu."

Aku tahu maksud perkataannya itu. Hal-hal yang ia maksud tidaklah memiliki arti yang bagus. Seperti apa yang ku pikirkan, dia pasti juga memikirkan hal itu.

Novel itu langsung kutaruh dalam tas masih dalam perasaan malu luar biasa. Kusandarkan punggungku ke sandaran kursi dan memejamkan mata, berpura-pura terlelap agar dia berhenti mengoceh. Aku tak mau jika membalasnya, maka suara indah itu akan keluar dan malah mempermalukanku bahkan mungkin aku akan dianggap sebagai monster. Pandangan merendahkan itu akan kuterima lagi.

Tidak lama berselang dari kepura-puraanku tertidur, aku benar-benar merasakan kantuk luar biasa hingga aku tidak lagi bisa merasakan apapun, kegelapan sudah menguasaiku. Menarik rohku menuju dunia yang disebut dreamline.


Sumber gambar : pinterest 

Kurasakan goncangan di tubuhku bersamaan dengan suara samar-samar yang meneriakkan kata 'bangun'. Silau cahaya yang diteruskan dari kaca jendela menerpa wajahku. Perlahan walau serasa berat kupaksakan agar kelopak mataku terbuka. Awalnya memang tampak abstrak yang terlihat di indra penglihaanku namun setelah beberapa kali kedipan akhirnya gambar abstrak itu berubah menjadi wajah rupawan dengan iris mata sewarna danau hijau yang bening.

"Bangun!"

Suara bas indah masuk ke dalam indra pendengaranku, menarik diriku ke dunia nyata. Aku tersenyum melihat wajahnya yang bagaikan reingkarnasi atau mungkin jelmaan dari dewa-dewa yang tinggal di kayangan.

"Sudah puas memandangi wajahku?" tanyanya.

Suara ini sepertinya aku pernah mendengarnya dan...

Sentak aku terbangun. Mataku membulat sempurna kala seluruh nyawa telah terkumpul di tubuhku. "WRO─" cepat-cepat kubungkam mulutku lantaran suara katak itu akan keluar. Wajahku memerah menahan malu, bukan karena suara itu namun karena melihat wajah laki-laki itu dekat dengan wajahku.

"Bangunlah. Kau membuat pundakku jadi berat sebelah." Katanya. Dengan gerakan gesit kutarik kepalaku dari bahunya yang sejak tadi menyangga kepalaku.

"Ma... Maaf!!!" ucapku setelah perasaanku jadi tenang. Kupandangi wajahnya, memang dia memliki wajah yang rupawan dengan hidung mancung juga bibir bagian bawahnya terbelah. Pantas saja Rania menyukai laki-laki ini.

"Hentikan tatapanmu itu dan segeralah berdiri, agar aku bisa keluar dari tempat ini." sentaknya jengah. Namun, aku belum sepenuhnya mengerti dengan perkataannya.

Dia menghela nafas, mungkin bosan dengan sikapku yang masih belum tanggap dengan apa yang baru saja dia sampaikan. "Lihatlah! Mereka semua sudah turun. Hanya tersisa kita berdua di dalam bus ini selain supirnya." Lanjutnya. Tangannya menunjuk semua bangku dalam bus.

Tanpa banyak waktu, kutarik diriku untuk berdiri dan berjalan mendahulinya. Namun, sebelumnya aku mengucapkan kata maaf dan terima kasih padanya.

Turun dari bus Rania segera menghampiriku membrondongku dengan rentetan pertanyaan yang kesemuanya adalah tentang Raka. Padahal katanya dia hanya tertarik akan fisiknya tapi nyatanya dia juga penasaran akan sosoknya.

"Apa saja yang kalian lakukan sewaktu duduk berdua? Kulihat tadi kau memasang earphone ke telinganya. Apa yang kalian obrolkan tadi? Belum pernah kulihat dia berekspresi seperti itu dan nampaknya juga dia mengacuhkanmu. Apa kalian memang sudah saling mengenal sebelumnya? Li..." Tanyanya dan itu semuanya tanpa jeda.

Aku menghela nafas. Memandangya sejenak sebelum menjawab, "Rania sayang, bukankah kau mengenalku?" kulihat dia dengan malas. "Kau tahukan aku tak bisa banyak bicara karena suara tenggorokanku ini?" dia mengangguk, membenarkan pertanyaanku. "Lagi pula bukankah kau sendiri yang mengatakan dia adalah pria dingin dan tak banyak bicara bahkan jika kau pun bersamanya, maka kau akan terlihat seperti orang gila yang berbicara pada patung hidup? Jadi menurutmu apa yang kami obrolkan, hm?"

Dia diam. Kurasa dia sudah mengerti maksudku.

"Huh... Aku kira, kau bisa mencarikan aku informasi tentangnya." cibirnya dengan bibir yang dimajukan. "Ah.. Aku lupa, kau dan dia kan punya kesamaan. Sama-sama dingin pada orang baru, tapi bedanya dia diam karena memang pembawaannya seperti itu sedangkan kau diam karena suara indahmu itu." lanjutnya sambil terkekeh.

Aku mendeliknya, memberikan tatapan tajam namun dia hanya membalasnya dengan tatapan geli.

"Sudahlah. Ayo kita ke sana. Lebih baik kita dengarkan arahan dari ketua kemping ini."

Kita akan mendaki gunung ini dan melewati sungai. Tapi jangan khawatir, sepanjang perjalanan ini ku yakin kalian tak akan merasa kelelahan karena pemandangan alam yang disuguhkan di daerah ini benar-benar memanjakan mata. tetapi iu setelah kita lewati hingga beratus meter. Hehehe...

Penjelasannya mengingatkan aku akan film kartun kesukaanku sewaktu kecil. Ninja Hatori, judulnya lagunya hampir mirip dengan penjelasan ketua itu. Tanpa sadar aku tersenyum geli mengingat lagu pembukanya.

"Lili, apa yang kau tertawakan? Kau tidak dengar. Kita akan mendaki gunung tahu." Bisik rania membuyarkan segala hayalanku tentang film animasi dari jepang itu.

"Oh... Rania, aku hanya sedang merasa senang. Kau tahu kan sudah lama kita tidak pergi berpetualang lagi. Aku jadi tidak sabar melihat seperti apa tempat yang akan menjadi perkemahan kita nanti. Lagi pula kata ketua kemping kita akan melihat pemandangan yang memanjakan mata." jelasku sambil berbisik.

"Rania temani aku ke sana dulu. Aku ingin mengeluarkan suara tenggorokanku. Sudah lebih empat jam aku menahannya dan sekarang aku sudah tidak bisa menahannya lagi." Bisikku dan menariknya langsung menuju di balik pohon yang jauh dari mereka.

"WROOOG..... WROOG.... WROOOG...~"

"Ah... Aku lega, WROOG... Kau tahu tenggorokanku gatal sekali menahan suara ini, WROOG..." ucapku pada Rania samba tersenyum.

"Kau seperti hantu, jika seperti ini. Kalau saja aku tidak tahu kalau suara ini milikmu, aku pasti akan melarikan diri dan meminta pertolongan." ucapnya sambil terkikik.

"Kau sudah merasa lebih baikkan? Kalau begitu ayo kita kembali, mereka sudah selesai kelihatnnya."

Perjalanan dimulai. Awalnya kami semua sangat bersemangat mendaki hingga setelah sejam kami berjalan semua jadi berubah. Banyak yang mengeluh terutama yang para gadis. Aku tetap berjalan sambil mendengarkan music tak berinteraksi dengan yang lain. Di belakangku ada Raka yang juga sibuk dalam kediamannya, sedang Dio dan Rania asik dalam dunia mereka sendiri. Saling bercanda ria sampai tak menyadari banyak pasang mata yang memerhatikan mereka.

"Hei..." Seseorang menepuk bahuku hingga mangalihkan atensiku pada dua orang yang ada di depannku. "Nama kamu Lilikan? Aku Roi. Kemarin kita ketemu, tapi tidak sempat berkenalan karena kau sudah pulang." Katanya sambil mengulurkan tangan.

Kulirik tangannya sekilas dan menjawab uluran tangannya, "Lili." jawabku agak kaku sambil tersenyum kecil. Aku harus menjaga sikap kata Rania walau menyebalkan dan bukan diriku, aku harus memaksanya.

"By the way, dari tadi kuperhatikan, kau tidak berinteraksi dengan yang lain, kecuali dengan Rania dan Aka. Aku tidak tahu kalau Aka bisa akrab dengan orang lain, well kau tahu lah bagaimana sifat yang ia miliki."

Keningku menyerngit bingung dengan salah satu nama yang belum pernah ku dengar sebelumnya namun dia mengatakan bahwa aku dan si pemilik nama akrab. Siapa dia?

"Aka?"

"Ah... Maksudku Raka. Sebelumnya aku tidak pernah melihatnya akrab dengan seorang gadis sejak masuk ke sekolah sampai sekarang bahkan sama anak lelaki juga dia sangat pendiam."

"Aku tidak seakrab itu dengannya. Itu hanya anggapanmu saja, karena kenyataannya dia sangat dingin terhadapku. Memang aku punya salah apa? Ck, dasar. Sejak awal bertemu, dia sudah mengibarkan bendera perang padaku."

Dia manggut-manggut mendengar penjelasanku. Kulihat dia melirik ke belakang─ tepatnya ke arah Raka─ dengan pandangan selidik, aku tidak yakin mejabarkannya seperti apa. Dia adalah orang baru yang ke temui.

"Hm... Kupikir kau dan Raka─"

"Hentikan Roi!!"

Roi berbalik menatap Raka tak suka tetapi ada sedikit raut geli yang dia selipkan. Ah... Entahlah, aku tidak mengerti dengan laki-laki ini. Aku baru pertama kali bertemu sapa dengan dia.

Aku meneruskan perjalanan tanpa menghiraukan mereka sambil mendengarkan musik pada earphone yang tersambung pada mini MP3 milikku. Rania tak lagi kulihat, mungkin dia sudah jauh ke depan bersama Dio. Sebenarnya mereka terlihat sangat cocok. Dio sangat menampakkan jika dia menyukai Rania namun sepertinya hati Rania telah dia berikan pada laki-laki yang sama sekali tak pernah menganggapnya. Atau itu hanyalah perasaanku saja?

SREK

Suara semak tidak jauh dari diriku mengganggu pendengaranku. Ku perhatikan orang-orang yang berada di depanku namun tak satu pun ada yang merasa terganggu. Perlahan aku bergerak ke arah semak itu. Tanganku sudah terjulur untuk menyentuhnya sebelum ada tangan lain yang menghentikan aku.

"Kau mau apa?" Tanya suara baritone yang sudah ku kenal selama beberapa hari ini. "Jangan melakukan sesuatu yang bisa membuat kita semua dalam bahaya."

Aku membalikkan badanku, menatapnya kesal lantas menghentakkan tangannya agar terlepas dari lenganku. "Aku tidak akan melakukan sesuatu seperti apa yang ada di kepalamu." Jawabku kesal kemudian menlanjutkan perjalanan. Sebenarnya dia kenapa selalu membuatku kesal? Apa aku pernah melakukan suatu kesalahan dan membuatnya tak bisa memaafkanku?

Dia tak lagi menghiraukan apa yang ku lakukan atau mungkin masih belum. Punggungku terasa panas dan tidak enak. Sedikit ku balikkan kepalaku dan meliriknya. Ternyata dugaanku benar, dia masih terus mengawasiku. Dasar laki-laki menyebalkan.

Tidak lama, kami sudah sampai di tempat kami akan kemah. Tempatnya cukup luas dengan pohon-pohon yang sengaja di tebang bagian tengah tempat tenda yang akan dibangun. Sekitar 10 meter di sisi kanan terdapat aliran sungai yang suaranya bahkan sangat kedengaran yang bila dihayati akan menghasilkan simfoni alam yang cukup menakjubkan. Namun di sana ternyata sudah ada beberapa kemah dan beberapa orang terlihat sedang memasak. Rupanya hari kami kemah adalah dua hari setelah mereka.

"Lili!" Rania memanggilku sambil berlari. Dia sudah dari tadi sampai dan sudah berkeliling. "Tempat ini sungguh indah. Ada air terjun di sana, sekitar 100 meter dari sini. Sebaiknya kau melihat itu setelah kita sudah beres-beres." Ucapnya dengan penuh binar.

Sore tiba setelah kami selesai membuat kemah beserta paritnya. Ketua membagi beberapa kelompok. Sebagian mencari bahan bakar dan sebagian lagi membantu memasak makanan.

Bagi yang perempuan sudah jelas kelompok mana mereka ditugaskan namun aku lebih memilih mencari kayu bakar, karena ku yakin jika membatu mereka yang ada bukan makanan normal yang terhidang tetapi racun yang akan membuat perut mereka sembelit.

Aku pergi ke tempat yang dikatakan Rania. Beberapa orang menemaniku termasuk Raka dan Dio, kami berjalan di pinggiran sungai. Sebenarnya selain mencari kayu bakar, aku juga penasaran dengan air terjun yang dimaksud Rania dan kurasa yang lain juga sepenasaran denganku.

Setibanya di sana, mataku benar-benar disuguhkan dengan keindahan alamnya. Air terjun yang sangat indah dengan pelangi yang melingkar di tepian air terjun itu. Tingginya kurang lebih dua puluh meter dengan beberapa batuan yang menjorok keluar dari dalam air terjun itu. Bebatuan tertata rapi di pinggiran sungainya, ada juga beberapa yang seolah sengaja diletakkan di tengah-tengah aliran sungai sebagai pijakan.

Matahari sore yang akan pergi, menyinari air terjun itu dan membuat air terjun itu seperti guyuran emas dengan kerlap-kerlip yang mengelilingi guyuran air terjun emas itu.

"Ini benar-benar sangat indah." Gumamku memuji keindahan alam yang sudah diciptakan oleh Tuhan. Tetapi tempat ini nampak tak asing. Seperti pernah ku kunjungi sebelumnya.

"Berhentilah mengagumi air terjun itu. Kau sudah mengusulkan untuk masuk ke kelompok ini jadi lakukan tanggung jawabmu mencari kayu bakar." Ucap Raka tiba-tiba dan membuatku harus berhenti mengagumi maha karya luar biasa Tuhan itu dan ikut dalam pencarian kayu bakar di dalam hutan.

"Baik." Sahutku malas. Dia seperti orang tidak punya urusan sendiri. Selalu saja menghancurkan kesenanganku. Benar-benar, orang ini sepertinya yang tidak bisa melihat orang lain bahagia, walau sejenak saja.

Sumber gambar : pinterest 

.
.
.
.
TBC

Mickey139 


SEBELUMNYA SELANJUTNYA

Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com