SEBELUMNYA | SELANJUTNYA |
orginal fict by Mickey139
Rate : T-M
Genre : Fiksi remaja, Fantasy, Mystery & Romance
WARNING : (miss) typo, EYD kurang, alur gaje (suka-suka Mickey), author masih perlu banyak belajar. Mohon maaf jika ada kesamaan dalam cerita ini. cerita ini asli dari karangan author sendiri
.
.
DON’T LIKE DON’T READ
.
.
~ Happy Reading ~
.
.
Princess of Frog © Mickey139

BAGIAN 7 : OUR SECRET
Walau makanan yang mereka buat tidak terlalu enak, tetapi kami semua makan dengan lahap. Mungkin karena pengaruh rasa lapar juga kebersamaan, makanan ini jadi terasa nikmat. Kami juga memanggil orang-orang yang menjadi tetangga kemah kami untuk makan bersama.
Mereka adalah mahasiswa yang sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikannya dan berkemah karena baru menyelesaikan tugas akhir mereka. Katanya sih untuk menyegarkan pikiran, karena beberapa bulan tidak bisa tidur nyenyak karena terlalu memusingkan tugas akhir itu.
Krak
Beberapa orang lain berjalan, kira-kira tiga orang dan mereka semua membawa kamera SLR yang dikalungkan di leher. Hampir semua perempuan termasuk dalam rombonganku menatap mereka─ah. Tidak. Maksudku Salah satu dari mereka. Seorang laki-laki dengan tubuh tegap tinggi, rambut hitam legam yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih, walau dalam keadaan langit yang sudah menggelap namun pesona laki-laki itu tidak hilang. Malah semakin bertambah ketika cahaya bulan menerpa tubuhnya. Sungguh dia seperti keturunan seorang dewa Adonis yang terkenal akan ketampananya itu.
Mereka bertiga semakin mendekat untuk bergabung dengan kami. Laki-laki yang terus diperhatikan sejak tadi tidak merasa risih diperhatikan oleh perempuan-perempuan di sini seolah dia sudah terbiasa mendapat tatapan seperti itu dari gadis-gadis dan... “Ka Devan?” gumamku. Sebelah alisku menyerngit. Sangat sulit mengendalikan suaraku agar suara katak itu tak muncul dengan seenaknya dari tenggorokanku. ‘Kakak sedang apa di sini?’
Merasa namanya disebut, laki-laki itu mencari-cari di antara manusia yang mengelilingi api unggun. Kepalanya menoleh, dan ketika pandangannya fokus padaku dia sedikit menyerngit dan maju untuk melihatku lebih jelas, “Lili?” tanyanya terdengar ragu. Tetapi, setelah melihatu mengangguk, ka Devan berseru keras. Mirip ibu-ibu yang meneriaki anak batitanya yang keluar ke jalan raya.
"Kenapa kamu ada di sini? Jelaskan!”
Bola mataku berputar mendengar nada suaranya yang sangat berlebihan itu, bahkan mulut yang lain pun mengap mendengar nada khawatir ka Devan. Mungkin karena merasa wajah dengan cara bicaranya sangat bertolak belakang. “Tanya Rania. Dia yang memaksaku.” sahutku mendelik pada Rania yang sibuk memerhatikan Raka.
“Ayo!” Ka Devan menarikku, menjauh dari mereka, membawaku di hutan dekat sungai yang tidak memungkinkan suara kami sampai terdengar oleh mereka.
“Sekarang jelaskan, kenapa kau mau datang kesini? Tidak mungkin hanya karena paksaan dari Rania, kan? Kakak tahu, kamu tidak mungkin mau ikut acara seperti ini biar dipaksa.” tuntutnya setelah kami sudah lumayan jauh dari kerumunan.
Lama aku belum menjawab sampai kami tiba di dekat sungai. Aku duduk di bebatuan pinggir sungai sambil memandangi hamparan bintang yang bertebaran di langit kelam. “Aku sendiri juga tidak tahu, WROOG... kak kenapa aku mau diajak kesini. WROOG... aku susah jelaskan. Aku hanya merasa, aku perlu datang ke tempat ini. WROOG...” jelasku. Aku menutup mata, apa ka Devan akan percaya jika kuberitahu alasan yang sebenarnya. “Dan ....”
“Dan?” Ka Devan menghampiriku dan ikut duduk di sampingku.
“WROOG... Sebenarnya karena mimpi yang selalu aku impikan akhir-akhir ini WROOG... Aku merasa perlu datang ke tempat ini, WROOG... karena mungkin tempat ini ada hubungannya WROOG... dengan mimpi-mimpiku itu.”
“Kenapa kamu bisa yakin kalau tempat ini punya hubugan dengan mimpi-mimpimu itu? Lagipula, kenapa kamu percaya mimpi, Lili? Kamu tahukan mimpi itu hanya bunga tidur.” jelas ka Devan.
“Awalnya...” Aku menatap ka Devan yang menatapku kasihan juga khawatir. “Tetapi mimpi itu selalu terjadi, meski alurnya tidak sama dengan mimpiku. Tapi, keesokan atau seminggu kemudian aku mendapatkan sesuatu yang berhubungan dengan mimpi itu.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Lili. Kenapa kau ikut ke tempat ini?” tanyanya tak sabaran.
“Sebenarnya aku tak yakin, tetapi setelah melihat air terjun di ujung sungai ini. Aku tahu bahwa mimpi itu adalah sebuah petunjuk. Jadi, apa itu sudah menjawab pertanyaan kakak?”
Ka Devan menghela nafas lalu meraih pundakku. “Lili.” Aku mendongak menatapnya, “Apa kau yakin semua itu?” Aku mengangguk. Keyakinan akan kembali normal membuatku percaya. “Kakak hanya tidak ingin kau kecewa nantinya. Kakak tidak mau lagi melihatmu bersedih. Sudah cukup hari itu.” lanjutnya sendu. Aku tahu ka Devan walau usil dan sering mengerjaiku, tetapi dia sangat menyayangiku. Dia melakukan keusilan itu semata-mata agar aku tak kehilangan diriku. Siapa aku sebelum insiden itu terjadi.
“Terima kasih, WROOG... kak.” ucapku tersenyum lantas memeluknya. Suara riak air sungai dan bunyi serangga malam menemani kebersamaan kami. Malam yang menyenangkan untukku. Mungkin ini adalah malam tanpa keusilan kak Devan ketika bersamaku.
“Lili, sampai kapan kau mau memlukku. Aku tahu, aku ini sangat tampan dan kau sangat merindukanku, tetapi untuk saat ini hilangkan dulu perasaanmu itu. Kau tahukan ini di pinggir sungai, jauh dari mereka, dan jauh dari kota. Sangat sulit meminta pertolongan jika terjadi sesuatu pada kita. Tapi kalau kau sih, sepertinya tidak mungkin, kau kan KODOK tinggalnya di air.” ucapnya sambil memainkan rumput kecil di lubang telingaku dan membuatku kegelian. Aku melepas pelukannya dengan tiba-tiba hingga membuatnya sedikit tersentak.
“Sial.” Rutukku. Aku menarik kata-kataku, kak Devan benar-benar sangat usil. “Kak itu geli. WROOG... Yang membuatku kena masalah salah satunya adalah ka Devan WROOG...” Kataku lantas bangkit dan berjalan meninggalkannya yang sedang terbahak-bahak mendengar bantahanku yang bercampur dengan suara katak.
SUIT.... SUIT... CEILEEE...
AKHIRNYA DEVAN PUNYA PACAR JUGA
Sesampainya kami di sana, kami dibuat kaget dengan teriakan heboh teman-teman ka Devan. Apa-apaan mereka? Ka Devan punya pacar? Siapa? Aku menatap ka Devan yang terlihat sama bingungnya dengan kami. “Kami tidak tahu ternyata kau selama ini punya pacar dan menyembunyikannya, Devan.” Salah satu teman ka Devan datang menghampirinya dan memeluk pundaknya.
“Siapa?”
“Ah... Tidak usah mengelak. Kami semua sudah tahu. Tadi Tio datang untuk menjempu kalian, eh, tahu-tahunya kalian malah berpelukan. Mana suasananya romantis lagi.” jelasnya dan membuat kami semakin bingung. Pacar, berpelukan, kami?
“Pfffft... Hahahaha...” Sontak aku tertawa mendengar penjelasannya itu. “Kami, pacaran?” Mendengar suara tawaku baik teman-teman ka Devan maupun teman-teman rombonganku menatapku aneh. Yah jelas karena selama bersama mereka aku belum pernah menunjukkan ekpresi seperti ini, tentu saja mereka heran.
“Hah?” Teman ka Devan terlihat kebingungan dengan reaksiku itu.
“Ahahahaha....” Ka Devan ikut tertawa, “Jadi kalian kira kami ini pacaran?” tanyanya dan dijawab anggukan oleh mereka. Ka Devan lalu meraih pundakku, “Iya, kalian benar dia adalah pacarku. Jadi, jangan berani mengganggunya.” Kata ka Devan sambil menunjukkan senyum devil pada mereka semua.
Aku menyikut perut ka Devan yang padat hingga membuatnya meringis. “Apa-apaan, kak?”
Dia hanya melirikku dan tersenyum. Benar-benar membuatku bertambah kesal, tapi itu sangat lucu mendengar mereka menganggap aku dan ka Devan berpacaran. Kulihat Rania yang juga terkikik geli mendengar penuturan ka Devan lalu di sampingnya... Raka. Tapi, kenapa ekpresinya seperti itu? Biarpun gelap aku masih bisa melihat dengan jelas sorot matanya yang dingin. Ia terlihat... kesal? Mungkinkah? Tapi kenapa? Apa aku membuat masalah dengannya lagi? Hei, bahkan setelah di air terjun itu, kami tidak lagi berinteraksi? Aneh sekali dia.
Raka bangkit berdiri, Rania yang berada di sampingnya ikut berdiri namun kembali duduk dengan ekpresi yang terlihat sedih setelah Raka mengatakan sesuatu yang tidak jelas kudengar. Dia pergi melewati aku dan kak Devan menuju sungai, tempat kami tadi. Sempat pandangan kami bertemu namun itu hanya sesaat, “Bodoh.” Entah hanya perasaanku saja atau memang itu adalah sebuah ucapan yang keluar dari mulutnya. Aku berbalik menatapnya tak mengertibjuga heran. Aku ingin mengejarnya namun tangan kekar ka Devan menahanku.
"Ada apa?"
Aku menggeleng, " tidak apa-apa." sahutku.
Ada apa dengannya? Kenapa dia seperti itu?
.
.
Princess of Frog
.
.
.
“Ah, Sial. Kenapa baru sekarang terasa?” gumamku saat kurasakan kantung kemihku sangat penuh dan ingin segera dikeluarkan. Aku meraih ponsel dari dalam tas, melihat waktu. Masih pukul 02.14 dini hari, masih sangat gelap.
“Ra.. Bangun, Ra.” Ku goncang-goncang tubuh rania berharap dia terbangun.
“Ra! Please, Ra. Aku mau pipis, dah gak tahan ini.” Kataku sambil menekan-nekan perut bagian bawah.
Tak ada respon dari Rania, terpaksa aku pergi sendiri. Tidak mungkin meminta bantuan ka Devan. Aku tidak tahu tendanya yang mana lagipula tidak ada jaringan di hutan seperti ini.
Gesper tenda segera ku buka. Menoleh kanan-kiri, takut-takut ada binatang lewat. Sebenarnya juga berharap masih ada seseorang yang terjaga agar bisa meminta pertolongannya, tapi nihil. Mana ada orang yang masih terjaga jam seperti ini? Aku pun perlahan keluar sambil merapalkan doa-doa yang kutahu.
Bismillahirrohmanirrohim
Ya Allah semoga tidak terjadi sesuatu padaku. Lindungi hamba dari setan dan sejenisnya, juga binatang-binatang malam hari. Aamiin.
Sedikit lagi aku akan sampai di sungai. Aku memilih di balik bebatuan untuk menuntaskan hasratku. Astaga ini rasanya benar-benar sangat lega. Enak sekali rasanya sudah mengosongkan kembali urinku dari dalam kantung kemih.
Aku berdiri memandang langit kelam. Ternyata jauh lebih indah dari yang tadi, bulan semakin tinggi, bersinar sangat terang dan memudarkan kilau bintang yang berada di sekitarnya. Aku menoleh ke kanan. Teringat air terjun yang tadi sore ku lihat. Bagaimana keindahannya kalau malam seperti ini? Tanpa mengingat rasa takutku yang menyerangku tadi perlahan kulangkahkan kakiku menuju air terjun itu.
...
Setibanya di air terjun, sekali lagi aku dibuat takjub dengan pemandangan malam harinya. Jika sore tadi nampak seperti air terjun emas, kini air terjun itu seperti air jatuh yang dipenuhi oleh kristal-kristal bening yang berkilauan di terpa sinar bulan. Indah sekali.
Aku memperpendek jarakku dengan air terjun itu, ingin melihat lebih dekat keindahannya. Namun belum ada lima langkah jejak kakiku, sesuatu menghentikan langkahku. Seseorang tiba-tiba muncul dari bawah permukaan air, berenang hingga ke bebatuan.
Mataku terbuka lebar, ketika melihat sosok itu. aku mengucek mataku untuk memperjelas penglihatanku saat ini. entah ini hanya imajinasiku saja atau karena pengaruh bangun di dini hari hingga mataku melihat sesuatu luar biasa. Tetapi jika dia benar-benar adalah sebuah kenyataan berarti yang kulihat beberapa waktu yang lalu itu memang nyata dan bukan hanya sekedar ilusi sesaat yang ku lihat sewaktu tenggelam di laut. Orang yang mungkin sudah menolongku adalah seorang mermain.
Ekornya mengibas, rambutnya bergoyang seirama dengan tubuhnya. Dia mengadah menatap langit, sinar bulan yang terang menerpa wajahnya. Aku penasaran seperti apa wajahnya. Apakah dia mermain yang sama dengan mermain yang sudah menolongku waktu itu?
Aku berjalan mendekat. Mengendap-endap layaknya seorang pencuri di tengah malam. Berjalan di balik pohon ke pohon. Lalu--
KRAK
Sial. Kenapa aku malah salah injak, sih? Semoga dia tidak sadar.
Sayangnya, dua mata bening itu menatap tepat ke arahku. Tapi, hanya beberapa detik saja sebelum dia kembali menikmati kegiatannya. Aku menarik napas lega. Syukur dia tak melihatku.
Namun, aku makin penasaran. Adrenalinku memacu. Tak peduli pada logika dan rasa takut, kakiku kian mendekat padanya hingga aku bisa melihat jelas wajahnya.
Dan jantungku semakin berdetak ketika melihat sosok itu. Bukan sosok lagi. Nyatanya aku tahu siapa pemilik wajah di hadapanku itu. Rambut coklat tembaga yang berkilau di bawah guyuran sinar bulan, kulit putih, dengan pundak yang kokoh juga rahang tegas dari samping itu, aku tahu. Dia Raka. Laki-laki yang sering membuatku merasa dongkol.
Tanpa sadar kakiku melangkah semakin dekat hingga tubuhku sudah berada di belakangnya. “Raka ....” bisikku penuh keterkejutan, tetapi hanya satu kata itu saja yang bisa terucap, selebihnya hanya ada kebisuan di tengah riak air.
Raka berbalik dengan pundak yang menegang. “Lili? Kau-- A... Apa yang kau lakukan di sini?” ucapnya terbata. Aku tahu apa yang dia rasakan, dia pasti lebih terkejut dari pada diriku. Seharusnya tadi aku tidak usah keluar dan menghampirinya.
Aku menggeleng lantaran tak mampu mengucapkan sebuah kata. Bahkan rasa ingin buang air kecilpun sudah tak kurasakan lagi.
“Pergilah!” perintahnya dengan penekanan. Tatapannya semakin dingin hingga membuat seluruh tubuhku gemetar. Aku jatuh terduduk di bebatuan.
Aku menangis tak tahu harus bebuah apa. Aku mendongak menatapnya, sorot matanya melembut nampak ada penyesalan di sana. Kenapa dia bisa berubah seperti itu?
“Please, Lili. Pergilah!” Sorot mata Raka meredup.
“Apa kau dikutuk?” bisikku. Aku bukannya takut, tetapi kasihan. Ternyata bukan cuma aku saja yang telah dikutuk, Raka pun juga mengalami hal sepertiku, tetapi sepertinya ia malah lebih parah dariku. Aku menyentuh ekornya yang sontak bergerak.
“Lili, please pergi!” katanya sambil mengibaskan ekornya menjauh dari sentuhanku.
“WROOG...” Suara tenggorokanku itu keluar tanpa sengaja.
Dia berbalik menatapku tak percaya. “Suara itu? Apa barusan itu kamu?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Jadi─”
“Aku juga terkena kutukan. WROOG...” ucapku sesengukan. “Aku tidak tahu apa yang sudah kulakukan hingga suara ini muncul.”
Dia memegang bahuku, “Jadi karena itu kau tidak pernah keluar dari tempat itu.” katanya yang membuatku bingung. Apa maksud dari perkataannya itu?
“WROOG...” Aku mendongak menatapnya. Pandanganku jatuh pada matanya yang indah. Mata yang seolah menarikku menuju sungai bening hijau dan berenang di bawah guyuran sinar bulan purnama. “Apa maksudmu?” tanyaku.
“Sebaiknya kau segera pergi. Aku tidak ingin kau sakit karena ini.”
Aku menggeleng. “Tidak. Kau belum menjelaskan padaku. WROOG... Kenapa kau bisa begini WROOG...” Aku masih bersikeras untuk berada di sini. Ini adalah kesempatanku. Mungkin saja dengan mendengar penjelasannya itu aku akan mendapat pertunjuk siapa yang bisa menghilangkan kutukan ini.
“Tidak, Lili. Belum saatnya. Sekarang pergilah! Aku tidak ingin kau sakit karena terlalu lama berada di tempat ini.” Katanya sambil membalikkan badan dan bersiap memasuki air sungai yang ada di depannya.
“Kalau begitu kita kembali berdua WROOG....” ucapku tetap bersih kuku.
Dia menghela nafas, “Baiklah. Kalau begitu berbaliklah.” Katanya dan aku hanya bisa menurunti keinginannya itu.
Tidak berapa lama, sebuah sentuhan menyadarkanku, aku berbalik menatapnya yang sudah kembali normal seperti sedia kala.
“Ayo.” Ucapnya menarik tanganku kembali ke tempat perkemahan.
Malam ini bulan sangat terang, hingga tak perlu menggunakan senter untuk kembali. Raka masih memegang tanganku, menuntunku kembali. Padahal aku juga bisa melihat jalanan dengan jelas. Tetapi entah kenapa perasaanku jadi aneh. Bukan dalam artian buruk. Ada suatu gelenyar aneh yang menggerayani tubuhku namun tidak menyakitiku justru aku menyukainya. Udara malam ini tidak terasa dingin seperti tadi, malah aku merasa hangat. Apakah ini karena genggaman tangan Raka?
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment