Fly with your imajination

Saturday, February 13, 2021

FAKE N FATE : BAB TIGA

 Silahkan di baca pelan-pelan ya guys...

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA


BAB TIGA : Laki-Laki Bermata Dingin

Alena menghempaskan tubuh di kasur miliknya. Pandangannya menyapu langit-langit kamar bernuansa biru muda— memperhatikan lagi seisi kamar yang baru saja dia tempati beberapa jam yang lalu. Pikirannya melayang ke kejadian beberapa saat lalu ketika pandangannya bertemu dengan Derry, sahabat Rexa. Entah kenapa ada dorongan samar di kepalanya ketika melihat tatapan itu sebelumnya, namun ia juga tidak tahu di mana dan kapan. Diingatannya tidak ada bayangan, namun perasaan mengatakan sebaliknya.

Lalu kenapa laki-laki itu bersikap dingin pada Alena? Menatap diri Alena, layaknya musuh lama yang sudah melakukan kesalahan fatal masa lampau. Atau jangan-jangan mereka memang saling kenal, namun dalam konteks yang tidak baik. Derry memang musuh Alena makanya pria itu seolah tak mengenal Alena dan enggan menyapanya.
 
Alena memaksa otaknya mengingat. Meski terasa berdenyut seperti ditikam oleh banyak jarum, Alena tetap berusaha. Hingga beberapa bayangan kabur, mampir ke otaknya, namun bukan tentang laki-laki itu, tetapi yang lain. Dua anak remaja dan sepasang suami-istri, mereka tersenyum, tertawa, rasanya sangat bahagia, tapi sayang, wajah mereka tak kentara. Lalu ingatannya berganti dengan tangis, entah kenapa, rasanya duka yang dialami gadis dalam ingatannya itu menembus sampai ke uluh hatinya hingga membuat titik-titik air mata perlahan menetes. 

Kemudian, rasa sakit kepalanya semakin menjadi. Kali ini seperti dipukul oleh palu godam yang sangat besar hingga tengkorak kepalanya serasa hancur. Sakit sekali. 

Alena segera menghentikan kegiatannya ketika kata-kata dokter Diandra membayang di kepala. Alena tidak boleh terlalu memaksakan diri, karena kepalanya akan semakin sakit. Lagipula ingatannya itu secara perlahan akan kembali. Jadi, yang bisa ia lakukan hanya menunggu dan sabar. Ingatanku pasti akan kembali, pikirnya. 

Bangkit dari kasur, Alena mengelilingi tiap sudut kamar yang belum sempat ia lakukan sebelumnya. Rupanya selain memiliki beranda yang bisa menampakkan taman milik rumah itu dan langit di atas sana, kamar itu juga punya kamar mandi yang lebih baik dari kamar mandi rumah sakit ataupun kosannya yang pernah nereka tunjukkan padanya. Kamar mandi dalam kamar. Ia tersenyum ketika membayangkan dirinya mandi sambil berbaring dalam bathup seperti dalam film yang pernah diperlihatkan Rien lewat ponselnya.

Mengingat keluarga Ronald, ia jadi bingung. Kalau sekedar untuk bertanggung jawab, buat apa Alena di bawah ke mari? Mereka kan bisa membayarkan biaya pengobatannya saja, toh Alena juga tidak terlalu butuh dengan kemewahan ini. Meski mereka bilang kalau sewa kosnya sudah menunggak sebulan, belum tentu ibu kosnya akan mengusir dirinya. Alena yakin kalau ibu kosnya itu sangat baik, terbukti dari bentuk perhatiannya kemarin dan raut sedih ketika Alena pergi.

Dan sekarang, Alena tak tahu mau melakukan apa selama pemulihan ingatannya di sini.

Alena kembali berjalan ke arah ranjangnya. Membanting dirinya di atas kasur empuk dan berpikir.

Keluarga Ronald memang baik, sangat. Tapi, entah kenapa, Alena merasa takut. Seperti ada bisikan halus yang menyuruhnya cepat keluar dari rumah mewah tempatnya berlindung sekarang.

 ðŸ•’🕓🕗
 
Ketika malam datang, Alena hanya berada di dalam kamarnya. Tidak beranjak pun mengelilingi rumah baru tempatnya kini bernaung. Alena terlalu enggan untuk keluar.

Sejak makan siang selesai, ia terus merenung di dalam kamar. Berpikir dan berusaha mengingat. Alena ingin segera mendapatkan ingatannya agar ia bisa segera keluar dari rumah keluarga Ronald. Entah kenapa dia punya firasat buruk, terlebih saat melihat Derry. Laki-laki itu seperti ingin melenyapkannya.

Tok ... tok ... tok ...

Alena sedikit terperanjat mendengar suara ketukan pintu kamar. Ia melihat jam dinding di kamarnya, rupanya waktu berjalan lebih cepat ketika ia tengah merenung tadi.

Dan kau belum mandi, batin Alena mengejek.

"Iya, tunggu sebentar." sahutnya sambil memperbaiki penampilannya sebelum beranjak untuk membuka pintu.

"Siap- Derry?" kening Alena menyerngit ketika lelaki yang tadi ia pikirkan sekarang berada di hadapannya. Panjang umur. "Ada apa?" tanyanya.

Namun yang ditanya hanya diam dan mengamati penampilan Alena. Tatapannya sudah berubah, tidak sedingin pertama kali mereka bertemu. Namun, Alena tetap merasa jika Derry masih bersikap antipati padanya— tidak, tetapi lebih waspada terhadapnya.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya penasaran dengan orang yang sudah menyelamatkan Rien."

Entah, hanya perasaannya saja atau memang itu adalah kenyataan, bahwa dalam nada suara Derry ada ketikasukaan ketika mengatakan kata 'menyelamatkan'.

"Oh ..." Dan Alena tidak tahu balasan apa yang harus ia berikan pada lelaki di hadapannya.

Lelaki itu menghela nafas, menatap Alena mencemooh. Alena tanpa sadar sedikit mundur ketika merasa tatapan lelaki itu menajam ke arahnya.

"A, ada apa?"

"Kau ... apa benar kau ..." Derry menghentikan ucapannya. Ia tampak berpikir, "Ah, lupakan saja. Aku akan selalu mengamatimu." ucapnya. Nada suara Derry berubah jadi lebih dingin.

Kerutan di kening Alena semakin bertambah, apa maksud dari laki-laki di depannya itu?

"Aku tahu bagaimana pikiran orang-orang seperti kalian. Dan aku yakin, sekarang ini kau pasti sangat senang karena sudah diberi kesempatan oleh om Dev untuk tinggal di rumahnya."

"Aku tidak mengerti. Maksudmu, apa?" tanya Alena, meski dalam hati sudah tahu maksud dari kata-kata Derry.

"Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu apa yang kau inginkan. Rencana busuk yang sebentar lagi akan kau jalankan. Dasar busuk. Parasit." balas Derry.

Sudah cukup. Kata-kata itu benar-benar sudah melukai harga diri Alena. Alena tahu, tindakan laki-laki hanya untuk melindungi keluarga sahabatnya, tapi bukan berarti ia juga bisa menerima jika harga dirinya direndahkan.

Sikap Alena berubah seketika, ia bersedekap dan balas menatap Derry. Tidak mau bila terus diintimidasi. "Dan bagaimana kau tahu, kalau aku akan melakukan itu? Apa kau mengenalku hingga berani menuduhku seperti itu?"

Derry terlihat sedikit terkejut dengan perubahan sikap Alena. Ia menyeringai sinis karena tidak menyangka gadis yang tadinya bersikap malu-malu berubah berani seperti itu. "Tidak. Aku tidak mengenalmu. Tapi, aku yakin, pemikiran orang-orang seperti kalian, semuanya sama."

"Oh ya? Hebat sekali, kau bisa mengetahui pemikiranku seperti apa— bahkan aku sendiri pun tidak tahu. Atau jangan-jangan kaulah yang berpikir seperti itu dan malah menuduhku. Bukankah orang bisa berpikir dan mencurigai orang lain, karena mereka sudah sering melakukannya?"

Raut wajah Derry berubah. Wajahnya memerah akibat marah. "Apa maksudmu? Kau menuduhku?" tukasnya, menatap Alena semakin tajam.

Alena tampak takut. Tanpa sadar posisi tubuhnya berubah dan mundur perlahan semakin rapat pada kusen pintu. Tapi, tetap berusaha melawan. "Kaulah yang menuduhku. Kita bahkan baru pertama kali bertemu dan kau sudah memperlakukanku dengan buruk. Menuduhku dan menatapku seolah aku adalah musuhmu. Sebenarnya kau ini siapa? Dan apa masalahmu denganku?" 
 
"Itu karena kau—"

"Derry?!"

Alena dan Derry sama-sama berpaling dan melihat Rexa yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka, menatap mereka seperti pasangan yang ketahuan selingkuh.

"Apa yang kau lakukan di situ, di depan kamar Alena dan Alena?" memicingkan mata, Rexa kemudian melanjutkan, "Apa kalian ini sebenarnya saling kenal?"

"Tidak."

"Tidak."

Alena dan Derry menyahut bersamaan.

"Lalu?"

"Aku akan ke kamarku." Derry tak memberi jawaban pada Rexa dan langsung berjalan menuju kamarnya yang berada di ujung. Dua kamar setelah Alena.

"Ck, dasar. Selalu saja begitu." Rexa menggaruk belakang kepalanya dan menatap Alena tidak enak. Dia juga tahu, apa yang dilakukan Derry pada Alena, sebenarnya. Dan itu adalah salah satu sifat Derry yang tidak disukai Rexa. Terlalu curiga. "Jangan pikirkan apa yang tadi dia katakan. Dia memang selalu begitu pada orang baru..." lalu ia tiba-tiba menjeda kata-katanya dan menatap Alena. "Ah, sudahlah."

Sementara Alena, gadis itu hanya bergeming di tempatnya. Ia tidak menyahut pun berkata apa-apa selain menunduk dan berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat karena keberadaan Rexa di dekatnya.

"Jam tujuh kita akan makan malam. Turunlah dan makan bersama kami. Tidak perlu memikirkan kata-kata Derry jika membuatmu tidak nyaman."

"Ya. Eh, ma...maksudku, aku tidak akan memikirkan kata-katanya." cuma kesal karena dituduh yang tidak-tidak. Baru pertama bertemu, kesannya sudah seperti itu? Bagaimana untuk hari-hari berikutnya? Aku tidak akan heran kalau suatu saat nanti, aku akan berada di emperan toko untuk berlindung sementara. Sambungnya dalam hati. "Dia juga ada benarnya. Sebaiknya, aku tidak dibawa ke mari."

"Kau terlalu banyak memusingkan sesuatu. Aku sudah bilang kan, tidak usah memikirkan kata-katanya kalau itu menyakitkan. Lagipula keluargaku tidak ada yang keberatan."

"Iya. Terima kasih." kata Alena lantas tersenyum.

"Ya sudah..." Rexa kembali menjeda kata-katanya dan menatap Alena dengan kening menyerngit.

"Ada apa?"

"Tidak apa-apa." sahutnya, "kalau begitu aku ke kamarku juga." dan kembali berjalan menuju kamarnya, tanpa berbalik atau menatap Alena lagi.

Alena menatap kepergian Rexa, hingga lelaki itu hilang di balik pintu. Ia pun segera menyusul dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Kembali merenung dan memikirkan sikap Derry barusan. Ia mengerti sekaligus kesal karena kata-kata yang terlontar dari mulut laki-laki itu yang tidak benar. Mana mungkin ia memanfaatkan kebaikan keluarga Ronald sementara ia sendiri ingin cepat-cepat keluar dari rumah ini, meski itu artinya ia tidak akan bertemu dengan Rexa lagi.

Ah, dan kenapa ia bodoh sekali bisa dipengaruhi oleh kata-kata itu. Ia kan bisa membuktikan kalau tuduhan Derry tidak benar dan laki-laki itu bisa menarik kembali kata-katanya.

Dan— astaga, bahkan Alena belum mandi tadi. Gadis itu kemudian cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi. Niatan untuk berendam santai di bathup, hilang dan berganti mandi seadanya. Yang penting mandi.

Hanya lima belas menit waktu yang ia butuhkan untuk membersihkan tubuhnya. Terlalu singkat untuk seorang gadis, bukan?

Alena memakai pakaiannya. Ia berdecih pelan. Pakaiannya telihat kumuh berada di dalam rumah semewah ini, tapi mau bagaimana lagi? Bajunya memang seperti itu semua.

Alena kemudian turun ke bawah, tepatnya ke dapur. Tak mau dipanggil untuk kedua kalinya oleh seseorang— atau lebih tepatnya oleh Derry. Tapi kalau Rexa sih bukan masalah, batinnya.

"Apa yang kalian masak?"

Beberapa pelayan dan juru masak tersentak ketika Alena tiba-tiba bersuara. Memperhatikan mereka lalu tersenyum.

"Boleh aku membantu sesuatu?" tanyanya sekali lagi ketika tak ada respon dari mereka semua.

Salah satu pelayan menjawab dengan raut tak enak, "Ah, tidak usah, Nona. Makanannya juga sudah selesai dan sebentar lagi akan dihidangkan. Sebaiknya Nona menunggu di meja makan saja."

TBC. 

masih awal, silahkan comment dan vote yah 😊

 

Mickey139


SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:
Comments
Comments

2 comments:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com