Fly with your imajination

Tuesday, February 2, 2021

FATE N FAKE : BAB DUA

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

 RUMAH BARU

Dua minggu berlalu sejak Alena masuk rumah sakit dan kini ia sudah bisa keluar dari sana. Luka tusukan di perutnya sudah kering, tetapi ingatannya masih belum pulih.
 
Alena turun dari Pajero Sport bersama dengan Rexa dan tertegun melihat rumah yang begitu indah di depannya. Rumah itu tidak sebesar rumah yang pernah ia lihat di gooble sebagai sepuluh jajaran rumah termewah di dunia, tidak seindah istana negeri dongeng seperti di film yang sering ia nonton di rumah sakit. Akan tetapi, rumah itu juga terlihat besar karena halaman rumah dipenuhi dengan tanaman dan bunga-bunga warna-warni yang ditata rapi dan terawat. Lalu kemudian Alena menyerngit, taman ini terlalu banyak ditanami tanaman yang perlu diperhatikan secara khusus agar bisa seperti ini, siapa kira-kira yang merawat semua tanaman itu? Alena mengingat, ia benar-benar tidak bisa merawat tanaman, bahkan bunga yang sering dibawakan Rien pun selalu layu setelah dua hari berada di dalam ruangannya. Orang yang merawat semua tanaman itu pastilah sangat ahli.
 
Alena menghentikan kekagumannya pada tanaman di sekeliling rumah karena Rexa sudah menegurnya untuk masuk ke dalam rumah.
  
"Ayo. Semuanya sudah menunggumu di dalam."
 
Alena menatap Rexa dengan gugup. Jantungnya selalu berdentum dengan tidak normal tiap kali berada di dekat laki-laki itu, "Eh ... i, iya, baiklah."
 
Untuk sejenak, alis Rexa sedikit berkerut mendengar kata-kata Alena, aneh sekali gadis ini, pikirnya. Lalu kembali melangkah seraya menuntun Alena masuk ke dalam rumah.
 
Dan sekali lagi, Alena merasa kagum dengan rumah itu. Tidak seperti yang terlihat dari luar, rumah itu rupanya sangat luas dan mewah dengan desain interior yang indah. Furnitur-furnitur yang menjadi dokorasi terlihat mahal. Lukisan yang dipajang, guci yang diletakkan di sebelah tangga, juga Warna dinding didominasi oleh warna tanah, semuanya pas dan terlihat sangat elegan. Mereka bukanlah orang biasa, pikir Alena.
 
"Mereka semua sudah menunggu kita di ruang makan. Aku akan duluan, sementara pelayan akan membawamu ke kamarmu."
 
Suara Rexa membuyarkan lamunannya dan membuat jantungnya kembali berdentum tidak karuan. Ia kemudian mengangguk gugup, "Ba ... baiklah. Terima kasih, Tuan."
 
Rexa berdecak ketika dipanggil tuan oleh Alena, "Kenapa tiap kita bertemu, kau selalu memanggilku Tuan? Apa kau pelayanku? Bukan, 'kan? Jadi, tidak perlu memanggilku tuan. Panggil saja aku Rexa, seperti Rien memanggilku. Dan tanpa embel-embel apapun. Hanya Rexa."
 
"Baiklah ... Rexa." sahut Alena. Gadis itu sedikit gugup karena baru pertama kali memanggil Rexa dengan namanya.
 
"Bagus."
 
Tidak lama seorang pelayan menghampiri mereka dan sedikit membungkuk, "Selamat datang, Tuan Rexa, Nona Alena." sapanya dengan formal.
 
"I, iya ..." sahut Alena. Ia benar-benar jadi kikuk karena baru kali ini ada pelayan yang bersikap begitu formal padanya. Sikap pelayan itu mirip dengan pelayan di film disney yang formal dan elegan.
 
"Antarkan Alena di kamarnya."
 
"Baik, Tuan."
 
Rexa mengangguk dan tanpa berkata apa-apa, ia berlalu.
 
"Mari Nona, saya akan mengantarkan anda ke kamar anda."
 
Alena mengangguk gugup, ia merasa aneh ketika dipanggil nona oleh pelayan itu, tetapi kemudian ia membiarkan pelayan itu membawa kopernya dan menuntunnya ke kamarnya.
 
Mata Alena terus mengagumi rumah itu sampai mereka tiba di lantai dua.
 
"Ini kamar anda, Nona. Semoga betah di sini." Pelayan itu membukakan pintu coklat di depan Alena dan mempersilahkannya masuk. Alena masuk dan lagi-lagi terpesona dengan model kamarnya. Ini benar-benar luas berbeda sekali dengan kamar kos dan kamar inapnya di rumah sakit. Interiornya mewah dengan karpet berbulu di samping ranjang. Ada jendela besar yang menghadap taman juga balkon yang membuat Alena bisa keluar dan bisa melihat pemandangan dimalam hari. Gorden putih berkibar dan terlihat lembut seperti kain sutra.
 
"Tuan besar dan anak-anak beliau menunggu anda di bawah untuk makan siang. Saya permisi."
 
Alena mengangguk dan pelayan itu pergi setelah meletakkan koper Alena di samping tempat tidur. Meninggalkannya sendirian dengan keterpesonaannya terhadap kamar baru itu.
 
Alena kemudian menghentikan rasa kagumnya terhadap kamar barunya dan mulai membereskan barang-barangnya. Sejenak, Alena merasa malu ketika baju-baju biasanya, tampak tidak cocok dengan lemari sebagus itu. Tetapi kemudian buru-buru ia tepis, toh ini sudah menjadi kamar sementaranya dan semua baju-baju itu bukan orang lain yang akan memakainya, melainkan dirinya sendiri, meski akan sangat tampak tidak cocok di tempat seperti ini.
 
Suara pintu diketuk terdengar ketika Alena masih membereskan barang-barangnya yang tidak banyak. Ia segera beranjak dan membukakan pintu. Rien berada di baliknya dan tersenyum melihat Alena.
 
"Apa kau sudah selesai membereskan barang-barangmu, Alena?" Tidak ada nada mencemooh dalam suara Rien, malah sebaliknya, Alena mendengar suara Rien yang senang dan tidak sabar.
 
Alena menggelang pelan, "Belum." Lalu menyerong tubuhnya agar Rien bisa masuk ke dalam kamarnya. "Hanya tersisa sedikit lagi."
 
Rien duduk di ranjang Alena dan memperhatikan kegiatan berberes Alena. "Bagaimana perasaanmu sekarang? Lukamu tidak apa-apa, kan?"
 
"Aku baik-baik saja dan lukaku juga sudah kering."
 
"Syukurlah."

§§§

 
"Bagaimana keadaan gadis itu, Rex?"
 
Kening Rexa menyerngit mendengar pertanyaan Derry, baru kali ini sahabatnya itu tertarik pada sesuatu, biasanya dia abai dan lebih tertarik menyelesaikan urusannya sendiri. "Tidak biasanya kau menanyakan kabar orang lain. Ada apa?"
 
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya penasaran. Baru kali ini keluarga kalian mengajak orang lain selain keluarga tinggal di rumah ini, bahkan para pekerja RT pun tinggal di rumah yang berbeda."
 
"Dia sudah menyelamatkan adikku. Tinggal di rumah ini tidak akan menjadi masalah. Lagipula ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab keluarga kami. Kau tahu, kan, kalau dia kehilangan ingatannya karena sudah menyelamatkan adikku."
 
"Yah, kau benar. Tapi..."
 
Rexa menatap Derry penasaran, "Tapi?"
 
"Kau tidak tahu kapan ingatannya kembali, kan? Kau yakin dia tidak akan berniat buruk pada keluargamu?"
 
"Entahlah. Kita akan tahu itu nanti." Rexa menjawab santai.
 
Derry menghela nafas. Kadang sifat acuh sahabatnya itu seringkali membuatnya kesal. "Lebih baik mencegah dari pada nanti repot."
 
"Kau terlalu curiga pada orang lain. Belum tentu apa yang kau pikirkan itu akan terjadi."
 
"Ini namanya pencegahan. Meski tanggung jawab, tidak mesti harus tinggal di rumah kalian, bukan? Dia bisa tinggal di salah satu rumah kalian dan memperkerjakan orang lain untuk mengurusnya."
 
"Hmmm ..." Rexa tampak berpikir, "Yah, meski begitu. Aku tetap tidak bisa membuatnya tinggal di rumah lain. Rien terlalu senang mendapatkan teman baru di rumah ini dan aku tidak yakin dia akan membiarkan Alena tinggal di rumah lain."
 
"Jadi, sampai kapan dia akan tinggal di sini?"
 
Kening Rexa lagi-lagi menyerngit ketika tanya keluar dari mulut sahabatnya, "Kenapa kau jadi penasaran dengan gadis itu? Kau tertarik padanya?"
 
"Aku hanya bertanya, Rex."
 
"Yah, dan ini kali pertama kau bertanya tentang perempuan."
 
Derry menghela nafas, menghadapi temannya ini harus membutuhkan kesabaran ektra. "Ah, sudahlah. Tidak usah dijawab. Kita ke ruang makan sekarang. Ayahmu pasti sudah menunggu kita."
 
...
 
Hanya berselang beberapa menit, kegiatan Alena membereskan barang-barangnya selesai. Dan setelah bercakap-cakap sebentar, Alena dan Rien kemudian turun ke ruang makan untuk makan siang.
 
Di meja makan sudah ada tiga orang pria yang duduk. Dua diantaranya, Alena tahu, mereka adalah ayah Rexa, pak Devano dan Rexa sendiri, dan satu orang lelaki yang tidak Alena ketahui.
 
Pria itu sama tampannya dengan Derry. Dia memiliki warna mata biru laut yang jernih dengan alis tebal yang membingkai. Tapi sayang, pria itu terlalu dingin. Saat Alena menatapnya, pria itu memberinya pandangan tajam sekaligus benci, membuat Alena tanpa sadar memundurkan langkah.
 
"Ada apa, Alena?" Rien menatap Alena bingung. Lalu menatap ke arah mata Alena tuju, dan keningnya bertaut. "Kau mengenal Derry?"
 
Alena menggeleng ragu. "Tidak ... aku ... tidak mengenalnya." Tetapi anehnya, tatapan pria itu seperti pernah ia lihat sebelumnya. Rasanya ia tahu, tapi Alena tidak tahu, kapan dan di mana. Lagipula kalau mereka saling mengenal, pria itu pasti langsung menegurnya, tapi ini, alih-alih menegur, pria itu hanya diam dan malah memberinya tatapan tajam yang menghunus.
 
"Kalau begitu ayo duduk." Lalu Rien membawa Alena untuk duduk.
 
Kemudian mereka makan dalam suasana yang hening.

TBC. 

masih awal, silahkan comment dan vote yah 😊

 

Mickey139


SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:
Comments
Comments

1 comment:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com