Fly with your imajination

Tuesday, February 2, 2021

FAKE N FATE : BAB SATU

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

...

...
...
...

Secercah sinar mentari masuk menembus celah-celah tirai jendela kamar rumah sakit yang ditempati oleh seorang gadis yang baru saja mengalami kejahatan beberapa hari yang lalu dan membuatnya tidak sadarkan diri selama hampir seminggu.

Alena, gadis itu menjadi korban karena berusaha menolong gadis lain yang tengah dihadang oleh beberapa penjahat yang berusaha merampoknya. Di saat mereka terdesak, Alena menyuruh gadis yang ia tolong untuk melarikan diri dan mencari pertolongan untuk mereka, tapi sampai ia di tikam dan tak sadarkan diri, gadis yang ia selamatkan tidak kunjung kembali.

Suara samar dari beberapa orang, membuat kesadaran Alena perlahan mulai kembali. Kelopak matanya bergerak perlahan untuk membuka setelah beberapa waktu yang lalu tertutup. Samar-samar Alena melihat bayangan abstrak yang perlahan menjadi jelas. Ada beberapa orang yang gadis itu lihat, namun tak satupun di antara mereka ada yang ia tahu. Tidak wanita muda yang sudah mengeluarkan air mata atau wajah-wajah legah yang tercetak di wajah dua pria di dekat ranjangnya.

Alena sedikit menyerngit untuk mengingat-ingat mereka. Namun, tak satu pun di antara mereka muncul di benaknya. Mereka sangat asing bagi Alena.

Tidak lama salah satu dari mereka berlari keluar. Laki-laki itu masih muda namun terlihat lebih tua dari Alena. Ia menggunakan kemeja putih dan celana jins biru dongker yang terlihat pas menempel di tubuhnya. Tapi sayang, Alena tidak sempat melihat wajah laki-laki itu dengan jelas.

"Kau sadar. Astaga, ayah, ia benar-benar sudah sadar. Syukurlah." Wanita muda itu tampak sangat girang melihatnya. Dan lagi-lagi hal itu membuat Alena bingung. Sebenarnya siapa mereka? Kenapa mereka sangat senang melihatnya sadar?

Wajah lelaki paruh baya di samping gadis itu juga ikut senang. "Kalau begitu panggil dokter Diandra, Rien."

Namun gadis bernama Rien itu tetap bergeming dari tempatnya, dan menggeleng. "Rexa sudah memanggilnya, Yah."

Tidak berapa lama, seorang wanita berjas putih datang dari balik pintu bersama dengan lelaki yang sempat Alena lihat. Laki-laki yang disebut sebagai Rexa itu berdiri di samping Rien dan ayahnya, sementara dokter wanita yang tadi  bersama Rexa menghampirinya lalu memeriksa mata, detak jantung, dan beberapa bagian tubuhnya yang lain kemudian memberi beberapa pertanyaan.

“Dia baik-baik saja kan, Dokter?” suara Rien terdengar sedikit bergetar  karena rasa khawatir.

Dokter Diandra tidak menghiraukan pertanyaan Rien dan sibuk memeriksa Alena.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya dokter Diandra pada Alena.

Alena sedikit meringis ketika mencoba menggerakkan tubuhnya. Perutnya terasa keram, juga kepala yang terasa pusing, berdenyut, dan terasa agak nyeri.

“Jangan terlalu banyak bergerak. Luka di perutmu belum kering betul." kata dokter Diandra lagi.

Alena tak menyahut, namun tetap mengikuti intruksi dokter. Ia memjamkan mata untuk menahan rasa sakit. Selang beberapa detik kemudian, Alena kembali membuka mata untuk menatap satu per satu wajah-wajah baru di hadapannya dan berusaha mengingat mereka. Mungkin mereka adalah orang-orang terdekatnya. Tetapi, sekali lagi, ingatan tentang mereka tidak ada di kepalanya. Seberapa keraspun Alena berusaha, ia tetap tak menemukan mereka di antara semua ingatannya yang kabur.

Tiba-tiba perasaannya jadi campur aduk. Penasaran, kecewa, lalu tidak mengerti. Kenapa tidak ada satu pun kenangan yang bisa ia ingat? Kenapa tak ada wajah-wajah dari ingatan masa lalunya yang bisa terlintas di benaknya? Kenapa ia bisa berada di tempat ini? Kenapa ia bisa mendapatkan luka seperti itu? Dan di antara banyak tanya yang ingin dia ajukan, hanya ada satu pertanyaan yang benar-benar membuatnya penasaran. "Sebenarnya kalian semua siapa?" Lalu perasaannya jadi sedikit lega setelah mengeluarkan tanya itu, tapi tenggorokannya jadi sedikit sakit.

Dokter Diandra tanggap dengan keadaan Alena kemudian mengambilkan air minum dengan pipet yang sudah ada lalu membantunya minum. "Minum dulu. Tenggorokanmu mungkin sakit karena kau sudah beberapa hari tidak bicara."

"Terima kasih." Alena menyahut masih dengan suara yang parau. Lalu pandangannya kembali ia alihkan kepada orang-orang yang ada di ruangan.

"Aku Rien, gadis yang tempo hari kau tolong, Alena. Oh iya, maaf dan terima kasih untuk pertolonganmu. Kalau bukan karena pertolonganmu, aku mungkin tidak akan ada di depanmu sekarang." Alena bisa melihat jika Rien bersungguh-sungguh mengucapkannya. Gadis itu kemudian tersenyum, "Kau penyelamatku, Alena. Sekali lagi aku berterima kasih padamu."

Alena diam. Belum menyahut. Keningnya makin mengkerut memikirkan jawaban Rien. Apa maksud ucapan gadis itu? Lalu menatap Rien tidak mengerti. Ingatan tentang apa yang dikatakan Rien benar-benar tidak ada di benaknya sekarang. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."

Rien yang diberi pertanyaan seperti itu juga ikut-ikutan mengerutkan kening. Ia juga terkejut sekaligus bingung, mana mungkin gadis di depannya itu melupakan apa yang sudah mereka alami beberapa hari yang lalu, bahkan nyawa mereka hampir saja melayang. "Kau tidak ingat?" tanyanya memastikan.

Sekali lagi Alena berusaha mengingat, namun tidak berhasil. Kepalanya malah terasa berdenyut ketika ia memaksa mengingat.

Alena kemudian menggeleng, "Aku tidak ingat." sahutnya menyesal.

"Serius kau tidak ingat? Nyawa kita hampir melayang saat itu."

Alena berusaha mengingat. Namun, bukan ingatan tentang apa yang dimaksud Rien yang muncul, melainkan rasa sakit kepala seperti ditusuk ribuan jarum.

Dokter Diandra yang berada di dekat Alena menghela nafas. "Jangan paksakan, Alena. Kau akan mengingatnya, tapi nanti. Secara perlahan ingatanmu pasti akan pulih kembali." kata dokter Diandra menenangkan.

Mendengar penuturan dokter Diandra tak ayal membuat semua pandangan mengarah padanya. "Dia mengalami amnesia sementara akibat benturan di kepalanya. Kemungkinan dia akan mendapatkan ingatannya sebulan atau mungkin lebih dari sebulan, tergantung dari kondisinya. Lingkungan tempat tinggalnya sangat mempengaruhi proses kesembuhan Alena." Dokter Diandra menjelaskan dan membuat mereka semua tercengang.

Jelas saja raut mereka berubah. Meski Alena sudah sadar dan dengan kondisi yang lebih stabil dibandingkan dua hari yang lalu, tetapi amnesia yang dialaminya tetap saja membuat mereka dirundung cemas.

Bagaimana tidak, hasil dari penyelidikan yang mereka dapatkan, tidak ada satupun yang bisa membantu kondisi gadis itu. Alena adalah gadis yatim piatu berusia dua puluh enam tahun, tinggal sendiri di rumah kontrakan yang beberapa minggu lagi akan jatuh tempo, ditambah lagi baru-baru ini mendapat titel sebagai pengangguran. Benar-benar tak ada yang bisa membantu kondisi gadis itu.

"Ayah, apa yang akan kita lakukan? Aku tidak mungkin membiarkannya seperti itu. Dia sudah menolongku, menyelamatkan nyawaku." tiba-tiba Rien merasa bersalah sekaligus khawatir. Gara-gara dia, Alena menjadi seperti sekarang. Kalau Alena tidak menyelamatkannya tempo hari, gadis itu mungkin tidak akan mengalami hal seperti ini.

Pria berkumis itu memandangi anaknya lalu beralih pada Alena yang tengah memejamkan mata berusaha mereda sakit kepala yang ia rasa.

"Biarkan untuk sementara dia tinggal di rumah kita, Yah. Sampai kondisinya benar-benar membaik." sela Rexa, kakak pertama Rien.

Devano kembali terlihat berpikir. Nampaknya ide anaknya itu memang cuman satu-satuya cara yang bisa ia lakukan. Ia tidak mungkin menyerahkan Alena pada orang lain untuk membantunya. Gadis itu sudah menyelamatkan anak gadis satu-satunya dan itu adalah tanggung jawabnya untuk mengembalikan kondisi Alena kembali seperti semula.

"Baiklah." sahutnya. "Kita akan membawanya pulang dan membantu dia agar kondisinya bisa lebih cepat pulih."

...
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com