Republish
Warning : Cerita Gaje, Kecepatan, alur Gaje, Typo (s), dll.
Don't like don't Ride
AME (Hujan)
Hujan kembali bercerita,
Tentang rasa ini
Mengurai kenangan-kenangan lama
Lalu menyentil asa yang sempat meninggi
Ribuan bulir-bulir bening meluruh
Menyesap lalu menguarkan bau
Bukan menenangkan
Namun searoma bangkai busuk
Dulu hujan serupa syahdu
Suara rintiknya begitu candu
Lalu pelan mengurai sendu
Perlahan menanggalkan sesak karena rindu
Sayang, kini hujan seolah mati
Tak lagi memberi mimpi
Kini lebih serupa api
Panas yang melelehkan hati.
...
“Sa, curhat dong ..." kataku menarik tangan Sari agar memperhatikan.
"Hmm..." Namun, Sari tak peduli dan tetap fokus pada gambarnya.
Aku menghela, lalu berpaling kemudian terlentang di atas tempat tidur di samping Sari. "Aku suka cowok." Aku melirik Sari, ingin melihat reaksinya, Tetapi, Sari tetap bergeming. Aku kembali menghela lalu memperhatikan manik-manik yang tersusun di plafon kamarnya. Aku melanjutkan cerita. "Dan kamu kenal dia.”
Beberapa detik, hanya sunyi yang menyahut. Sari masih fokus menarik garis-garis di atas kertas karton putih lalu menyatukannya hingga membentuk sebuah pola. “Siapa?” tanyanya dengan nada biasa. Tak kedengaran tertarik.
Aku manyun, jengkel, tapi tidak bisa berhenti cerita. Karena hanya dia yang bisa menjadi tempatku berkelu-kesah.
“Dodit, teman mangaka-mu. Kamu dekat dengan dia kan?” Aku memalingkan wajah menghadap dirinya kemudian mengubah posisi jadi tertelungkup untuk lebih nyama memperhatikan Sari. Dalam hati aku berharap jawaban Sari sesuai harapanku.
Namun, Sari hanya diam. Sempat kulihat ekspresi terkejut di wajahnya, sayangnya itu tidak lama, karena Sari kembali menunjukkan ekspresi datar.
“Iya ..."
Beberapa detik ia menggantung ucapannya. Tangannya masih bergerak lihai di atas karton putih, menyambung garis-garis yang terputus. Lalu hanya dua detik, ia melirikku sebelum matanya kembali fokus pada gambar. Setelahnya ia menyahut, "Aku memang lumayan dekat dengan dia, tapi kedekatan kami cuma karena dia suka minta bantuanku.”
Aku mengangguk. Sempat kudengar suaranya bergetar sedikit tadi, kebiasaan Sari kalau sedang ragu, tapi tidak mau ada yang tahu kalau dia ragu. Yah, mungkin karena image yang selama ini dia tunjukkan itu tegas dan penuh percaya diri.
“Kamu tak apa-apa kalau aku mendekatinya?” Aku memperhatikan ekpresinya dengan seksama, ingin melihat perubahan itu? Yah, meski Sari bilang tidak terlalu dekat, tapi beberapa kali aku mendapati mereka pergi bersama dan Sari beberapa kali juga membatalkan janji hanya untuk menemui Dodit. Bukannya aneh kalau aku tidak ragu dengan kedekatan mereka? Aku juga tidak mau di sebut perebut pacar sahabat nantinya.
“Tidak” jawabnya tegas, tak ada sedikit pun keraguan yang kudengar.
Sekali lagi aku menghela. Aku lega karena jawabannya itu. “Kalau begitu kamu tidak keberatan kan kalau kamu membantuku jadian dengan Dodit?" kataku berharap.
Sari diam agak lama, nampak berfikir. Dan aku mulai khawatir ia menolak permintaanku, sebab ia tak suka direpotkan. Tapi, masa ia akan menolak permintaan dari sahabatnya sendiri?
Tak mendapat jawaban aku pun bertanya lagi. “Sa! Bisa ya?” Aku merengek.
“Mm ... Baiklah” jawabnya pasrah, tanpa melihat ke arahku. Aku tidak tahu ekspresi apa yang ia tunjukkan, karena wajahnya tiba-tiba tertutup oleh rambut hitamnya yang terurai. Aku hanya melihat pundaknya yang sedikit bergetar sebelum menjawab pertanyaanku. Mungkin Sari begitu karena fokus menggambar.
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*
Berdiri,
Terpaku menatap langit
Membiarkan rinai menghampiri
Basah dan menyedihkan
Hujan tampak biasa
Tetap meluruhkan rintik air
Seolah dibutuhkan
Terus... terus... terus...
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*
“Ra, besok ada acara gak?” Aku berpaling pada Dodit ketika dia bertanya begitu. Kami sekarang sudah dekat bahkan Dodit sudah menyatakan perasaannya padaku kemarin, dan tentu saja aku menerimanya.
“Tidak. Aku free kok. Kenapa?” tanyaku.
“Kita jalan, mau nggak?”
Pertanyaan atau mungkin permintaan yang ia lontarkan barusan itu membuatku sangat senang. Selama kami jadian, kami tidak pernah keluar jalan, dia terlalu sibuk dengan pekerjaan mangaka-nya sementara aku pun sibuk dengan kuliah. Namun begitu, tak satu pun di antara kami yang mengeluh tentang itu. Mungkin karena rasa cinta dan saling percaya kami.
“Tapi ajak Sari juga yah?” lanjutnya dengan nada yang terdengar sedikit meminta.
Tanpa pikir panjang aku pun menjawabnya dengan anggukan. Saat itu tak ada sedikit pun rasa curiga pada mereka. Mereka adalah orang-orang yang sangat kusayangi dan kucinta. Mereka adalah orang pertama yang selalu membantuku ketika tertimpa masalah. Dan, tentu saja tidak akan ada masalah jika kami bertiga keluar bareng.
Sari masih single, dia free, dan tidak ada yang melarangnya untuk ikut bersama aku dan Dodit. Mereka berdua pun tak akan canggung mengingat Dodit dan Sari berteman. Dan yang lebih penting, aku sangat senang jalan bersama mereka.
Keesokan hari, sesuai rencana kami bertiga pergi bersama. Meski cuaca saat ini sangat berawan, dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan tidak meluruhkan keinginan kami untuk keluar bersenang-senang.
Hari ini, aku, dodit, dan sari sedang berada di taman ria. Namun sekarang, Dodit dan sari meninggalkanku seorang diri beberapa waktu yang lalu, sari meminta izin karena ada keperluannya dan 5 menit kemudian dodit juga pergi ke kamar mandi. Aku kemudian berkeliling taman ria sendiri, entah kenapa kakiku melangkah menuju sebuah pondok besar di belakang taman ria.
“Dodit, jangan di sini? Nanti ada orang yang melihat kita.”
Samar-samar aku mendengar suara dua orang di belakang pondok sedang berbincang. Karena rasa penasaran yang tinggi, aku pun mendekati suara itu.
“Akh... Dodit berkh... hen... tih..” Aku kaget mendengar suara desahan itu. Namun yang lebih mengejutkan adalah suara itu persis seperti suara sahabatku Sari dan nama yang disebutkan si wanita juga sangat kukenal.
“Gak bakalan ada yang nemuin kita, tenang saja! Aku sudah memeriksanya. Jadi nikmati ini. Kamu juga rindu denganku kan? Dengan sentuhanku?”
Aku terpaku mendengar suara itu. Suara yang selalu menemaniku tiap malam sebelum tidur, suara yang sering mengucapkan selamat tidur dan beristirahat. yah suara itu sangat mirip dengan suara dodit, pacarku.
Jantungku tiba-tiba berpacu lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa hal itu bisa terjadi. Perasaanku semakin tak enak seiring langkah kakiku yang semakin mendekati suara itu.
Aku tak tahu apa yang kupikirkan, dengan sendirinya tubuhku bersembunyi dan tak langsung menggrebek pasangan itu. Tentu saja karena takut semua yang kudengar akan berbeda dengan apa yang akan kulihat nanti.
Aku mengambil cermin rias kecil dari tasku, lalu mengarahkan cermin itu ke arah dua manusia itu. Seakan waktu berhenti bergerak, aku membatu, terlalu kaget dengan apa yang tengah tergambar di mataku.
Dua orang yang kupercayai sedang melakukan sesuatu yang sangat menjijikkan. Dodit mencium bibir Sari dengan penuh gairah, seolah tidak ada lagi hari esok, sementara tangannya dengan lihai menjelajah sampai meremas payudara Sari. Sari sendiri, nampak sangat menikmati perlakuan dodit, terbukti dengan tangannya yang meremas-remas rambut dodit dan desahan yang keluar dari mulutnya.
Aku jatuh terduduk, dengan kedua tanganku metutup mulutku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara, air mataku tiba-tiba meluncur deras tanpa kuberi aba-aba. Dadaku sesak, nafasku tersendak-sendak. Seolah jantungku tengah dirantai. Aku berlari meninggalkan dua orang brengsek itu dengan air mata yang masih menghiasi wajahku.
Aku merasa aku adalah orang yang paling malang di dunia ini, merasa dikelilingi dengan orang-orang yang kupercayai, tetapi malah menghianatiku.
Banyak cerita yang menjelaskan tentang arti sahabat. Namun, nyatanya itu semua tidaklah benar. Kalau arti sahabat memang benar seperti itu, kenapa sahabatku sendiri menyakitiku, membuatku terpuruk dalam kesedihan? Seandainya dulu ia jujur, aku pun tidak mungkin mendekati dodit. Aku benci mereka. Sangat membenci mereka.
Aku terus berlari, mengikuti setiap langkah kakiku sendiri, tak peduli dengan orang-orang yang telah kutabrak, sumpah serapah yang mereka ucapkan bagaikan angin yang melewati telingaku sesaat. Aku menghentikan kakiku karena letih. Aku tak tahu ternyata kakiku membawaku ke sini, di sebuah padang rumput luas. Padang rumput yang memiliki banyak kenangan. Termaksud dengan perempuan brengsek itu.
Aku berteriak sejadi-jadinya, tak peduli jika ada yang mendengarnya. Toh di sini sedang sepi dan lagi padang rumput ini sangat luas sangat baik untuk mengeluarkan semuanya. Aku jatuh terduduk, rintik hujan mulai deras seiring dengan air mataku yang semakin megalir deras.
Drrrt....drrrrt....drrrrt....
Kegiatanku terhenti sejenak karena getaran dari ponselku yang lama menandakan adanya panggilan masuk. Aku melihat nama yang tercantum di sana dan ternyata dia adalah sahabat kejamku.
“Halo” aku berusaha menahan semua luapan emosiku, berusaha keras agar tak memakinya sekarang juga. Aku berusaha mati-matian menahan isakku agar tak keluar, “maaf sa, aku pulang duluan. Aku ada panggilan mendadak. Kalian bersenang-senanglah tanpa aku!. Pip.....” Setelah mengatakan itu, aku segera mengakhiri panggilan itu. Entah kenapa aku tak mengikut sertakan kata ‘tolong’ pada kalimatku seperti biasa. Mungkin karena aku berharap agar mereka mengerti maksud kata-kataku tadi.
Aku terdiam lama, air mataku semakin deras meluncur. Hujan pun tak mampu menghapus air mataku.
Rinai hujan basahi aku.
Temani sepi hatiku.
Andai waktu dapat di beli,
aku akan mengulangnya, sehingga aku tidak perlu mengenal mereka
Musuh yang berkedok sahabat.
~.Tamat.~
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Tes
ReplyDelete