Fly with your imajination

Friday, September 30, 2022

NOT PERFECT#17

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA


Sudah lebih lima belas menit Yoga dan Nayla menjauh dari rumah Jelita. Hujan pun kini sudah berganti gerimis kecil. Sesekali Nayla melirik Yoga yang sedari tadi hanya diam. Nayla tidak tahu pasti apa yang dipikirkan Yoga, tetapi Nayla sedikit yakin itu berhubungan dengan apa yang baru saja laki-laki itu alami.   

Sejujurnya, Nayla ingin sekali membantu permasalahan Yoga. Ia benar benar tidak suka melihat orang sebaik Yoga menampakkan raut sendu seperti itu. Entah kenapa ada perasaan tak nyaman di hatinya. Mungkin karena Nayla melihat Yoga seperti anak polos, dan setahunya orang-orang polos harusnya banyak tersenyum dan bahagia.

Akan tetapi, kalau Nayla ingat-ingat kembali, sepertinya ia tidak pernah melihat Yoga tersenyum lepas. Selama beberapa kali pertemuan mereka, tak sekali pun Yoga tersenyum dari hati, meski Nayla membuat gurauan. Laki-laki itu memang tersenyum, tapi matanya tidak, persis seperti senyum formal antar kolega. Dan, itu sedikit membuat Nayla agak kesal sekaligus sedih.

Sebenarnya masalah apa yang menimpa Yoga? Kenapa rasanya beban itu sulit sekali bagi laki-laki itu? Kira-kira bantuan seperti apa yang bisa Nayla berikan agar beban laki-laki itu berkurang sedikit? Eh?Nayla mengerjap beberapa kali saat sadar ia sudah mulai melewati batas kemudian menggeleng keras. Astaga, bisa-bisanya Nayla malah memikirkan permasalahan orang lain, harusnyakan ia memikirkan ibunya yang tiba-tiba masuk rumah sakit karena pingsan saat kerja. Ia bahkan belum mengetahui ibunya sakit apa.

Nayla menghela, kesunyian yang melingkupi mereka membuat Nayla benar-benar tak nyaman. Pikirannya akan kemana-mana kalau begini terus. Nayla berpaling pada Yoga di sampingnya yang sedari tadi cuma berjalan tanpa sepata kata sejak mereka meninggalkan rumah Jelita.

"Mas, kamu tidak apa-apa?"

Hanya suara gemericik air dan lalu lalang yang menyahut pertanyaan Nayla, sementara Yoga tetap diam. Nayla menghela sekali lagi, mungkin saja Yoga membutuhkan ketenangan saat ini dan Nayla tak berniat untuk mengganggu. Toh, kalau pikiran laki-laki itu sudah tenang, ia akan kembali seperti Yoga yang biasanya. Eh, tunggu. Memangnya Yoga yang biasanya itu seperti apa? Nayla kemudian jatuh ke dalam pemikirannya sendiri sekali lagi.

...

Suara di samping Yoga begitu samar di kepala. Semua pikirannya teralih pada pertemuan dirinya dengan Jelita beberapa waktu lalu.  

Yoga pikir, setelah lama tak bertemu ia tidak akan merasakan apa-apa. Nyatanya, ikhlas yang selalu ia sugestikan dulu, tidak begitu ampuh ketika matanya kembali bersiborok dengan mata kelam wanita itu.  
Debaran itu masih ada. Namun, bukan karena sayang melainkan bencinya yang belum lenyap betul.  

Siapa yang tidak sakit jika dihianati? Apalagi, kepada seseorang yang ia kenal. Sepupunya sendiri. Sakitnya jadi beberapa kali lipat. Meski, ia tidak dekat dengan Leon dan hanya sering saling melihat, tetapi laki-laki itu tetaplah seorang bagian dari keluarganya yang hampir tiap bulan selalu ia lihat di pertemuan keluarga di rumah kakeknya.  

"Mas..."  

Yoga tersentak ketika sebuah tepukan mendarat di bahunya. ketika ia melihat tatapan khawatir Nayla seketika itu juga Yoga merasa menyesal. Padahal saat ini ia sedang bersama gadis itu, tetapi pikirannya malah ke tempat lain.  

"Maaf Nayla. Apa ada sesuatu?"  

Nayla menggeleng. "Mas mau kemana?"  

Yoga menatap sekelilingnya. Baru sadar kalau jalan itu bukan jalan awal ketika dirinya datang. Namun, karena sudah terlanjur jalan sekalian saja mengantar Nayla.  

"Kalau kamu mau ke mana?"  

"Mas mau antar aku?" 

 Yoga tersenyum. "Iya. Balasan karena kamu sudah bantu saya tadi. Jadi, kamu mau kemana?"

"Aku mau jenguk ibu ke rumah sakit. Mumpung besok hari off, sekalian mau bermalam buat temani ibu."

Untuk beberapa detik, Yoga tak bersuara. Ia termenung memikirkan satu kata yang diucapkan Nayla barusan.

 Ibu yah?

Sejujurnya Yoga sangat merindukan kasih sayang ibunya. Sayangnya, itu hanya harap yang tak mungkin menjadi nyata.

Kira-kira sudah berapa lama?

Sepuluh tahun?

Dua belas tahun?

Ah, Yoga sudah lupa kapan terakhir kali ia rasakan. Tapi, kalau kasih sayang Nenek bisa mewakili itu, artinya ia sudah lebih lima tahun tak merasakannya.

Yoga juga merindukan neneknya.

"Mas tidak apa-apa antar saya?"

Yoga sedikit mengerutkan keningnya, "Memangnya kenapa kalau saya antar? Ada yang marah?"

Nayla menggeleng, "Bukan. Tapi, jalannya agak masuk gang. Banyak belok-beloknya, nanti mas kesasar kalau mau balik, loh." kata Nayla sembari terkekeh.

Yoga agak meringis mendengar jawaban Nayla. Mengingat ketidakberuntungan dirinya beberapa kali kesasar dan selalu Nayla yang menemukannya, wajar gadis itu berpikir demikian. Tapi, sedikit menyentil harga diri Yoga juga, meski itu hanya candaan.

"Tidak lagi. Yang tadi karena orang yang mengirimkan alamat itu salah. Sedangkan yang lalu karena ada insiden sedikit."

Nayla tak menjawab dan hanya mengangguk sambil terkekeh.

"Tapi, sejak kapan ada rumah sakit ada di sini?" Yoga merasa dulu tidak ada satu pun rumah sakit di dekat jalan itu. Paling dekat pun jaraknya sekitar tiga atau empat kilo.

"Sekitar dua tahun yang lalu kalau tidak salah. Yang, emang nggak sebesar rumah sakit lain, karena rumah sakit itu diperuntukan untuk golongan tidak mampu. Jadi, kebanyakan dokter dan perawat yang kerja di sana adalah relawan."

Yoga menggangguk, Laki-laki itu tampaknya kagum dengan orang-orang yang membangun dan bekerja di rumah sakit itu. "Oh ya, Nay. Saya boleh tanya sesuatu?

Nayla mengangguk pelan, "Boleh. Apa itu, Mas."

"Ibu kamu orang seperti apa?"

Diberi pertanyaan begitu kening Nayla menyerngit. Ia melihat Yoga dengan raut bingung, namun begitu Nayla tetap menjawab, "Ibu itu pekerja keras. Biarpun keras, ibu tetap perhatian sama aku dan kakak. Ibu juga keras kepala kadang-kadang. Yah, biarpun seringnya bikin aku dan kakak jengkel juga, terutama soal menjaga kesehatan. Aku dan kakak sudah sering bilang jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, tapi ibu selalu ngeyel. Ibu juga..." Nayla meringis melihat Yoga, "Maaf ya, Mas. Aku malah curhat."

"Tidak apa-apa. Saya juga senang mendengar ceritamu tentang ibumu."

"Loh, Mas bilang begitu kayak nggak pernah merasakan saja. Oh ya, bagaimana dengan ibu Mas Yoga."

Yoga diam, berpikir, mencoba menyelami kenangannya dulu bersama dengan Sang Mama. Sudah lewat belasan tahun ia tidak lagi mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Kenangan terakhir bersama bundanya hanyalah air mata kesedihan.

"Mama adalah orang lembut. Beliau tidak pernah marah, meski saya berbuat onar."

"Wah, enak banget, dong. Kalau ibuku, sudah pasti bakal marah. Pernah nih, aku nggak sengaja pecahkan piring, eh malah dimarahi, terus disuruh bersihkan pecahannya. Padahal, aku masih syok. Tapi, aku sadar sih, itu memang salahku. Eh, aku jadi curhat lagi." Nayla terkekeh ketika mengenang masa kecilnya.

"Tidak apa-apa."

"Tapi, kenapa tadi mas Yoga bicara begitu? Seperti sudah lama nggak ketemu ibu mas."

"Saya memang sudah lama tidak bertemu mama."

"Loh, kenapa Mas? Beda Negara?"

"Bukan. Kita sudah beda dunia."

"Oh." Nayla mengangguk, tetapi sedetik kemudian ia terdiam ketika sadar dengan jawaban Yoga dan reaksinya yang kurang baik. Nayla kemudian menatap Yoga dengan tatapan bersalah. "Ma, maaf, Mas. Aku nggak sadar jawab begitu." kata Nayla panik.

"Tidak apa-apa. Lagipula, sudah lama juga mama pergi, jadi saya sudah biasa."

"Pantas saja mas ngomong begitu tadi. Ngomong-ngomong Mas tinggal di daerah mana? Sepertinya kita beberapa kali ketemu. Padahal beda kota."

"Saya tinggal di kota ini, tapi tidak di daerah sini. Dulu pernah sempat tinggal di sini bersama nenek."

Nayla mengangguk. "Oh, berarti waktu kita ketemu tahun baru itu liburan, ya?"

"Iya."

"Sendirian?"

"Iya."

"Ha? Serius sendirian?"

"Iya."

" Itu kan jauh, Mas. Beda kota loh. Mas kayak jomblo kesepian saja. Nggak ada temankah?"

"Tidak ada."

Nayla mengerjap beberapa kali. Ia pikir Yoga akan menyangkal, tetapi laki-laki itu malah menyetujui. Terlepas dari jawaban singkat dan padat lelaki itu yang membuatnya sedikit jengkel, Yoga terdengar seperti orang kesepian.

"Oh, ya Mas, di pembelokan depan sudah rumah sakitnya."

"Iya. Nanti kalau sudah sampai depan, saya pesan ojek online."

Kening Nayla mengkerut. "Loh, kendaraan bagaimana?"

"Tadi saya diantar supir kantor."

Nayla mengangguk. "Oh. Enak banget kerja di perusahaan yang ada supirnya, hehehe...."

"Biarpun perusahaan punya supir, tapi tidak bisa dipakai karyawan seenaknya. Kecuali kalau bos yang menyuruh."

Untuk sedetik Nayla berpikir, ia ingin mengeluarkan rasa penasarannya, tetapi mereka sudah tiba di rumah sakit tempat ibunya dirawat. Nayla hanya bisa memberikan senyum dan berterima kasih.

"Sudah sampai, Mas." ucap Nayla sedikit tidak rela. Nayla merasa tak nyaman meninggalkan Yoga dengan keadaannya seperti itu sekarang. Yah, bukannya apa, Nayla khawatir kejadian pada saat tahun baru itu akan terjadi kembali. Laki-laki itu akan mabuk, lalu berakhir di tempat entah berantah. Syukur-syukur kalau ditolong orang baik, tapi kalau orang yang pikirannya kotor? Entah apa yang terjadi.

Yoga mengangguk singkat. "Jadi, kita pisah di sini." Setelah mengatakan itu Yoga mengeluarkan gawainya dari saku dan mulai membuka aplikasi untuk memesan ojek online

Nayla belum masuk ke dalam, ia menunggu Yoga dengan keadaan ragu dan tak enak untuk menyampaikan kekhawatirannya.

"Kamu masuk aja, Nay."

Nayla menatap Yoga masih dengan kekhawatiran yang tidak kentara di wajahnya. Namun, tak bisa mengungkapkan isi hatinya. Alhasil, ia hanya mengangguk dan menjauh perlahan setelah mengucapkan salam perpisahan.

"Hati-hati, Mas. Dan langsung pulang yah." kata Nayla dengan nada bercanda.

"Iya. Terima kasih, Nay."
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com