Mata tidak pernah berbohong namun kadang kala, tatapan mata juga bisa membuat seseorang salah paham.
BACA : BAGIAN 9MY SECRET WEDDING © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
WARNING: typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
.
.
SUMMARY
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
.
.
.
.
.
.
.
.
Ketika jam istirahat berlangsung, di kafe yang biasanya ku datangi, tanpa sengaja aku melihat Bagas, lelaki yang beberapa hari ini selalu ku temui saat jogging. Dia bersama dengan rekan-rekan kerjanya, kemugkinan mereka akan makan siang bersama rekan bisnis mereka. Mata kami saling memandang, dia tersenyum kecil seraya mengangguk padaku yang kebalas dengan hal yang sama.
Tidak berapa lama teman-teman ku datang, Mai dan Neil, mereka berjalan bersama. Walau terlihat seperti anak anjing dan kucing dikeseharian mereka namun jika ada salah seorang dari mereka yang mempunyai masalah, tidak tanggung-tanggung akan saling menolong, walau dengan cara yang tidak kentara dan bahkan biasa menyebabkan kesalahpahaman.
“Kamu sudah lama, Za?” Mai membuka suara duluan, lalu duduk di depan dan diikuti oleh Neil yang duduk di samping kiriku. Meja kafe ini bentuknya bulat dengan angka yang dipasang berdiri agar memudahkan waitress nya mengantarkan pesanan. Juga memudahkan kami untuk saling mengobrol, karena bisa saling berhadapan.
“Tidak. Aku juga baru sampai.” Sahutku. Tanpa sengaja pandanganku jatuh pada mereka. Bagas dan rekan-rekan bisnisnya yang ternyata adalah Bos─ suamiku, juga wanita lain yang terlihat sangat anggun dan berwibawa, sama seperti wanita yang tadi ku lihat di dalam kantor Jo.
Mereka berempat terlihat akrab dengan wanita itu yang terus menatap dan menampilkan senyum menawannya pada Jo. Entah apa yang mereka bicarakan sampai membuat raut Jo berubah dan terlihat lebih ramah dari biasanya.
Dan wanita itu membuatku benar-benar cemburu padanya dan tanpa sengaja membuatku terintimidasi oleh kecantikan dan keanggunan yang dia miliki. Aku benar-benar sudah kalah telak olehnya, walau tidak ada persaingan.
Aku menghembuskan nafas, berusaha mengenyahkan perasaan sesak yang menghimpit dadaku karena perasaan minder yang tiba-tiba mendera. Aku benar-benar merasa sangat tidak pantas untuk berada di dekat Jo, melihat rata-rata wanita yang dekat dengan Jo adalah wanita dengan tipe yang sama. Cantik dan anggun juga memiliki daya tarik yang besar hingga wanita-wanita yang berada di sekitarnya jadi tidak percaya diri merasa minder dengan posisi mereka, termasuk aku.
“Aduh, pak Jo kalau tersenyum seperti itu, kegantengannya bertambah. Aku jadi makin suka sama dia.” Mai berceloteh tiba-tiba menyentakku dari angan-anganku sendiri yang hanya bisa menjadi sebuah harapan dan tidak tahu apakah akan terwujud atau hanya akan menjadi sebuah harapan kosong. Dia menatap Jo penuh minat, seakan Jo adalah sebuah permen manis kesukaannya yang mengajaknya agar segera di lahap. “Andai dia seperti itu terus, aku yakin bahkan wanita yang sudah punya suami pun akan terpesona dengan ketampanan pak Jo. Aku jadi ingin tahu wanita seperti apa yang sudah meluluhkan hati pak Jo. Apakah wanita itu orangnya? Melihat mereka tampak akrab dan pak Jo tidak merasa risih bersentuhan dengan wanita itu, tapi wanita yang kemarin juga tampak akrab dengannya..” Lanjutnya seraya menerawang.
Dan kata-kata Mai kembali menyentakku. Rasanya ada gemuruh dari perasaan sesak yang tiba-tiba menusuk relung hatiku hingga membuatku merasakan rasa sakit yang sangat. Aku juga ingin berbicara hangat dan mendapati raut hangat Jo yang seperti itu. Aku juga ingin diperlakukan hangat seperti wanita itu, bukan dingin dan tak acuh yang kadang membuatku besedih bahkan sampai membuatku menjatuhkan air mata.
“Hedeh, wanita seperti apapun dia, yang jelas bukan kau orangnya. Wanita kasar, jorok, dan tidak tahu sopan santun seperti mu tidak akan mungkin dilirik oleh pak Jo, ups...” Ucap Neil sambil membungkam mulutnya dan menampakkan wajah tanpa dosa. Dan kata-kata itu berhasil mengalihkan sedikit dari rasa sesak yang ku rasakan. “Maaf, aku kecoplosan. Hehehe...” Lanjutnya sambil menyengir, seolah dia tidak pernah berbuat salah, pun berkata-kata kasar seperti barusan.
“A...apa...? Apa yang kau katakan barusan, hah? Apa kau tidak sadar pada dirimu sendiri? Laki-laki kurang ajar yang tidak bisa menjaga ucapannya pada wanita? Kau pikir laki-laki seperti itu akan dilirik oleh wanita? Tidak akan. Dasar brengsek. Laki-laki mesum, jorok, sial─”
“Mai...! Berhentilah, semua orang menatap kita dan kau juga Neil. Bisakah kau menjaga ucapannmu pada Mai? Kata-katamu sudah keterlaluan, kau tahu?” Ucapku menghentikan mereka. Kata-kata Neil memang sudah keterlaluan dan sangat menyakitkan untuk dilontarkan pada seorang gadis. Bahkan aku pun yang mendengarnya jadi sedikit kesal.
“Dia duluan yang mulai, Za?” Mai nampaknya masih marah dan tidak terima dengan kata-kata Nial. Dia memngembungkan mulutnya dan mencibir tidak jelas.
“Kalian benar-benar aneh? Saat salah satu di antara kalian tidak ada, kalian malah saling cari dan ketika bertemu layaknya anak anjing dan kucing, susah mau akur. Atau jangan-jangan sebenarnya kalian ini saling suka tetapi karena takut hubungan kalian rusak jadi kalian seperti ini? iya kan? Mengakulah!” ucapku sambil memicingkan mata, sedikit menggoda mereka.
“Jangan bercanda, Za!” Nah inilah salah satu contoh hingga aku bilang mereka serasi. Bahkan menjawab pun dengan kalimat yang sama.
“Tuh, kan. Kalian memang serasi, bahkan pemilihan kata-kata untuk menjawab pun sama. Kalian benar-benar sehati.” Aku tersenyum melihat reaksi dan ekspresi mereka yang merasa ngeri dengan kata-kataku.
“Kau terlalu banyak membaca Novel, Za. Kami tidak mungkin seperti itu.” Kata Nial menyanggah sambil mengibaskan sebelah tangannya dengan acuh.
Mai mengangguk setuju, “Yah, Nial benar.” Katanya, “Kami tidak akan mungkin punya hubungan seperti itu.”
“Kenapa? Kalian nampak cocok, yah walau banyak tidak akurnya, sih...”
“Tentu saja tidak bisa. Kami kan sepupuan.” Ucap Mai lantang dan tegas dan membuat hampir seluruh orang yang berada di kafe memandang kami termasuk dengan mereka berempat.
Mengabaikan orang-orang di sekitar, tanpa sadar aku ternganga. Mereka sepupuan, namun tak ada satupun letak kemiripan yang mereka punya. Baik sifat maupun rupa fisik mereka. Jika Neil memiliki rupa seorang blasteran dengan mata hijau bening dan rambut berwarna tembaga, maka Mai tidak sama sekali. Gadis itu malah seperti orang pribumi asli dengan rambut hitam dan bola mata sipit yang sewarna.
“Kok bisa? Kalian tidak punya kemiripan, sekalipun itu di warna rambut atau pun bentuk mata. Mata Mai agak sipit, dan kau Nial punya mata seperti orang barat kebanyakan.”
“Hn. Tapi ibu kami bersaudara.” Kata Nial
“Kandung malah.” Mai menambahkan.
Aku menatap mereka setengah percaya, mataku mengerjap beberapa kali bahkan dengan waitress yang membawakan makanan kesukaanku pun tidak ku sadari.
“Wow... bahkan kalian jarang terlihat akur dan ternyata... ternyata kalian adalah sepupuan? Aku─”
“Za!”
Ucapanku terhenti saat seseorang memanggilku, aku mengalihkan perhatianku dari Neil dan Mai untuk melihat orang yang sudah memanggilu. “Januar...” Sahutku. Melihatnya membuatku ingat dengan janji kami tadi. Padahal aku ke kafe ini pun karena sudah menjadi kebiasaanku.
“Bergabunglah.” Sahutku kemudian sambil menunjuk kursi di sampingku dengan dagu.
“Oke...”
“Jadi apa yang membuatmu datang kemari? Biasanya juga kau malas jika ke sini karena tidak suka dengan suasana yang ramai.” Mai memperhatikan Januar yang tidak biasanya datang ke kafe karena rasa tidak nyaman yang dia rasakan ketika banyak orang, katanya dia sering sesak kalau di tempat ramai, padahal aku tahu dia tidak suka ditatap oleh para gadis yang melihatnya. Dia risih dengan tatapan para gadis yang seolah menjadikannya sebagai santapan lezat yang tersedia di atas meja. Salahkan saja wajahnya yang terlampau tampan yang mungkin setara dengan Neil atau bahkan melebihinya.
“Aku dan Zahya janjian ketemu di sini...” lanjutnya dan mengambil tempat di antara aku dan Mai. Kami duduk melingkar di meja kafe.
“Jadi ini masalah apa?” Mai tidak menyembunyikan nada penasarannya ketika mendengar sahutan dari Januar. Dia menatap Januar penuh minat namun berbeda dengan tatapannya pada Jo yang lebih kepada rasa penasarannya.
“Well, kalian tahu kan gosip yang beredar di kantor. Aku hanya ingin tahu itu...”
“Kau tahu itu hanya berita hoax...” Neil bicara dengan tak peduli sambil memakan snack yang tadi dia beli sebelum ke kafe.
“Ah... sebenarnya Januar. Aku tidak memedulikan soal gosip yang sudah beredar itu.”
“Kenapa?”
“Well, kau tahu sendiri bagaimana sifatnya, Januar?” aku tidak menjawab namun Nail yang mewakili aku untuk menjawabnya.
“Hah...” Januar menghela nafas, mungkin baru menyadari dengan sifatku yang terlalu cuek dan bahkan hingga kini pun masih melekat erat di diriku. “Hahaha... bodohnya aku yang terlalu mengkhawatirkanmu.” Katanya sambil mengusap kepalaku. Kebiasaannya dulu ketika masih sekolah.
Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku dengan kesal karena sudah merusak tatanan rambutku yang sudah rapi. “Yah kau terlalu bodoh.” Ucapku dan memakan makanan yang sempat kuabaikan tadi. Mengabaikan mereka yang masih saling mengobrol sambil menyantap makanan mereka masing-masing termasuk Januar yang entah kapan makanannya tiba.
Aku merasa seolah ada seseorang yang tengah memperhatikanku makan dan ketika aku menaikkan pandanganku, tatapan mata kami bertemu. Jo tengah menatapku, tapi aku tidak tahu apa makna dari tatapannya itu. Aku balas menatapnya namun tidak lama karena Mai memukul pundakku, menyadarkanku jika sebentar lagi jam istirahat selesai.
“Cepatlah… kau tidak ingin dapat pemotongan gajikan?” ucap Mei dan dianggukan oleh Nial.
Aku mengangkat bahu cuek. “Memang siapa yang akan memotong gajiku?” yah memang siapa yang akan memotong gajiku, jika akulah yang merekab laporan total gaji, sebelum diserahkan pada Jo untuk di seteujui.
“Ish… sombong sekali kau. Ya, kami tahu yang merekab hampir semua laporan keuangan itu adalah kamu. Tapi kami kan beda divisi denganmu. Sudahlah, ayo cepat. Aku tidak ingin makan gaji buta.” Ucap Neil dengan jengkel, lalu melangkahkan kakinya untuk segera ke kantor.
Tanpa banyak bantahan aku juga berdiri. Aku juga tidak ingin terlambat, walau akulah yang merekab dan memeriksa laporan total gaji, tapi seperti kata Neil, aku juga tidak ingin makan gaji buta. Akan tetapi, baru saja akan berjalan bersama mereka, seseorang malah memanggil namaku dan membuatku terpaksa berhenti untuk melihat orang tersebut.
“Zahya…!”
Teman-temanku berhenti dan menatap aku penuh tanya ketika melihat rombongan pak Jo menghampiri kami dengan Bagas yang tersenyum lebar dan melambai ke arahku.
“Kau kenal dengan dia, Za?” Mei berbicara pelan seraya menatap rombongan mereka yang berjalan ke arah kami.
“Oh… dia Bagas. Aku sering bertemu dengan dia ketika Jogging. Dan kami juga biasa mengobrol.
Bagas menghampiri kami dengan tersenyum kearahku. Banyak karyawan yang menghentikan aktifitas mereka hanya untuk melihat kami dan aku bisa menerka raut penuh tanya yang mereka berikan pada kami. Dan mungkin saja gossip yang beredar itu juga akan dibumbuhi dengan kejadian ini. Memikirkannya kembali membuatku kesal. Walau terkesan tidak peduli, tetapi ada saatnya juga membuatku kesal terlebih ada beberapa karyawan yang malah memanfaatkan situasi tersebut bahkan ada yang menjadikannya sebagai bahan lelucon atau malah menambah popularitas.
“Ha.. hai…” sapaku dengan kikuk karena mendapat tatapan dari sepasang mata hitam milik Jo.
“Kebetulan kita bertemu di sini. Apa kau bekerja di perusahaan pak Jonathan?” tanyanya dan kuanggukan kepala sebagai jawaban, “Iya, dia pemimpin perusahaan kami.” Sahutku sesaat kemudian kembali melirik Jo yang sudah mengeraskan rahanganya sebagai tanda ketidaksukaan dan juga menatapku tajam.
Aku mengalihkan pandanganku karena tidak tahan dengan tatapannya yang seperti itu. Namun tindakanku itu malah jadi bumerang yang kembali mendatangkan perasaan sedih. Bagaimana tidak, dia sama sekali tidak mengindahkan, pun merasa risih pada perempuan di sampingnya yang tengah bergelayut manja di pergelangan tangannya yang seperti seekor anak monyet yang tengah minta di manja oleh induknya dan malah menatapku tajam seperti itu.
Aku benar-benar tidak tahan dengan pemandangan itu. Aku ingin segera pergi dari hadapan mereka.
“Maaf, Bagas. Aku harus kembali. Jam istirahat sudah selesai. Aku permisi.” Kataku pamit dan berjalan meninggalkan mereka untuk menyusul teman-temanku yang menungguku tidak jauh dari kami. Tetapi, sebelum itu terjadi Bagas kembali menghentikan langkahku dengan menarik pelan pergelangan tanganku.
“Eh, tunggu dulu. Aku belum mempunyai nomormu. Bisakah kau memberikan nomor yang bisa ku hubungi?” Aku menyerngit mendengarnya, heran sekaligus bingung. Di sisi lain juga merasa tidak nyaman dengan tatapan mata Jo, “Yah, supaya aku bisa menghubungimu ketika ingin jogging. Jadi kita bisa bersama.” Lanjutnya, mengoreksi kata-kata yang tadi dia ucapkan.
Aku terdiam sejenak untuk berpikir, apakah aku boleh memberikannya nomor ponselku atau tidak. Mengingat ada Jo─ suamiku tepat di depanku, memperhatikanku. Apa yang akan dia pikirkan nanti? Tetapi Jo hanya diam, tidak berkomentar dan hanya memperhatikan kami dengan tatapannya yang tajam.
Sejujurnya aku bingung dengan apa yang harus ku lakukan. Memberinya kah atau tidak. Jika aku memberinya, bukankah itu sama saja jika aku telah menghianati pernikahan kami? Tetapi dia hanya meminta agar kami bisa saling berkomunikasi jika ingin jogging bersama dan artinya dia hanya ingin berteman denganku. Itu tidak salah, bukan? Tetapi, di sisi lain aku juga merasa enggan untuk memberinya, karena ada Jo tepat di depan kami dan terus memperhatikan kami. Lalu pandangan orang-orang di sekitar terutama orang-orang kantor yang suka bergosip juga teman-teman yang tengah menungguku. Aku seperti di buru waktu dengan pemilihan yang sulit kulakukan dan cepat dengan konsekuensi jika salah pilih, aku akan didera rasa penyesalan yang sangat besar. Tetapi kemudian pandanganku kembali pada Jo dan wanita yang berdiri di sampingnya yang tengah bergelayut dan akhirnya satu keputusan ku dapat karena tidak lagi berpikir dan aku pun menjawab, “Yah, baiklah.” Balasku sambil menuliskan nomor ponselku.
Aku menghela nafas. Sedikit mendongak hanya untuk melihat kembali Jo. Namun tatapannya tidak berubah, malah semakin tajam, seperti seekor elang yang siap memangsa mangsanya. Tajam dan menusuk hingga membuat rambut-rambut di sekitar tengkukku meremang takut bahkan rahangnya juga mengeras seperti tengah memendam rasa benci pada seseorang. Sebenarnya apa yang dia pikirkan? Mengapa menatapku seperti itu? Apa aku melakukan salah? Atau, apa mungkin dia berpikir aku sudah menggoda temannya?
“Kalau begitu kami permisi, pak?” Ucapku cepat-cepat karena tidak ingin mendapatkan tatapan Jo lebih lama lagi. Namun sebelumnya aku sedikit melirik dari pergelangan tangannya yang masih belum melepaskan gelayutan dari teman wanitanya.
Dalam hati, aku hanya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa ketika kami di rumah nanti. Semoga dia tidak berpikir buruk dengan masalah ini dan berkata kasar atau hal jelek lainnya.
.
.
.
TBC
Mickey 17.08.2016
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
lanjutin dong kk
ReplyDeletebuka di wattpad say, https://www.wattpad.com/user/Mickey139
Deletelanjutin dong kk
ReplyDeleteLanjut baca di wattpad yah :)
Delete