Fly with your imajination

Showing posts with label Fanfict Naruto. Show all posts
Showing posts with label Fanfict Naruto. Show all posts

Saturday, December 12, 2015

Because I Love You (1)

Pair : Naruto-Hinata
Rate: M
Genre: Romance & hurt, drama
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)

Enjoy this
.
.
Because I Love You © Mickey_Miki

.
.
.
.
.
.

Wanita itu terus berlari. bulir keringatnya semakin banyak mengalir melalui pori-pori. Dia tidak peduli pada penampilannya yang berantakan, baju yang robek sana-sini hingga menampilkan beberapa bagian tubuhnya juga luka memar yang sangat jelas tergurat di tubuhnya. Tak peduli pada pergelangan kakinya yang kian membengkak, berdarah bahkan semakin nyeri. Dia terus berlari, semua ini untuk keselamatannya. Dia harus menajauh dari pria asing yang tiba-tiba menyerangnya.

Hosh... Hosh... Hosh...

Dengan nafas ringkih wanita itu berhenti, menyanggah punggungnya pada tembok gang. Dia membungkuk, memeriksa kakinya yang semakin nyeri juga luka-luka yang tergurat di beberapa bagian tubuhnya. “Sakit sekali.” Lirihnya sambil mengelus-elus pergelangan kaki yang kian membengkak.

Dia menoleh kanan kiri mencari jalan lain untuk berlari, namun tak ada. Dia sudah tersudut, di depannya adalah jalan buntu, tak mungkin juga dia memanjat dinding itu. Sejenak di pejamkan matanya, menenangkan degupan jantungnya yang semakin menggila. Mungkin ada jalan lain yang bisa dia gunakan.

Namun beberapa kalipun dicari, tetap tidak ada. Di depannya hanya ada tembok tua yang berdiri menjulang menutupi jalannya dengan lumut yang tumbuh dibeberapa bagian. Di samping kanan maupun kiri juga sama saja, hanya tembok bangunan gedung-gedung tua yang sudah tak terpakai.

Tubuhnya meluruh, jatuh ke tanah. Air mata mengalir tanpa diperintahkan. Segala rasa dan emosi bercampur. Dan Hinata baru merasakan apa yang namanya ketakutan. “Apa yang harus ku lakukan sekarang?” lirihnya bersamaan dengan rasa sesak yang kian menghimpit.

.
.

Tap..
Tap..
Tap..

Derap langkah itu terdengar jelas di tengah kesunyian. Jantung Hinata seakan ingin berlari dari tubuhnya. Pandangannya terus mengamati satu-satunya jalan menuju arahnya. Tubuhnya makin erat memeluk lutut dengan air matanya yang kian meluap jatuh dan membasahi tanah.

Bulan semakin terang bersinar ketika awan-awan kelabu pergi, semakin menerangi tempat Hinata. Sepertinya hari ini benar-benar hari buruknya, bahkan alam pun tidak mendukung dia untuk bersembunyi.

Rentetan kejadian sebelum kejadian ini pun terngiang di kepalanya. Ketika dia sudah menyelesaikan pekerjaannya dan rekan kerjanya meminta tolong padanya karena dia harus segera pulang. Kerja sampai larut malam dan melupakan rumahnya hingga berakhir seperti ini. dikejar oleh orang yang tidak dia kenal yang berusaha melecehkannya.

Seharusnya dia menolak permintaan itu, seharusnya ia langsung pulang, seharusnya sekarang ia telah tidur lelap di atas tempat tidurnya. Seharusnya tidak ada kata menyesal untuknya sekarang dan menikmati waktu istirahatnya.
Dan tentu saja penyesalan selalu ada di akhir cerita, bukan?

“Kau disini rupanya?”

DEG

Suara itu, suara yang bagaiakan melodi kematian yang memanggilnya. Mencoba menariknya ke dalam dunia kosong dan menyesakkan. Meretakkan seluruh bagian tubuhnya, hingga tak menyisakan apapun.

Tubuh Hinata semakin gematar, otaknya tak dapat lagi berfikir seiring dengan langkah laki-laki itu kian mendekat. Dia hanya mampu mendongak, menatap takut laki-laki besar dengan masker yang mentupi wajahnya.

“Ku mohon jangan mendekat!” Suaranya lirih nyaris tak terdengar. Namun tak digubirs oleh laki-laki itu yang semakin mendekat. Hinata semakin merapatkan dirinya di tembok gang tempatnya meringkuk, tak bisa lagi lari karena seluruh tubuhnya gemetar dan kesakitan.

“Aku tidak bisa. Aku harus melakukan ini. Aku minta maaf, hanya inilah satu-satunya cara.” Laki-laki itu berucap lirih hingga tak didengar oleh Hinata. Pancaran matanya juga menampilkan kesakitan yang sama seperti gadis itu.

....

Pagi menjelang, seberkas sinar memasuki sebuah ruangan di mana di atas tempat tidur seorang gadis─ah, tepatnya seorang wanita tengah tertidur dengan mata bengkak yang kentara. Yah, sudah sebulan ini wanita itu terus melakukan hal yang sama. Menangis ketika malam datang, mengingat kembali apa yang sudah dialami sebulan yang lalu. Harta satu-satunya yang paling berharga dalam hidupnya harus terenggut paksa oleh seorang pria yang tidak dia kenal.

Pria kejam dengan topeng hitam yang menutupi wajahnya, tak ada celah untuk melihat ciri-ciri laki-laki tersebut ketika menyetubuhinya, tak ada bukti untuk menjobloskan laki-laki itu ke penjara. Dan itu benar-benar membuatnya sangat frustasi. Tetapi apa yang harus dia lakukan? Tidak mungkin dia melakukan hal yang sangat tabu dan paling dibenci oleh penciptanya, kan─ dengan bunuh diri?

Entah kesalahan apa yang pernah dia lakukan pada pria itu, hingga melakukan semua ini padanya. Dia tidak mempunyai orang terdekat di dunia ini, tidak punya keluarga, apalagi teman. Tetapi kenapa? Selama ini dia selalu melakukan yang terbaik agar tak ada seorang pun yang membencinya apalagi menganggapnya sebagai musuh, tetapi kenapa? Apa yang pernah dia lakukan sampai kejadian naas itu terjadi padanya?

Hinata masih terlelap di atas ranjang, tak memedulikan sinar mentari yang menggodanya untuk membuka mata. Dia malah berdoa semoga dia tidak pernah bangun dari tidurnya, dengan begitu dia tidak akan pernah lagi mengingat kejadian itu.



Namun sayang, sinar matahari itu bukannya pergi malah semakin meningkatkan intensitas cahayanya dan membuat sang empu mau tak mau membuka kelopak matanya dan menampilkan sepasang mata bulan yang sayu. Tidak lama air mata mulai mengalir melewati pipinya ketika rentetan peristiwa malam itu kembali hadir dalam benak. Isakan tangisnya terdengar. Semakin keras hingga membuat siapapun yang mendengarnya merasakan perih dan rasa iba.

Kalau saja saat itu ia tak berbuat baik dan menolak permintaan rekan kerja part time-nya. Kalau saja saat itu ia peka dalam menyimpulkan kejanggalan hatinya. Dan kalau saja…dia tidak pernah bekerja di sana. Kalau saja seperti itu, hidupnya tak akan pernah berakhir seperti ini.

Tetapi semuanya sudah terjadi.

Sudah hampir seminggu dia tak masuk kampus apalagi pergi ke tempat kerja part time-nya. Sejak dia mengetahui kenyataan bahwa ia tak lagi sendiri di dunia ini. di dalam tubuhnya sekarang sudah hadir sesosok manusia yang masih belum sempurna, hasil dari kebejatan pria itu.

Dan sekarang dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan.


.
.
.

Tok... Tok... Tok...

Suara ketukan dipintu menyadarkannya. Lekas-lekas dia menyeka dan bergegas membasuh wajah. Entah siapa yang mendatanginya pagi-pagi begini?

Ceklek

Seorang pria tinggi dengan badan tegap tengah berdiri di depan rumahnya sekarang. Dia mengenal pria itu namun tidak terlalu dekat walau mereka sekelas, namun interaksi mereka hanya bisa dihitung jari. Dia adalah idola kaum hawa kampusnya, tidak hanya tampan, kaya, dia juga sangat cerdas bahkan sangat baik pada siapapun. Dia selalu tersenyum ramah pada orang, termasuk kepada Hinata dan itu pula yang membuat Hinata diam-diam mengaguminya. Tetapi apa yang membuat laki-laki itu mendatanginya? Apakah dia sudah membuat masalah?

“Ma...maaf─”

“Ah... aku minta maaf pagi-pagi sudah datang ke sini.” Ucap laki-laki itu.

“Ti...tidak apa-apa.” Jawab Hinata serak. Ada sedikit ketakutan dalam dirinya ketika melihat laki-laki itu. Bukan karena dia yang membuat Hinata seperti itu, tetapi─mungkin karena masih ada rasa trauma ketika melihat seorang pria─karena kejadian itu. “A...ada apa kau kemari?”

“Ini─” laki-laki itu menyerahkan selembar kertas padanya, “Kita diberi tugas oleh pak Izumo untuk menyelesaikan, tetapi kau tidak datang selama seminggu dan aku─ akhirnya aku mendatangimu. Maaf kalau membuatmu tidak nyaman.”

Hinata menggeleng pelan. “Seharusnya aku yang berterima kasih padamu karena membawakan ini untukku. Ja...jadi kapan kita mengerjakan ini.”

“Kalau kau sudah lebih sehat.”

“Baiklah. Terima kasih, Uzumaki-san”

“Cukup memanggilku Naruto, Hinata. Kau seperti memanggil ayahku.”

“I...iya.”

“Kalau begitu aku permisi. Semoga kau cepat sembuh, Hinata.”

Hinata menutup pintunya. Tubuhnya kemudian meluruh ke lantai, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya antara takut dan gugup ketika memandang laki-laki itu.

...

Keesokan harinya Hinata memberanikan diri untuk ke kampus untuk kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Memang masih ada rasa takut ketika bertemu dengan orang-orang terlebih itu adalah kaum laki-laki namun dia berusaha menekannya. Dia tidak akan mungkin seperti itu seterusnya, ada kehidupan lain yang sekarang berada di dalam tubuhnya. dan tubuhnya sekarang bukan cuman miliknya seorang. Walau janin itu adalah hasil dari kekejaman orang lain, tetapi dia memiliki kewajiban untuk melindunginya.

Hinata menegang ketika melihat orang-orang memandangnya. Bukan pandangan biasa yang dia dapatkan dulu─ sebelum seminggu yang lalu─ tetapi pandangan merendahkan seperti memandang kotoran busuk di jalan. Apa yang membuat mereka memandangnya seperti itu? Sebenarnya apa yang sudah terjadi saat dia tidak masuk kampus?

Puk

Hinata tersentak, terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya. “Hinata, kau kenapa?” Tanya orang itu. Suara bariton khas seorang lelaki masuk ke dalam indra pendengarannya. Suara yang sudah dikenalnya bahkan sudah dia tanam dalam kepalanya.
Hinata berbalik menatap orang itu, “Na..Naruto-san.”

“Ah... Maaf membuatmu terkejut. Dari tadi kau kupanggil, tetapi kau malah mengabaikanku. Kau sedari tadi hanya diam. Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu?”

Hinata menggeleng pelan sambil menunduk. Entah dia ingin bertanya tentang pandangan itu, tetapi dia ragu─bukan lebih tepatnya takut. Dia takut mendengar jawaban yang akan membuat batinnya semakin teriris luka lagipula Naruto bukanlah tempat yang biasa dia gunakan untuk mengadu ataupun bertanya dan laki-laki itu juga bukanlah orang terdekatnya dan mana mungkin laki-laki itu sadar tentang pandangan merendahkan yang ia terima itu.

“Tidak usah dipikirkan pandangan mereka. Mereka tidak tahu apa-apa tentangmu.” Kata Naruto seolah membaca pikiran Hinata. Dia pun sadar dengan pandangan merendahkan yang mereka berikan pada gadis di hadapannya itu. Dan Naruto benar-benar tak suka dengan cara mereka. Seolah merekalah yang bersih tak memiliki keburukan apapun.

“Ma...maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Naruto-san.” Kata Hinata menatap mata Naruto. Walau sedikit takut juga gugup.

“Ikut aku. Aku akan menceritakan semuanya.” Naruto meraih tangan Hinata dan membawanya di taman belakang kampus, tempat biasa yang Hinata datangi untuk mengerjakan tugas kuliah maupun melepas penat atau bersantai. Mereka duduk di kursi yang terletak di bawah pohon yang rindang. Siang yang terik tidak jadi masalah bagi mereka berdua karena udara yang menerpa mereka jadi terasa lebih mendamaikan.

“Hinata, sebelum aku menjelaskan apa yang terjadi. Aku ingin bertanya sesuatu.”

Hinata hanya mengangguk pelan. Sesungguhnya hatinya saat ini tengah resah. Dia takut mendengar apa yang akan Naruto katakan padanya, dia seolah tahu kalimat-kalimat yang akan dilontarkan Naruto─dan itu akan membuatnya semakin terpuruk.

“Apakah benar kau sedang mengandung?”

Dan pertanyaan itu sukses membuatnya terdiam, terpekur memikirkan semua itu. Mata bulannya menatap kosong penuh rasa tidak percaya dan keterkejutan yang tak mampu digambarkan oleh kata. Bagaimana mungkin Naruto tahu dengan kondisinya ini? Bukankah dia tidak pernah bercerita pada siapapun?

Naruto menatap iba Hinata. “Jadi itu benar, yah?” Ucapnya sendu seolah tahu bagaimana perasaan gadis itu sekarang.

Naruto menghela nafas sejenak lalu melanjutkan perkataannya. “Seminggu yang lalu, ada anak kampus yang mendapati alat test pack di toilet wanita dan tepat saat itu kaulah yang terakhir keluar dari toilet itu.”

Hinata memejamkan mata. Air mata sudah mengaliri pipinya menetes dan membasahi baju kaos putih yang dia kenakan. Yah, dia ingat saat itu, ketika dia ingin membuktikan perasaan ganjil yang dia rasakan dan tanpa pikir dua kali dia kemudian membuktikannya di toilet kampus. Dan setelah mendapatkan kebenaran, dia berlari tanpa membawa alat tes pack itu.

Sekarang apa yang harus dia lakukan? Tidak cukupkah dengan kehilangan keperawananya, hamil di luar nikah dengan seorang biadab yang tidak dia kenal, kenapa ditambah dengan mereka semua yang memandang dirinya rendah?

“Katakan, Hinata. Siapa ayah dari bayi itu?” Tanya Naruto sedikit memaksa.

Hinata sekali lagi menggeleng. Sekarang dia pasrah. Pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya.

“A...apakah kau─”

“Aku tidak tahu, Naruto. Aku diperkosa oleh orang yang tak ku ketahui. Aku tidak tahu siapa dia.”

Jeda beberapa saat sebelum Naruto membuka suara. “Kalau begitu biarkan aku yang bertanggung jawab.” Ucapnya lantang dan tegas tak ada keraguan saat mengucapkan itu. Seolah Naruto sudah memikirkannya beberapa kali.


.
.
.
.
.
.
TBC

Selanjutnya......... Chapter 2
Share:

Monday, August 17, 2015

Sleeping Beauty

Pair: SasuSaku
Rate: K+
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, typo, alur GaJe dan kecepatan. (suka suka mickey)
Sleeping beauty © Mickey_miki

....

SUMMARY

Sleeping beauty, kalian pernah dengar kisahnya, kan? Kisah dongeng, dimana seorang putri menunggu seoarang pangeran memberinya sebuah ciuman agar dia bisa terbebas dari kutukan seorang penyihir. Namun apa yang terjadi padaku. Bahkan tanpa seorang penyihir pun aku tertidur dan apa yang ku tunggu? Ciuman seorang pangeran-kah?

.
.
.

Bagian 1

Ada apa dengannya? Sedari tadi dia tidak bangun-bangun.

“Apa dia mati?”

“Panggil ambulance!”

“Sakura.. Bangun! Hei kau kenapa?”

“Bangunlah! Jangan bercanda!”

“Sakura..!!!”

“Ada apa? Kenapa kalian memanggilku seperti memanggil seseorang yang akan meninggalkan kalian? Aku disini. Di belakang kalian.” Ucap seorang gadis berdiri di belakang orang-orang yang sedang mengerubungi sesuatu.

“Bangun, jangan membuat kami khawatir... Sakura!!”

Sekali lagi gadis itu tampak bingung dengan teman-temannya. Memanggil namanya dengan nada khawatir yang nampak sangat jelas. “Aku...? Maksud kalian apa?”

“Seseorang... Tolong panggil ambulance!”

Sakura makin menyerngit bingung namun ada kekhawatiran dalam dirinya yang membuncah tatkala salah seorang temannya menyuruh seseorang memanggilkan ambulance. “Apa maksud ka─ apa ini?” Sakura tak mengerti sekaligus takut setelah melihat dirinya berwujud transparan. Tatapannya kembali dia alihkan pada teman-teman di depannya, “Teman-teman kenapa dengan tubuhku─” Ucapnya sendu sambil berjalan mendekat pada mereka. Sesampainya Sakura di dekat mereka, Sakura coba menyentuh salah seorang namun sayang tangannya tak bisa menyentuh. Seolah mereka adalah angin yang dengan mudah dia tembus namun tak berasa.

“Bertahanlah, kami mohon!”

Sakura kembali melihat tubuh transparannya. “Teman-teman hiks... Kenapa dengan tubuhku? Hiks... Aku─” matanya melebar saat melihat objek yang sedari tadi dikerumuni banyak orang. Tubuh seorang gadis yang terbaring. Helaian rambut merah mudanya berlambai saat teman-temannya mengangkat tubuh mungil itu. Dia tidak pingsan, tidak juga tidur. Dia tidak mati, hanya saja dia tidak bisa dibangunkan. Dan saat itu juga tubuh Sakura meluruh, jatuh dan terduduk di atas tanah. Air mata tak bisa lagi dia bendung, mengalir deras bak aliran sebuah sungai yang jatuh ke atas tanah namun tak membasahi.

.
oOo
.

Dan inilah aku yang sekarang. Menjadi salah satu makhluk gentayangan yang sering diteriaki manusia ketika bertemu namun anehnya tubuhku masih berada di dunia ini. Aku tidak mati, hanya saja tubuhku sedang tertidur. Layaknya seorang putri tidur dalam sebuah dongeng namun tak ada penyihir yang membuatku seperti ini. Entah apa sebabnya, dokter hanya berkata bahwa ini adalah sebuah penyakit langkah namun tidak mematikan. Otakku hanya berhenti bekerja sementara dan membuat tubuhku seperti sedang tertidur.

Lalu rohkulah yang kenna imbasnya. Tak bisa kembali ke dalam tubuhku dan berakhir menjadi roh gentayangan. Ini bukanlah sebuah drama yang biasa ku tonton, karena aku bukanlah seorang aktris. bukan pula sebuah mimpi aneh yang kebetulan ku alami. Ini benar-benar terjadi. Sebuah kisah aneh bin nyata yang entah kenapa akulah yang jadi pemeran utamanya.

Aku sedih, tentu saja. Marah, apalagi namun tak tahu harus marah pada siapa. dan pada akhirnya aku hanya bisa menjalaninya. Hidup namun tidak hidup. Hanya mengikuti arus. Sama seperti air yang mengalir menuju muara. Namun aku tak tahu sampai kapan air itu mengalir.

Selama seminggu aku hanya mengelilingi rumah sakit ini karena tak bisa kemana-mana pun dengan tujuannya. Awalnya memang terasa menyedihkan juga kesepian, namun itu tidak lama setelah mengenal makhluk yang sama sepertiku. Padahal jika mengingat kembali diriku yang dulu, aku pasti akan lari terbirit-birit atau bahkan akan pipis di celana jika melihat mereka. Dan sekarang malah sebagian menjadi kenalanku.

Berbagai macam karakter ku temui dan sebagian dari mereka sangat mengagumkan. Ada nenek chiyo yang sudah hampir tiga bulan mati namun rohnya tetap berada di dalam bilik kamar, katanya dia sedang menunggu cucunya. Dia adalah guru yang baik karena, pengalaman hidupnya yang sudah sangat lama. Ada juga pak Asuma, seorang polisi muda yang mati saat menjalankan tugasnya banyak kisahnya yang dia ceritakan padaku terutama pada misi-misi penyelamatannya yang sangat hebat. Lalu pak Dan. Dia adalah favoritku, tampan dengan semua nasihat bijaknya yang membuat aku tidak terpuruk dengan keadaanku saat ini. dan berkat mereka semua kesepian akan apa yang ku alami sukses berkurang.

Aku menggerakkan kembali tubuhku, melayang seperti selembar kapas yang berterbangan. Mengikuti kemana arah hati untuk pergi. Dan di sinilah aku, duduk di atas pagar pembatas di atap gedung rumah sakit. Tak ada rasa takut jatuh yang biasa ku rasakan saat berada pada ketinggian, tentu saja karena ini hanya rohku. Tak akan bisa jatuh ke atas tanah, karena tubuhku tak bisa menapaki tanah.

Walau tak bisa lagi merasakan udara yang berhembus, setidaknya aku bisa lebih tenang berada di sini. Langit yang berwarna biru cerah juga alunan suara burung kecil yang melantunkan bait-bait penuh damai seolah menghipnotis rohku agar tetap tenang dan menikmati tiap hari dalam kesedihanku.

Angin berhembus kencang seolah menembus sanubariku, membuat merasakan suatu perasaan tidak nyaman. Layaknya merasakan sebuah jantung, aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Ku tolehkan kepalaku ke samping. Seseorang tengah berdiri di atas pagar pembatas, seolah menunggu waktu yang tepat buat dia terjun ke bawah. Pandangannya kosong menatap ke depan seolah tengah membayangkan sesuatu. Iris kelamnya menampakkan raut kesedihan yang amat kentara.

Dia maju namun tidak cukup satu kaki. “Kenapa kalian melakukan ini padaku?” Ucapnya lirih sambil memegang dada. Rasanya aku bisa merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Perih dengan kekecewaan yang bercampur.

“Aku mempercayai kalian, tetapi kenapa?” Sekali lagi dia berucap. Langkahnya semakin menepi. Aku sampai ngeri melihatnya. Membayangkan jika dia melompat dan tubuhnya hancur dengan kepala bocor yang mengeluarkan ceceran otak, kaki yang terpelintir 360° dengan tak beraturan, tangan patah, bahkan organ dalam perutnya juga ikut tercecer, membuatku sedikit mual.

Aku mendekatinya perlahan, walau ku tahu tak ada gunanya karena dia tak akan bisa melihatku. “Kenapa kau ingin bunuh diri?” Ucapku saat sudah sampai dan duduk tepat di sampingnya. Menatapi pemandangan kota.

Aku merasa dia berhenti bergerak, ku tengadahkan kepala melihatnya. Dan benar saja dia seolah sedang mencari suaraku. Aku kembali bersuara, mencari pembenaran dari dugaanku. “Kenapa kau memilih jalan ini?” Pandanganku terfokus pada pemandangan perkotaan. Siang ini walau cerah namun matahari tidak memancarkan sinar yang terik. “Padahal banyak orang yang masih ingin hidup─”

“Kau siapa?”

“Hm” Aku mungkin salah mendengar dia bertanya siapa aku. Sudah seminggu aku berada di sini ini dan rata-rata manusia dewasa tak ada yang bisa melihatku.

“Kau siapa dan bagaimana caramu kau berada di sampingku?”

Rasanya waktu telah berhenti saat ini ketika mendengar perkataannya itu. bukankah itu artinya dia bisa melihatku? Aku mendongak, menatapnya bingung. “Kau bisa melihatku?” Tanyaku sambil menunjuk diri sendiri.

“Apa aku terlihat buta hingga tak bisa melihatmu?” Dia bertanya dengan nada mencemooh sambil melipat dada, menatapku tak suka.

Aku menatapnya tak percaya lantas berdiri dengan tiba-tiba hingga membuatnya terlonjat kaget dan tersentak ke belakang dan akhirnya terjatuh dengan tidak elit. Kakinya berada di pagar sedang kepalnya berada di bawah. Dia mengaduh kesakitan sambil mengelus-elus kepalanya yang tadi terbentur.

“Pffft... Ha... Ha... Ha.... Kau lucu sekali. Maaf aku tidak sengaja.” Ucapku menyesal di sela-sela tawaku. Sungguh dia terlihat lucu, mengingat sikap dinginnya tadi. aku menghampirinya berniat menolong namun tubuhku tak bisa menyentuh.

“Apa begitu sikap orang yang menyesal, hah?” Katanya dengan emosi yang bercampur rasa malu. Dia berdiri lantas melayangkan tatapan tajam padaku.

“Maaf. Sungguh aku minta maaf. Aku terlalu senang bertemu dengan seseorang yang bisa melihatku.” Sahutku dengan tatapan permohonan sekaligus bahagia.

“Tidak ada orang yang meminta maaf dengan tatapan bahagia seperti itu. lagi pula apa maksud perkataanmu itu. Apa kau sudah mati?”

Aku menggeleng untuk pertanyaan terakhirnya, “Aku belum mati, namun rohku bergentayangan. Tubuhku hanya tertidur. Dan apa yang kau lakukan hingga membuatku bisa terlihat olehmu? Apakah kau memiliki six sense?” Tanyaku penasaran sekaligus kagum.

Dia merapikan pakaiannya, menepuk pakaiannya yang terkena debu akibat jatuh. “Aku tidak melakukan apa-apa dan aku tidak memiliki indra keenam.” Sahutnya ketus, rupanya dia masih belum memaafkan tentang sikapku tadi. dia kemudian berjalan ke arah pintu keluar atap gedung ini dan tanpa melihatku.

Aku mengikutinya, melayang mengikuti langkah kakinya yang panjang. “Omong-omong, kenapa kau mau bunuh diri?” Tanyaku penasaran.

Dia berhenti dan melirikku sinis, “Bukan urusanmu. Dan gara-gara kau aku jadi malas melakukan hal itu.” sahutnya lantas kembali melangkah pergi.

“Benarkah? Apa aku sudah jadi seorang penyelamat?”

Tak ada sahutan darinya. Dia tetap melangkah pergi seolah dia tak mendengar apapun yang keluar dari mulutku tapi aku tetap tersenyum malah merasa bahagia. Baru kali ini aku menemukan seseorang yang bisa melihatku dan mendengar kata-kataku. Dan aku juga merasa bangga karena sudah menghentikan percobaan bunuh dirinya. Walau tanpa kata-kata bijak hanya membuatnya terlihat konyol dan merasa malu dia lantas pergi seolah tak terjadi apa-apa. Atau karena dari awal memang dia tidak berniat bunuh diri dan hanya ingin menenangkan perasaan?

Lanjut Bagian 2
Share:

Wednesday, July 22, 2015

Happy for Ending

Remake dengan judul yang sama.

Pair: Sarada, Sasuke dan Sakura
Rate: T
Genre: Family & General
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
Cici_Mickey
________________________________________

SUMMARY :

Sarada adalah seorang anak yang tumbuh tanpa didampingi oleh sang ayah. Walaupun ia bahagia bersama dengan ibunya, namun ia masih merasa kurang. Kebahagiaan yang ia rasakan tidaklah cukup hanya bersama dengan sang ibu. Sarada ingin merasakannya juga dengan ayahnya. Sarada memiliki rencana untuk menyatukan kembali kedua orang tuanya dalam waktu seminggu. Ia berbohong kepada ibunya agar ia dapat menjalankan rencananya. Akankah semua rencananya berhasil?
.
.
.
.
HAPPY FOR ENDING

~happy reading~
.
.
.
.
.
Kebahagiaan akan terasa saat kita merasakannya bersama. Bersama dengan ayah dan ibu.
::
::
::
::
::
::
::


Chapter 1 : Ayah

Sarada-chan, temani oka-san yah ke mall?!” pinta Sakura pada Sarada yang tengah mencari sesuatu di gudang belakang rumahnya.

Sarada adalah anak tunggal dari Haruno Sakura sejak 15 tahun yang lalu. Dia memiliki rambut berwarna merah maron dengan mata onix kelam yang dihiasi kaca mata ber-frame merah, hidung mancung, kulit putih, dan wajah yang cantik mirip ibunya. Ia adalah anak yang sangat dibanggakan Sakura, bagaimana tidak ia selalu mendapat prestasi di sekolahnya baik akademik maupun non-akademik. Ia juga merupakan idola di sekolahnya, dan walaupun umurnya baru menginjak 15 tahun, tapi saat ini ia sudah menduduki kelas XII di SMA Suna Gakuen dan baru saja menyelesaikan UN. Ia memang mengikuti kelas axelerasi sejak SMP.
Haioka-san.” Jawabnya malas. “Memang oka-san mau beli apa sih?, bukannya kemarin sudah ke mall yah, untuk membeli keperluannya oka-san.” Ucap sarada yang berada di belakang rumah.

“Hehehe…” Sakura nyengir, “Oka-san lupa beli─.. Ah… Sarada-chan antar Oka-san saja!”

“Baiklah. Tapi setelah aku menemukan tongkat baseballku…” Sarada malas berdebat dengan ibunya, lantas melanjutkan pencarian tongkat baseball-nya. Butuh waktu setengah jam untuk menemukan barang itu, karena barang-barang yang terdapat di gudang sangatlah banyak.

Sarada-chan, kau kan seorang gadis, kenapa suka sekali bermain baseball? Itukan olahraga laki-laki, sayang.” ucap Sakura setelah mendengar penuturan putrinya.

Sarada tak menyahut lantas segera beranjak untuk menemui ibunya. Ia tak mau mendengar omelan ibunya karena membuatnya terlalu lama menunggu. Sarada lantas melangkahkan kakinya keluar dari gudang. Akan tetapi, langkahnya terhenti karena telah menginjak sesuatu. Sebuah buku yang sudah tua dan usang. Buku yang belum pernah Sarada lihat. Dilandasi rasa penasaran Sarada lantas mengambilnya dan melihat isi dalam buku itu.

BUKU HARIAN HARUNO SAKURA

Senyum penuh arti terpancar di wajahnya, ‘ini buku harian oka-san. Aku mungkin bisa mengetahui siapa ayahku yang sebenarnya.’ Batinnya.

Sarada-chan!!!” Panggil Sakura.

Sarada cepat-cepat menutup bukunya lantas melanjutkan langkahnya.

“Sudah kau dapatkan apa yang kau cari?” Tanya Sakura ketika melihat sarada yang tengah berjalan ke kamarnya.

Sarada berhenti sejenak, mengangguk lantas memperlihatkan tongkat baseball-nya, tapi tidak dengan buku yang ia dapatkan.

“Kalau begitu mandilah, oka-san tunggu di depan.”

“Hai’.” Sahutnya kembali semakin mempercepat langkahnya menuju kamar.
Sarada memasuki kamar, dan menyimpan buku diary itu di dalam laci meja belajarnya. Setelahnya mengambil handuk dan memasuki kamar mandi. Senyum tersungging terus di bibir merahnya, dia tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat ini. mungkin dengan adanya buku itu dia bisa mengetahui siapa ayah yang hanya ada dalam imajinasinya saja.

Sarada tidak membutuhkan waktu yang lama untuk berbenah diri. toh tubuhya pada dasarnya tidaklah terlalu kotor dan juga ia tidak suka berlama-lama dalam kamar mandi. Lagi pula hari ini adalah awal musim semi, hawa dingin bekas musim dingin kemarin masih terasa.

Sarada memakai pakaian kasual dengan baju kaos putih tanpa lengan dengan gambar ‘The Beatles’ yang dipadukan dengan switer abu-abu dan celana jins hitam panjang, tak lupa sepatu convers black leather snacker-nya yang turut membungkus telapak kakinya. Dia kembali bercermin untuk memastikan penampilannya. Dirasanya sudah sempurna, dia kemudian menghampiri ibunya yang tengah menunggu di bawah.

Oka-san, aku sudah selesai. Kita bisa berangkat sekarang!” Kata Sarada menghampiri ibunya.

“Baik─ astaga Sarada-chan, kenapa pakaianmu seperti itu terus sih? Tak bisakah kau memakai gaun?” Ucap Sakura tampak tak suka melihat penampilan putrinya─ menurutnya putrinya itu tampak seperti laki-laki.

Sarada hanya memutar bola matanya bosan. “Sudahlah, oka-san. Kita berangkat saja. Kita hanya akan banyak membuang waktu dengan sia-sia jika menunggu Oka-san mengomentari penampilanku.” Tukas Sarada pelan sambil berlalu menuju bagasi mobil.

Sakura menghela nafas. Entah kenapa ada rasa penyesalan di benaknya saat ini. Seharusnya dulu ia tak pernah membantah apa yang dikatakan oleh orang tuanya, seharusnya dulu ia menjadi gadis baik yang penurut. Kini anaknya mengikuti jejaknya sewaktu muda, baik sifat pembangkangnya maupun penampilannya.



~*,)(,*~

Oka-san!” Panggil Sarada tapi tak berpaling dari jalanan di depannya.

“Hm.” Sakura menjawab tanpa minat. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini. pandangannya terus telah pada jalanan mobil.

“Boleh aku tanya sesuatu?” Tanya Sarada ragu-ragu. Sedikit melirik ibunya yang tengah mencari ponsel ibunya yang sedari tadi bergetar di dalam tas.

“Tentu saja boleh. Memang apa yang Sarada-chan ingin tanyakan?” Tanya Sakura. Firasatnya tidak enak mendengar anaknya meminta izin untuk bertanya. Biasanya Sarada akan menyuarakan langsung apa yang ada di pikirannya tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu.

“Sebetulnya...” Terdapat jeda dalam kalimatnya. “...Siapa ayahku?” Lanjut Sarada melirik ibunya dari kaca spion.

Sakura menegang mendengar pertanyaan anaknya. Detik berikutnya, ponsel yang dia gemgam terjatuh di lantai mobil. Sakura tercengang. Entah ia tak tahu harus bereaksi apa, saat kalimat itu keluar dari mulut anaknya. Ia terus terdiam. Mata emerald-nya menatap kosong penuh rasa tidak percaya dan keterkejutan. Gambaran-gambaran masa lalu kini berseliweran dalam benak. Sesuatu yang sudah lama ia coba kubur, kini menyeruak akibat pertanyaan anaknya.

Sakura menggigit bibir dalam guna meredakan sesak yang tiba-tiba menyeruak. “Apa ada yang mengganggumu Sarada-chan? Kenapa tiba-tiba menanyakan tou-san, hm?” Tanya Sakura menatap penuh kekhawatiran pada anaknya.

Sarada tahu ibunya sedang mengalihkan pembicaraan mereka, ia ingin menanggapi pertanyaan itu, namun ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Sudah beberapa tahun ia berusaha mengabaikan cibiran orang lain tentang dirinya juga ibunya dan ia berhasil. Namun hati kecilnya tak kuasa lagi menahan rasa sesak sekaligus rasa penasaran akan sosok ayahnya itu yang semakin hari semakin memuncak, “Oka-san, ku mohon jangan alihkan pembicaraan!” Sarada menunduk dalam. Mobil yang dia kendarai sudah di tepikan. Mungkin dia salah menanyakan masalah ini sekarang, di waktu dan tempat yang tidak mendukung tapi dia sudah tak mampu lagi menahannya. Perasaan selama bertahun-tahun yang coba dia kubur, perlahan menyeruak dan ingin segera dibebaskan.

“Aku hanya ingin tahu bagaimana sosok ayah. Selama ini tak pernah sekali pun aku pernah mendengar dan melihat bagaimana sosok ayahku. Saat kecil aku selalu iri pada teman-temanku yang selalu dijemput oleh ayahnya setelah bermain, aku iri pada mereka yang dengan penuh suka cita bercerita tentang sosok ayahnya dan aku sangat iri saat melihat kebersamaan mereka. Aku sudah berusaha menahannya selama ini, tapi aku sudah tidak sanggup. Aku hanya ingin tahu bagaimana dia, bagaimana sosok ayahku, kaa-san.” Tutur Sarada. Matanya berkaca-kaca mengingat semua kenangan-kenangan masa kecil hingga saat ini.

Sakura menatap anaknya iba. Tak pernah ia kira, selama ini ternyata Sarada menyembunyikan kesedihannya. Penyesalan kembali dirasakan Sakura saat melihat setetes cairan bening jatuh dari pelupuk mata indah putrinya, “Maafkan kaa-san sayang. Kaa-san tidak bermaksud menyembunyikan tentang ayahmu, tapi kaa-san hanya menunggu waktu yang tepat untuk memberitahumu,” sekaligus menyiapkan hati menceritakan semuanya lanjut Sakura dalam hati.

Sarada tersenyum tipis mendengar kata ibunya, “Kaa-san aku sudah lama menyiapkan diriku untuk mengetahui semuanya. Apapun itu. Aku tidak peduli walaupun ayah adalah seorang penjahat, aku tak apa. Walau ayah adalah buronan atau seorang tawanan sel. Aku hanya ingin tahu bagaimana sosok ayahku itu.” Jelas Sarada menatap penuh keyakinan ibunya.

“Ayahmu bukanlah seorang penjahat Sarada malahan dia adalah seorang pahlawan namun... Ia sudah meninggal sejak kau masih dalam kandunganku.” Ucap Sakura menatap anaknya dengan menyesal. Dalam hati beribu penyesalan sedang berkecamuk. ‘Maafkan kaa-san sayang, sekarang belum waktunya kau tahu.’ Batin Sakura menyesal.

Sarada tak menjawab. Dia diam dengan perasaan yang berkecamuk. Rasanya sangat perih. Seolah tengah ditimpa berton batuan hingga membuatnya tak kuasa untuk tidak menitikkan setetes air mata. Kenyataan ini terlalu berat untuk anak serapuh dia. Padahal dia sudah menyiapkan hatinya untuk mendengar jawaban dari ibunya, namun kenyataan itu tetap saja terasa menyakitkan.

“Ayahmu adalah seorang tentara, walau terlihat dingin dan nampak tak membutuhkan seseorang, nyatanya dia tetaplah seorang manusia yang membutuhkan perhatian, dia sama sepertimu Sarada-chan. Kau pasti akan mengagumi sosoknya.” Ucap Sakura menerawang, membayangkan wajah seorang pria yang sampai sekarang pun masih menduduki peringkat teratas dalam hatinya. “Seandainya Oka-san punya fotonya. Ah... Maaf yah Sarada-chan, ibu tidak memiliki fotonya.” Lanjutnya seraya menatap lekat anaknya.

Sarada masih bergeming, tak membalas maupun menyahuti perkataan ibunya. Di matanya dia bisa melihat guratan kesedihan yang sangat jelas di mata ibunya. “Dia... Dia meninggal ketika menjalankan misinya. Waktu itu aku hamil 5 bulan dan ayahmu diperintahkan untuk menjadi relawan Negara lain yang sedang berperang. Ayahmu ingin sekali menolaknya, karena khawatir meninggalkan ibu dalam keadaan hamil muda yang pada masa-masa itu, adalah masa ngidamku. Tetapi ia tidak bisa. Hingga setelah dua bulan menunggu, kabar itu tiba. Para relawan kembali termasuk juga ayahmu. Ibu bergegas menuju stasiun, menunggu kedatangan mereka tanpa memedulikan keadaanku yang sedang hamil tua.”

Oka-san mencari-cari ayahmu di antara para tentara yang telah tiba, tapi…” Sakura menghentikan ucapannya. Matanya memanas. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata yang sudah menganak di pelupuk mata.

Setelah beberapa detik. Sakura tak kuasa lagi menahan sesak yang selama ini dia tekan. Dengan derai air mata yang membasahi kedua pipinya, ia melanjutkan cerita. “Tapi yang ibu dapat adalah raga ayahmu tanpa nyawa.”

Tak tahan melihat ibunya bersedih dan menangis, Sarada merengkuh lantas mengelus-elus punggung ibunya yang bergetar berharap ibunya merasa tenang dan tidak lagi bersedih. “Aku minta maaf oka-san! Aku tidak bermaksud mengingatkan Oka-san dengan hal itu. Aku hanya ingin tahu siapa ayahku. Aku tidak akan pernah lagi menanyakan tentang tou-san.” Ungkapnya dengan cemas. ‘tapi aku akan mencari tahunya sendiri, oka-san. Maafkan aku! Aku tahu Oka-san tengah berbohong. Itu semua terlalu terlihat untukku, oka-san.’ lanjutnya dalam hati.

Selama ini Sarada tak pernah menanyakan tentang ayahnya pada ibunya, karena takut hal ini akan terjadi. Dulu, ia pernah tidak sengaja melihat ibunya menangis dalam kamar, ia tahu apa yang membuat ibunya bersedih. Karena dulu setelah ibunya puas menangis yang berakhir dengan tertidur pulas tak henti-hentinya ibunya menyebutkan satu nama yang terdengar samar di telinganya yang ia yakini adalah nama dari ayahnya. Maka dari itu, ia menghilangkan semua niatnya untuk menanyakan siapa ayahnya.

Niat awalnya yang ingin tahu tentang ayahnya, harus dia tahan lagi karena kesedihan ibunya. Ia tak mau membuat ibunya kembali bersedih dan mengeluarkan air mata, dadanya terasa sakit. Maka dari itu, ia akan mencari tahunya sendiri, dan sekelabat memori penemuannya itu hadir membuat dirinya semakin yakin, ia akan segera mengetahuinya dan ia bertekad setelah pulang mengantar ibunya ia akan membacanya.

“Iya, gak apa-apa sayang.” Sakura menghapus air matanya dan tersenyum, senyum yang masih memancarkan kesedihan.

“Apa perjalanannya kita lanjutkan atau kita pulang saja?” Tanya sarada dengan khawatir. Ia merasa mereka tak perlu melanjutkan perjalanan itu, karena menurutnya ibunya tak akan sanggup bila berjalan dengan pikiran yang masih sedih.

“Kita lanjutkan saja, sayang. Ibu sudah tidak apa-apa. Kau jangan terlalu mengkhawatirkan ibu.” Jawab Sakura dengan senyum yang berbeda dengan yang tadi, namun masih terlihat menyembunyikan sesuatu.

“Baiklah!” Dengan tidak rela Sarada pun melanjutkan perjalanan itu.

...
...
...

“Oka-san sebetulnya mau beli apa, sih. Kenapa lama sekali?” Gerutu sarada yang menunggu ibunya di parkiran mall. Sarada tidak masuk ke dalam mall bersama ibunya, dia terlalu malas untuk berjalan, apalagi harus bertemu dengan orang-orang yang berisik di sana. Ia lebih memilih menunggu di dalam mobil yang menurutnya lebih nyaman, karena tak ada suara bising yang dapat mengganggunya. “Hah...” Desah Sarada yang sudah sangat bosan menunggu ibunya. “15 menit lagi, kalau tidak datang, aku akan menyusulnya.” Ucapnya pada dirinya seraya mengamati orang-orang di depan mall.

15 menit kemudian

Sarada membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam mall untuk mencari ibunya. Ia mengambil ponsel di saku celana lantas menghubungi ibunya.

“Moshi-moshi… Oka-san dimana?”

“Aku masih mencari benda yang ibu inginkan, sayang.” Terdengar suara bising di sekitar ibunya saat menjawab panggilan dari Sarada.

Sakura menghela nafas. “Baiklah aku akan menyusul Oka-san ke sana. Aku bosan menuggu di mobil, oka-san.”

“Sebaiknya tidak usah, tunggu Oka-san saja di Japanese Foods saja, kita akan bertemu di sana.”

“Baikalah. Cepatlah oka-san! Aku bosan di perhatikan terus.”

HaikHaik…”

Setelah sambungan terputus Sarada menuruti ibunya dan memasuki sebuah restoran yang menjual berbagai aneka makanan khas jepang. Anak itu kemudian duduk di salah satu bangku paling sudut, dekat dengan kaca transparan, akan tetapi tak terlihat dari luar. Ia menunggu ibunya sambil menopang dagu dan memandangi orang-orang di luar restoran dengan bosan. Minuman yang ia pesan sebelumnya hanya dibiarkan saja di atas meja.

Tiba-tiba matanya menemukan satu objek yang membuatnya tertarik. Dia memfokuskan pandangannya untuk dapat melihat jelas orang itu. walaupun orang itu dikerumuni banyak orang terutama perempuan namun Sarada masih dapat melihat pria itu. entah kenapa, melihat pria itu membuat perasaannya berdesir hangat. Ah... tidak mungkin Sarada jatuh cinta pada pria yang terlihat seumuran dengan ibunya itu. tetapi wajah laki-laki itu memanglah sangat tampan. Mata onix, hidung mancung, kulit putih, rambut raven, dan tatapan matanya seakan menariknya tenggelam dalam gelapnya malam.

Kegiatan memandanginya terus ia lakukan, hingga tanpa sadar seseorang telah duduk di hadapannya.

Sarada-chan, kau sedang memperhatikan apa?” Tanya orang tersebut. Sarada mengalihkan pandangannya dan melihat orang itu. “Kelihatannya menarik sekali, sampai-sampai kau tak sadar ibu sudah disini.” Lanjutnya.

“Ah… Oka-san, aku tadi hanya memperhatikan orang itu.” Sarada menunjukkan orang yang sejak tadi dia perhatikan.

“Yang mana?” Sakura mengikuti arah pandang Sarada.

“Hah… dia sudah pergi.” Jawabnya kecewa. Padahal ia ingin memperlihatkan orang itu pada ibunya karena wajah laki-laki itu yang tampan.

“Memangnya dia siapa?” Sakura penasaran dengan orang yang diperhatikan sedari tadi oleh anaknya. Jarang sekali Sarada memperhatikan seseorang sampai tak menyadari dirinya.

“Aku tidak tau. Wajahnya terlihat tidak asing. Entahlah. padahal aku belum pernah melihatnya.”

Sakura jadi penasaran dengan orang itu, “Apa maksudmu Sarada-chan? Ibu tidak mengerti. Kau bilang tidak pernah berjumpa namun kau merasa tidak asing dengan orang itu.” heran. Tentu saja. Sakura merasa aneh dengan perilaku dari anak semata wayang itu. Ia jadi penasaran dengan orang yang dimaksud anaknya. ingin sekali dia lihat rupa dari orang itu, barangkali dia mengenalnya. Tetapi jauh dari lerung hati yang terdalam perasaan aneh itu hadir. Rasanya sesak namun dia seakan merindukan. Entah bagaimana mendeskripsikannya dengan kata. Sakura juga tak tahu.

“Entahlah, oka-san. Aku juga tidak mengerti. Perasaan ini baru pertama kali ku rasakan.” Jelasnya. “aku merasa kami sudah sangat dekat dan anehnya aku tidak merasa pernah bertemu dengan dia sebelumnya.” Pandangan mata Sarada masih fokus untuk mencari orang itu, barangkali ia dapat menemukan dan memperlihatkannya pada ibunya.

‘Aneh, kenapa aku merasa seperti ini. Kami-sama mudah-mudahan orang yang dilihat anakku bukanlah dia! Aku tak mau lagi bertemu dengan mereka.’ Batin Sakura berdoa.

“Oya Sarada-chan, kau sudah memesan makanan?” Sakura mencoba mengalihkan perhatian anaknya. Ia tak mau Sarada mengingat orang yang menjadi objek perhatian anaknya itu. Entahlah walaupun ia sendiri tidak melihat orang itu, namun ia merasa tidak suka. Bayangan-bayangan beberapa tahun lalu yang telah ia kubur entah kenapa menyeruak keluar. Perasaan takut mulai menghinggapi, hingga tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca. Untungnya Sarada tak menyadari itu karena fokus anaknya bukan pada dia tetapi di luar restoran.

“Belum. Aku menunggu Oka-san tadi.”

Sakura tersenyum, pengalihannya sukses. “Mmm…. Baiklah.”


Sakura mencari-cari waitress. Setelahnya dia memanggilnya. “Pelayan…!” Panggil Sakura dengan menaikkan tangan kanannya.

Pelayan yang dipanggil Sakura datang menghampirinya, “maaf nyonya, ada yang biasa saya bantu? Nyonya mau pesan apa?” Tanya pelayan itu dengan sopan dan memberikan daftar menu yang tersedia.

“Kau mau makan apa Sarada-chan?” Tanya Sakura pada anaknya.

“Ramen saja dengan ekstra tomat, minumannya gak usah.” Jawab Sarada tanpa pikir. Ia masih memikirkan orang yang mirip dengannya itu.

“Saya pesan sashimi dan ramen, minumannya jus jeruk saja.”

Pelayan itu menuliskan pesanan Sakura, “Baiklah, satu sashimi dan ramen dengan minumannya jus jeruk satu.” Sakura mengangguk lantas tersenyum pada pelayan itu. “Baiklah silahkan tunggu 20 menit, pesanan kalian akan segera diantar!?” ucapnya membungkuk sebentar seraya menjauh dari mereka.

Sakura lantas melihat anaknya heran, dari tadi anaknya seperti mencari-cari sesuatu. “Sarada-chan, ada apa? apa kau masih mencari kebedaan orang itu?”

“Tidak ada apa-apa. aku tidak mencarinya kok oka-san. Jangan terlalu khawatir.” jawabnya masih memandangi orang-orang di luar. Berharap bisa melihat orang itu lagi. Yah dia berbohong pada ibunya jika dia tidak sedang mencari-cari orang itu. entah kanapa dia masih penasaran dengan orang yang baru dilihatnya itu.

“Tidak bisaanya kau memikirkan sesuatu. Kalau ada masalah ceritalah pada ibu.” ucap Sakura berharap anaknya bisa menceritakan permasalahannya.

“Tidak ada kok oka-san. Aku baik-baik saja.” Balas Sarada tanpa memandang ibunya. Bertopang dagu dan terus memperhatikan lalu-lalang di luar restoran. Pikirannya berkecamuk, penasaran namun enggan mencari tahu. ‘apa yang ku inginkan sebenarnya?’ pikirnya.

Sakura mendesah melihat kelakuan anaknya yang terlalu kentara menyembunyikan sesuatu. Ia pun membiarkan anaknya seperti itu hingga puas namun dalam hati ia berdoa agar anaknya itu tidak akan melihat orang itu, entah kenapa memikirkan orang itu buat perasaannya jadi tidak enak, tapa juga... rindu. ‘Aneh sekali. Sebenarnya apa yang ku inginkan?’ batin Sakura.

Hingga 20 menit kemudian pesanan mereka tiba, mereka masih tetap diam dan memakannya tanpa bersuara. Sakura makan sambil melihat anaknya yang makan seperti tidak berselera.

Sarada-chan!”

“Hn”

“Kau kenapa? Tidak bisaanya kau seperti ini. Kau ada masalah?”

“Aku baik-baik saja oka-san, jangan khawatir!”

“Hm… baiklah.” Sakura melirik anaknya, lantas mendesah pasrah. ‘bukannya tadi dia yang menenangkanku, kenapa sekarang dia terlihat risau.’ Batin Sakura.


Sarada dan Sakura kemudian beranjak dari mall itu untuk pulang ke rumah. Akan tetapi setelah tiba di parkiran Sakura meninggalkan anaknya dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil duluan.

Sarada-chan, kau masuklah ke dalam mobil duluan, ibu mau ke toilet dulu.”

“Hn”
...
...
...

“Sakura!”

Sakura berhenti, “hah” Sakura bingung dengan suara yang samar-samar didengarnya. ‘siapa? Apa tadi ada yang memanggil namaku?’ pikirnya. Ia pun berjalan lagi.

“Sakura!”

DEG

Sakura memegang dadanya. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak. Dadanya sesak, rasanya seperti perasaan yang dulu telah lama ia tinggalkan.

“Sakura!”

Sekali lagi suara itu terdengar di gendang telinganya dan kali ini terdengar lebih keras, ‘Suara itu, kenapa sangat mirip dengan suaranya. Suara dari laki-laki itu, tidak mungkin. Aku pasti salah dengar. Lagi pula tak hanya dia yang memiliki suara seperti itu.’ Batinnya.

“Sakura! Kau Sakura-kan!?” Panggilnya lagi membuat Sakura secara perlahan berbalik karena penasaran dengan orang yang telah memnggilnya. Kedua matanya sukses membulat sempurna ketika melihat orang itu. “Sasuke.” Lirihnya.

“Ternyata memang benar kau Sakura, aku senang sekali bisa melihatmu disini.” Orang itu berjalan semakin dekat dengan Sakura. Tampak di raut wajahnya, ekspresi bahagia, senang, dan penuh kelegaan. Seperti telah memenangkan sebuah tender yang sudah lama dia kerjakan.

“…” lagi-lagi Sakura tak menggubrisnya. Ia hanya diam dan melihat orang itu berjalan ke arahnya. Tapi itu tak lama, karena semakin orang itu mendekat, maka Sakura pun semakin menjauhinya.

“Apa kau lupa padaku? Aku Sasuke, sahabatmu dulu.” Tanya Sasuke penuh harap. Sasuke semakin mendekati Sakura.

“…” tanpa menjawab, Sakura kemudian berlari menghindari laki-laki itu. Berlari sejauh mungkin dari laki-laki itu. Ia tak peduli dengan orang-orang yang ia tabrak atau kaki yang ia injak. Ia hanya ingin pergi jauh dari sana dan tidak ingin melihat laki-laki itu lagi.

...

Sarada melihat ibunya berlari kearah mobilnya dengan ekspresi campur aduk antara sedih dan ketakutan juga terdapat raut khawatir. Ia kemudian turun dan menghampiri ibunya. Memegang bahu ibunya yang bergetar. Kemudian memeluknya berharap dengan begitu wanita itu dapat tenang.

Oka-san kenapa? Apa yang terjadi? Apa ada yang mengganggu oka-san?” Tanya Sarada dengan nada cemas. Rasanya sakit sekali melihat ibunya seperti itu.

“A..a..aku ba..baik-baik saja.” Jawabnya gugup.

“Apa maksud oka-san baik-baik saja dengan tubuh gemetar kayak gini?”
Sakura tidak memberi jawaban pada Sarada ia hanya memegang kedua lengan anaknya, dan menarik anaknya masuk ke dalam mobil, “ki…kita pulang saja Sarada-chan!”.

Tanpa membuang waktu, Sarada langsung membawa ibunya masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang samping kursi supir sambil menyandarkannya. Sebelum menyetir ia memeriksa keadaan ibunya. Ibunya masih tampak kacau, tak ada lagi sinar kelembutan yang terpancar dari mata ibunya hanya ada kesedihan dan ketakutan. Perasaannya tak enak, ia tak suka melihat ibunya dengan keadaan─ ekspresi sekacau ini. Dia lebih senang melihat ibunya memarahinya atau menghukumnya bila tak menghabiskan sayuran paprika dari pada melihat ekspresi ibunya seperti ini.

“Hah…” Helaan nafas terdengar dari mulut Sarada, ‘ada apa dengan oka-san?’ batin Sarada. Ia tak ingin bertanya langsung kepada ibunya. Ia tak ingin membuat ibunya mengingat masalahnya sewaktu berada di mall dan membuatnya semakin bersedih.

Perjalanan dari mall ke rumah mereka, terasa begitu lama. Tak satupun dari mereka yang memulai percakapan. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sakura terus saja melamun sambil melihat jalanan di sampingnya dan Sarada focus dalam menyetir.
.
.
.

Setibanya mereka di rumah, Sarada membawa ibunya langsung ke kamarnya dan menidurkannya, tetapi sebelum itu ia memberikan minuman kepada ibunya.

Oka-san, minum dulu airnya setelah itu beristirahat, dan masalah yang tadi tidak usah terlalu dipikirkan, walaupun aku sendiri tak tahu masalahnya apa!”

Sakura tak menjawab apapun dan hanya mengambil air minum yang diberikan Sarada padanya. setelahnya membaringkan tubuh dan beristirahat. Ingatannya kembali ke kejadian yang tadi. Orang yang selama ini berusaha dia hindari entah kebetulan dari mana, mereka bertemu di mall. Untung saja dia bergegas lari dan tak menghiraukan panggilan pria itu dan Sakura berharap pria itu tidak melihat Sarada ketika menghampirinya. Entah apa yang akan dipikirkan oleh laki-laki itu jika melihat Sarada. Mereka sudah tak berkomunikasi selama lebih 15 tahun dan ketika bertemu tahu-tahu Sakura telah memiliki seorang anak yang memiliki sedikit rupa sepertinya. Dia tak mau itu terjadi. Sebisa mungkin dia akan menghindari pria itu. Semoga saja itu adalah pertemuan terakhir mereka.

Tanpa dia sadari hari inilah dimulai takdirnya dengan anaknya. Pertemuan yang ia anggap kebetulan telah ditakdirkan untuknya oleh Kami-sama. Pertemuan yang akan membawa perubahan pada mereka.

Setelah yakin bahwa ibunya sudah baik, ia turun dan mengambil barang-barang belanjaan ibunya dari bagasi mobil dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sarada kemudian mengambil cemilan dan minuman dingin sebelum memasuki kamarnya untuk melanjutkan membaca buku harian yang tadi dia temukan. memasuki kamarnya lantas mengambil posisi yang nyaman untuk membaca, duduk di atas ranjang sambil bersandar di sandaran ranjang dengan bantal sebagai lapisannya. Dibukanya buku harian itu dan mulai membacanya.

KONOHA 23 April xxxx


Dear diary



Dia adalah lelaki yang sering kulihat sendiri di bangkunya sambil membaca novel yang biasa dia bawa. Dia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah yang pernah ku lihat. Memiliki wajah yang tampan bak seorang pangeran dalam cerita fiksi yang biasa ku baca. hidung mancung, mata onix kelamnya yang seakan menyerapku ke dalamnya ketika menatap mata itu, rambut biru tuanya yang mencuat ke atas membingkai wajahnya yang kata orang adalah emo style, tapi menurutku model itu lebih mirip dengan pantat ayam. Hehehe... Setiap ada gadis yang mendekatinya langsung diberikan tatapan dingin dan seolah mengatakan ‘pergi kau!’. Itulah sebabnya sampai sekarang aku tak pernah mau mendekatinya. Diary apa yang harus aku lakukan?


Sarada terus membaca buku itu. Entah mengapa dia memiliki firasat bahwa dengan membaca buku itu, dia dapat mengetahui siapa ayahnya. Jujur saja ketika melihat teman-temannya bersama keluarganya yang lengkap ia selalu merasa iri dan juga sedih. Ia ingin sekali ayahnya berada di rumahnya sekarang. Mendengarkan semua keluh kesahnya. Walaupun ibunya juga sering mendengarkannya tapi rasanya sangat beda. Pemikiran laki-laki itu sangat berbeda dengan perempuan, dia ingin sekali mendengarkan solusi yang keluar dari mulut ayahnya.

Selama ini ia belum pernah melihat bagaimana bentuk wajah ayahnya, walaupun dalam bentuk fotonya. Ibunya tak pernah memperlihatkan foto ayahnya, karena semua yang berhubungan dengan ayahnya dibuang atau mungkin telah dibakar oleh ibunya, karena tidak ingin terus mengingat-ingat ayahnya, terlalu sedih untuk ibunya jika mengenang kenangannya bersama ayahnya itu kata ibunya dulu.

Tadi dia memberanikan dirinya bertanya tentang sosok sang ayah pada ibunya, tapi bukan jawaban yang dia dapatkan keluar dari bibir ibunya, melainkan kesedihan yang ia lihat. Sebetulnya dia tahu bahwa tadi ibunya sedang berbohong mengenai cerita tentang ayahnya, namun kesedihan yang tergambar di wajah ibunya adalah asli. Entahlah, kenapa ibunya tadi menunjukkan ekspresi seperti itu. Mungkin ada sesatu yang tidak ingin aku ketahui tentang ayahnya.

Pernah ibunya memberitahunya tentang sifat-sifat ayahnya, juga tentang wajahnya. Akan tetapi, semua itu terjadi secara tidak sengaja (reflex). Ibunya berkata dengan lirih bahwa dia sangat mirip dengan ayahnya.

Ia mengambil beberapa keripik kemudian mengunyahnya sambil membuka lembaran pada buku itu.

KONOHA, 15 Mei xxxx

Diary, hari ini aku senang sekali… Akhirnya aku bisa bicara dengan orang yang kusukai. Hahaha… Terima kasih pada Orochiamru-sensei yang membuatku sekelompok dengannya. Dia juga tidak memberikanku tatapan dinginnya seperti gadis-gadis sebelumnya. Mungkin karena dia tahu aku bukan salah satu dari fans girlnya dan tidak pernah melihatku mendekatinya. Hahaha… Apakah ini adalah tandanya. Kya… aku Pe De sekali.

Sarada tersenyum membaca halaman itu, ternyata dulu ibunya sama seperti remaja-remaja ababil lainnya, jika sedang menyukai seseorang. Sarada kemudian membuka halaman selanjutnya.

Krieeeet…!!!


.
.
.
.

TBC

a/n : ini adalah fict hasil remake dengan judul yang sama.
kalau ada yang ingin di sampaikan silahkan isi paa kolom review :-)
Selanjutnya...........  Chapter 2
Share:

Monday, June 29, 2015

Real of The Princess

Hai... Minna, miki balik lagi nih dengan fict baru.
selamat dinikmati. ^,^

*Habis di edit.*

Pair: Naruto & Hinata
Rate: T
DISCLAIMER : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU,OOC, typo, alur Ga⎯Je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Real of Princess © Mickey_Miki


Summary :

Hal pertama yang orang-orang fikirkan ketika pertama kali melihatku, mungkin adl anggun dan lemah-lembut, terutama pada rakyatku. Tapi di mata ayahku, aku adalah seorang putri yang tidak bisa diandalkan berbeda dengan kakak dan adikku yg selalu membanggakan mereka. Namun ada satu hal yang mereka tidak ketahui tentangku. satu rahasia yg akan mengubah pandangan mereka padaku. 3 SHOOT
.
.
Real Of The Princess
.
.
.

Hal pertama yang orang-orang fikirkan ketika pertama kali melihatku, mungkin adalah anggun dan lemah-lembut, terutama pada rakyatku. Yah. Itu memang benar, karena sedari kecil aku sudah dilatih seperti itu. semua sikap yang harus kutunjukkan haruslah sesuai dengan aturan dan tata krama yang tertera di buku kebijaksanaan istana. Sangat membosankan bukan? Kau tidak bisa bertindak seenaknya dan kau harus selalu tampak sempurna di mata semua orang.

Tapi di mata ayahku, aku adalah seorang putri yang tidak bisa diandalkan berbeda dengan kakak dan adikku. Mereka memiliki banyak kelebihan yang selalu ayah banggakan. Di matanya mereka adalah sosok yang sempurna.

Kakak adalah seorang putra mahkota, calon raja─ pengganti ayahku kelak─ sekaligus seorang yang memimpin para jendral yang kemampuannya telah diakui dan sangat disegani bahkan dengan beberapa kerajaan lain─ sedangkan adikku dengan kemampuan diplomasinya banyak mendatangkan keuntungan bagi kerajaan, karena dirinya banyak kerajaan yang mau melakukan hubungan timbal balik dengan kerajaan kami.

Sementara aku hanya bisa diam dan mengikuti aturan kerajaan yang sangat membosankan tanpa bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa melihat apa yang mereka lakukan tanpa bisa membantu. Aku iri. Tentu saja. Bahkan sangat iri pada mereka. Aku juga ingin membantu, tapi ayah tak pernah mengijinkanku. Ayah menganggap karena sifatku yang lembut, aku akan sangat sulit memutuskan sesuatu dengan bijak bahkan kemungkinan akan memutuskan sesuatu yang salah dan menyebabkan banyak masalah. Memang bagaimana dia tahu, sedangkan dia tak pernah mempercayaiku untuk menangani sesuatu?

Aku merupakan putri dari kerajaan Hyuga dengan penampilan dan sifat yang hampir menyerupai ibuku, anggun dan lemah-lembut. Namun ada sesuatu yang tidak mereka ketahui tentangku. Tidak ada yang tahu di balik sifatku itu aku bahkan mampu mengalahkan hampir seratus prajurit kerajaan jika berada dalam suatu arena─ bertarung, kecuali guruku. Orang yang selama ini mengajarkanku ilmu pedang dan bela diri.

Selama ini aku selalu keluar istana dengan sembunyi-sembunyi tepat saat matahari telah kembali terbenam di ufuk barat, ketika seluruh rakyat termaksud Raja─ayahku beranjak menuju dunia mimpinya. Aku selalu keluar menuju hutan terlarang dan berlatih di sana bersama guruku yang selalu setia mengajarkanku tentang teknik-teknik beladiri.

Guruku adalah mantan jendral perang kerajaanku dulu. Dengan kemampuan serta taktik perangnya tak ada yang pernah mengalahkannya. Dia adalah seorang legenda yang keberaniannya telah dituliskan dalam buku sejarah padahal dia masih hidup.

Guruku merupakan orang terdekat ayahku. Orang yang sangat dipercaya oleh ayahku. Semua rahasia kerajaan termaksud rahasia pribadinya diketahui oleh guruku. Hebat bukan?

Setiap malam guruku selalu melatihku keras. Tidak peduli dengan diriku yang seorang putri bangsawan. Anak dari sahabatnya. Dia melatihku layaknya esok adalah hari terakhir untuk perang.

Tidak jarang, ketika pulang ke rumah, banyak luka dan lebam yang menghiasi tubuhku. Yang tentu saja tidak akan bisa dilihat. Berkat ajaran tata rias mendiang sang Ratu─ibuku aku bisa menyamarkannya dengan riasan. Aku akan kembali menjadi putri yang patuh dan lemah lembut jika sang surya telah kembali menerangi bagian tempatku berpijak.
...


~>0<~ 
.
Pagi menjelang dan mengharuskan aku untuk segera membuka kedua mataku. Aku tidak boleh menjadi seorang pemalas karena aku merupakan seorang panutan bagi rakyatku─walau pun mereka tidak mungkin ada melihatku di pagi buta seperti ini.



Kurentangkan tanganku kuat-kuat guna meregangkan otot-ototku yang kaku. Walau badanku masih sakit semua akibat latihan semalam, aku tetap tidak boleh menampakkannya. Memang latihan semalam lebih berat dibanding dengan latihan sebelum-sebelumnya.

Bayangkan saja, walau pun aku seorang gadis, guruku tak tanggung memberiku lawan tarung seekor binatang buas yang berada di hutan itu. Beruang yang bahkan ukurannya lebih besar tiga kali lipat dari beruang normal lainnya dan lagi tanpa senjata yang bisa kugunakan.

Guru memang kejam. Tidak tanggung-tanggung memberikan pelatihan bagi muridnya. Atau mungkin hanya aku saja yang diperlakukan begitu.

Tiap kali melihatnya melatih para prajurit kerajaan, tak sekali pun ku lihat dia menggunakan binatang untuk melatih mereka.

Aku jadi sedikit iri pada mereka. Bukan hanya cara pelatihannya, tetapi karena mereka latihan secara berkelompok dan aku hanya ditemani oleh bayangan malam dengan sinar bulan yang setia menerangiku, juga binatang-binatang buas yang berada di hutan terlarang. Bisakah aku menyebutnya tidak adil? Tentu saja tidak. Karena aku adalah seorang putri dan aku selalu diperlakukan berbeda.

“Hah” aku menghela nafas sejenak ku lirik seorang dayang yang sudah berada di depanku. Aku yakin dia sudah menungguku sejak beberapa menit yang lalu.

Ohime-sama air hangatnya sudah siap.” Ucap dayang itu sopan sambil menundukkan kepalanya. Aku heran kepada dayang itu. Sudah berulang kali aku mengatakan agar tidak perlu berlaku formal bila hanya berdua denganku, tetapi tak pernah dia hiraukan dan masih memanggilku dengan sebutan itu.

“Baiklah. Arigato Tenten-san. Kau boleh keluar.” Ucapku lembut dengan senyuman yang biasa ku tebarkan. Dia membungkuk lagi lalu keluar dan menutup pintu kamarku.

Selimut yang kugunakan segera ku sibakkan lantas berjalan ke arah cermin sebelum memasuki kamar mandi.

Tubuhku penuh dengan luka-luka kecil dan lebam. Terutama di bagian kaki dan tangan. Untung saja Tenten─ dayangku─ itu tidak melihatnya. Aku tidak bisa membayangkan reaksinya bila melihat ini.

Segera ku langkahkan kakiku masuk kamar mandi, melepas semua yang melekat di tubuhku. Sejenak ku hentikan langkahku tepat di depan cermin besar lantas melirik tubuhku. Banyak bekas-bekas luka akibat latihan semalam yang terpeta di punggung, dada dan kaki-kakiku. Semoga saja luka-luka ini bisa segera hilang. Aku tidak ingin ada orang lain yang melihat bekas ini apalagi ayahku. Entah hukuman apa yang akan diberikan padaku terlebih pada guruku. Mengingatnya saja buatku merinding.

Aku segera menuju efuro yang sudah disediakan Tenten lantas mencelupkan diriku dan menikmati sensasi yang ditimbulkannya. Aroma lavender─ aroma kesukaanku─ menguar dari bak air itu. Aroma yang selalu menenangkan diriku. Tubuhku menjadi jauh lebih rileks. Walau pun sedikit meringis kala luka-luka di tubuhku merasakan air mandi ini.


Aku sengaja menyuruh para dayangku menunggu di luar kamar dan mengerjakan hal lain selain menungguku. Tentu saja karena aku tidak ingin mereka melihat seluruh tubuhku yang dipenuhi luka-luka. Bisa gawat jika kondisi tubuhku sampai ke telinga Ayah─ walau itu menyimpang dari aturan kerajaan yang mengharuskan para dayang untuk selalu melayaniku termaksud mandi dan memakai pakaian.

Setelah selesai dengan ritual mandiku, segera ku langkahkan kakiku menuju kamar tempat baju yang sudah disediakan oleh para dayangku. Merias tubuh dan menyamarkan memar di wajah serta bagian tubuhku yang tidak tertutupi oleh gaun kebangsawananku. Aku bersyukur, semua gaunku tidak ada yang mengekspos bagian belakang tubuh, seperti pakaian-pakaian yang sering digunakan oleh Hanabi─adik perempuanku.

Aku melangkah menuju ruang makan tempat biasa keluargaku makan. Di sana sudah ada Neji-nii dan Hanabi-chan yang sudah duduk menunggu kedatangan Raja. Seperti biasa merekalah yang selalu berada di sana terlebih dahulu.

Ohayo, oni-sama, Hanabi-chan!” Sapaku pada kakak dan Hanabi.

“Hn..” Seperti biasa, kakakku yang satu itu hanya membalas sapaanku dengan sangat singkat dan tidak jelas.

Ohayo one-sama.” Jawab Hanabi.

Ayah datang dan duduk di kursinya kemudian acara sarapan pagi pun dimulai. Seperti biasa acara sarapan pagi keluarga kelajaan hanya diselingi keheningan. Dalam tata krama, dilarang keras mengeluarkan suara pada saat makan.

.
.
.

Hari ini seperti biasa. Hanya diselingi oleh kegiatan-kegiatan yang menyebalkan dan wajib kulakukan. Aku ingin malam cepat tiba, agar aku bisa latihan. Aku bosan jika harus melakukan kegiatan yang terlalu lembut seperti ini. menyulam, belajar tata krama, hukum kerajaan, pajak, dan hal-hal lain yang sangat membosankan. Lagipula buat apa aku melakukan ini semua toh ayah sepertinya tidak membutuhkanku di istana ini.

Salahkah aku jika menginginkan sesuatu yang luar biasa terjadi? Mungkin seperti perang. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Sudah ada peraturan tentang pengendalian perang antar kerajaan, jadi tidak mungkin sesuatu yang seperti di khayalanku itu terjadi.

Ohime-sama. Anda dipanggil oleh Baginda Raja.” Ucap seorang prajurit penjaga yang memang biasanya diutus untuk menyampaikan pesan untukku.

“Baiklah. Aku akan segera ke sana. Arigato, ne?” balasku dengan senyum dan membuat pengawal itu bersemu merah.

Mungkin senyumku sangat manis, sampai-sampai pengawal itu bersemu. Banggaku dalam hati.
.
~>0<~
.

“Baginda!” Aku menunduk hormat kemudian mendongak menatap ayah di singgasananya. “Apa ada masalah, hingga baginda memanggilku?” Lanjutku bertanya lembut.

“Minggu depan calon suamimu akan berkunjung ke kerajaan ini, jadi persiapkan dirimu baik-baik! Dan jangan membuat semuanya berantakan.” Ucap ayahku memandangiku lekat-lekat untuk memastikan ucapannya sungguh-sungguh.

Haik.” jawabku.

Inilah yang paling aku benci menjadi seorang putri kerajaan. Selalu diatur-atur dan harus mengikuti semua peraturan termaksud dengan calon suamiku. Pernikahan antar keluarga kerajaan. Dalilnya untuk kemakmuran rakyat padahal menyimpan maksud terselubung di dalamnya. Aku tahu mungkin hanya ini yang bisa kulakukan. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membuatnya sedikit senang dengan keberadaanku.

Aku tidak tahu siapa dan seperti apa calon suamiku itu. Yang jelas dia adalah seorang pangeran. Walau mungkin bentuk tubuh dan wajahnya tidak sesuai dengan keinginanku, aku tetap harus menikahinya. Ah... Aku benci peraturan itu. Tidak bisakah aku menikahi pria pilihanku sendiri?

Tidak terasa langkahku membawaku ke dalam ruangan pribadiku. Ruangan yang menjadi saksi bisu semua kegiatan yang telah ku lakukan tiap malamnya.

Aku duduk di tepi ranjang, mendekap tubuhku. Mengingat-ingat semua kenangan dari masa kecil hingga sekarang.

Padahal dulu ayah sangat menyangi kami. Beliau adalah pribadi yang hangat dan selalu bercanda dengan kami─ anak-anaknya. Walau di depan bawahannya selalu dingin dan tegas, tetapi tidak jika sudah di hadapan kami. Dia selalu memberikan senyum kepada kami. Selalu menyempatkan diri bermain dan selalu melihat perkembangan kami.

Tetapi semuanya sudah berubah. Seolah masa lalu adalah sebuah mimpi yang tidak mungkin terjadi. Sosoknya yang dulu telah hilang. Sekarang dia tidak pernah lagi menampakkan sisi hangatnya. Dia dingin tak tersentuh.

Hanya Ratu yang bisa mengubahnya. Membuatnya kembali menjadi pribadi yang hangat dan lembut di depan kami. Tetapi sayang itu semua tak akan pernah terjadi. Sosok hangat ayah telah hilang bersamaan ketika Oka-sama dipanggil oleh Kami-sama.


*~> Hinata POV END <~*

Seperti biasa Hinata akan melakukan latihan ketika matahari telah beranjak untuk menyinari bagian belahan bumi yang lain. Kaki-kaki mungilnya melangkah dengan langkah yang sangat ringan, pelan, lembut, dan hampir tak terdeteksi. Dia melangkah seakan sedang berjalan di atas udara, benar-benar sudah terlatih.

Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru ruangan. Walau kebanyakan pencahayaan ruangan kerajaan tersebut temaram, namun Hinata dapat melihat dengan jelas.

Di depannya kini berjalan dua penjaga dengan tombak lancip yang mereka bawa. Tubuh tegap nan besar, mungkin bila dia masihlah seorang Hyuga Hinata yang lembut dan lemah, dia akan merasa takut, mungkin juga dia akan menangis karena terlalu takut.

Hinata kemudian bersembunyi di balik bayangan gelap pada dinding dengan pencahayaan yang temaram. Tiap latihan Hinata tidaklah menggunakan pakaian kebangsawanannya, dia hanya menggunakan pakaian layaknya seorang lelaki yang bekerja di kandang kuda dengan ukuran yang pas di tubuh tentunya.

Kedua penjaga itu sudah melewati dirinya, sama seperti melewati dinding yang lain. Hinata tak terlihat seperti angin yang biasa mereka hirup. Tak ada rasa curiga, atau pun tanda-tanda ketika menemukan penyusup. Mereka terus berjalan dan terus mengawasi, tanpa menyadari keberadaan Hinata yang baru mereka lewati.

Hinata bernafas lega. Walau dia yakin tak akan ketahuan, namun sebagian dari dirinya masihlah merasa takut. Takut jika ketahuan dan mendapat hukuman yang berat. Bukan, bukannya dia takut dipenjara atau dihukum pancung, namun yang lebih mengerikan adalah dia tidak akan lagi berlatih dan gurunya yang akan mendapatkan hukuman yang lebih mengerikan. Hal yang sangat ditakutkan oleh Hinata.

Kembali dijejakkan kaki-kaki mungilnya. Dia sudah berhasil melewati penjagaan pertama, tinggal dua penjagaan lain. Penjaga pintu masuk kerajaan dan penjaga untuk halaman kerajaan. Matanya kemudian berubah lebih tajam dengan urat-urat yang muncul di sekitar matanya. Byakugan─kemampuan yang hanya diwariskan oleh keturunanya─dapat melihat ke seluruh arah, walau gelap dan terhalang pun penglihatannya bisa menembusnya.

Sekitar sepuluh meter arah depan terdapat dua penjaga yang menjaga pintu masuk kerajaan, lima belas meter dari arah selatan beberapa penjaga sedang berdiskusi, dan tidak jauh dari mereka dari arah utara terdapat seorang penjaga di atas menara yang mengarahkan lampu suar.

“Sepertinya akan sedikit sulit.” Gumam Hinata.

Dia kemudian berlari dengan masih mengaktifkan Byakugan-nya, menghindar dari penglihatan para penjaga, dengan melempar sesuatu hingga menimbulkan sebuah bunyi dan membuat fokus para penjaga teralih sebentar yang tentu saja kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Hinata.

Setelah melewati penjaga pintu, dia kemudian langsung bersembunyi di balik tanaman bongsai besar mirip harimau. Para penjaga yang tadi berdiskusi tidak menyadari keberadaannya, dan sekarang dirinya sedang berfokus pada si pemegang suar yang dia arahkan terus-menerus. Ketika penjaga tersebut mengarahkannya menjauh dari Hinata, Hinata kemudian segera memanfaatkan kesempatan itu untuk cepat berlari dan bergegas menuju hutan terlarang.

Sekitar dua ratus meter dari kerajaannya dan jalan masuk hutan, dapat dilihat adanya sebuah penerangan dari lampu pelita yang digantung di salah satu pohon. Penerangannya memang temaram, namun itu semua tak berefek pada penglihatan Hinata yang bisa melihat layaknya ketika matahari menynari tempatnya tinggal.

“Kau terlambat Hinata!?”

Seorang yang Hinata yakini adalah gurunya muncul dan menegurnya. Sosok bertubuh besar dan kekar dengan tampang datarnya. Dialah Tobirama senju. Walau sifatnya seperti itu, dia tetap oramg yang baik, buktinya dia mau mengajariku beladiri.

“Maaf sensei!” Sesal Hinata. “Penjagaan telah ditingkatkan, jadi aku harus menunggu sedikit lebih lama. tidak mungkin aku memukul mereka hingga pingsan, bisa-bisa terjadi kekacauan dan aku tidak mungkin bisa datang latihan sekarang.” lanjutnya sambil menunduk.

Memang benar akhir-akhir ini penjagaan di sekitar kerajaan makin bertambah padahal tidak ada tanda-tanda akan adanya kekacauan, kudeta, perang, atau sejenisnya.

“Yah sudahlah... Pemanasanlah dulu!” Ucapnya seraya menyerahkan Hinata pemberat untuk kemudian dia gunakan, kaki, tangan, termaksud lengan atas, serta pemberat yang seperti rompi. Yang beratnya rata-rata tiga puluh kilogram dan rompi seberat enam puluh lima kilo gram.

Setelah semua perlengkapan pemberat digunakan, dia kemudian melakukan pemanasan. Mulai pemanasan ringan hingga yang berat. Kemudian memulai latihannya.


Sebuah pedang yang tajam dan terawat berada digenggamannya lantas dia gunakan untuk melakukan tarian pedang yang sudah diajarkan oleh gurunya dengan menambahkan beberapa gerakan. Seketika kayu-kayu berdiameter tiga puluh sentimeter tertebas menjadi beberapa bagian dengan potongan yang sangat halus.

Hinata kemudian memasang kuda-kuda untuk menyerang, memfokuskan pandangannya ke kayu lain yang akan dia tebas. Pandangan matanya tajam menatap kayu-kayu itu seolah kayu tersebut adalah musuhnya. Hembusan nafas pelan keluar dari mulutnya sebelum mengarahkan pedangnya ke arah kayu-kayu itu. Lagi-lagi kayu tersebut tertebas rapi dengan potongan yang halus.

Dia menghunuskan pedang tanpa merasakan beban yang berada di tubuhnya. Memotong layaknya sebuah pudding yang ingin dia makan.

“Kau sudah lebih baik menggunakan pedang. Gerakanmu sudah bagus, tak ada gerakan yang sia-sia dan sepertinya kau menambahkan beberapa gerakan dalam tarian pedang itu, tapi itu bagus. Kau sudah banyak perkembangan.” Ucap guru itu tiba-tiba.

“Ah... Benarkah?” Sahutnya. “Tapi aku masih merasa ada yang kurang sensei, tetapi aku tdak tahu itu apa.” Lanjut Hinata dengan raut bingung menghentikan semua gerakannya. “Aku sepertinya tidak merasa puas dengan hasilku itu─ Entahlah, aku hanya merasa ada yang kurang.”

“Mungkin kau membutuhkan seorang lawan yang hebat.” Sahut guru Hinata memperhatikan raut bingung gadis itu.

“Mungkin saja. Karena selama latihan, aku hanya menebas benda mati dan hanya melawanmu, juga melawan binatang buas hutan ini─ ah. Maksudku kau hebat guru, aku bahkan sulit mengalahkanmu, tapi, benar apa yang sensei katakan aku butuh lawan lain yang bisa memuaskanku.”

“Kalau begitu besok siang kau datanglah ke pelataran. Akan ada pertandingan tarung antar para petarung. Bergabunglah dengan mereka dan bisa saja kau akan mendapatkan lawan yang bisa membuatmu puas.”

“Memang bisa?”

“Kau tinggal menyamar saja. Aku akan membantumu.”

“Wah... benarkah.. Arigato sensei. Hontoni arigato. Kau yang terbaik.” Ucap Sakura berbinar. Pedang yang ia pegang terjatuh lantaran terlalu girang.

“Hn. Kita akhiri sampai di sini. Besok kau tidak usah datang latihan. Besok aku akan mempersiapkan segala yang diperlukan untuk perjalananku ke Utara, ke kerajaan Nara. Raja mengutusku ke sana menggantikan beliau. Mungkin sekitar satu minggu.” Ucap guru Hinata tiba-tiba sambil menyarungi pedangnya dan pedang Hinata.

“Hhhhh.... Kalau begitu selama seminggu aku tidak akan latihan?” Ujar Hinata sendu sambil memperhatikan gurunya dan melepas pemberat yang ia gunakan.

“Sudahlah! Hanya seminggu. Lagi pula tubuhmu juga membutuhkan istirahat. Jadi selama seminggu istirahatkan tubuhmu dan jangan datang ke sini untuk berlatih. Kau mengertikan Hinata!?” kata guru Hinata tegas. Berbaik memberikan Hinata tatapan tak ada penolakan dan bantahan.

Haik...” jawab Hinata tersentak. Bagaimana bisa gurunya tahu dia akan datang untuk latihan sendiri? Apa terlalu jelas di wajahnya?

“Kalau begitu pulanglah! Istirahat dan besok siang kau bisa ke pelataran untuk pertarungan nyatamu dengan orang lain. Aku akan membantumu.”

Haik.” Sekali lagi Hinata hanya bisa menuruti perkataan gurunya tanpa bantahan.
...

.
.
.

“Uh....” Keluh seorang gadis yang masih dalam posisi tidurnya, “kata sensei aku harus mengistirahatkan tubuhku. Bangun sebelum dayang datang dan membuat tubuh menghangat. Apa-apaan itu? Tidur saja tidak cukup dua jam dan sekarang harus membuat tubuhku menghangat, jelas aku tidak bisa tidur nyenyak. Aaaahhh....” dengan terpaksa Hinata bangun, mendudukkan diri dan menenangkan pikirannya.

Setelah dirasanya cukup, digerakan tubuhnya layaknya sedang meditasi. Kakinya dia sila-kan, dan kedua tangannya dia tangkupkan sambil memejamkan mata.

Perlahan hawa di sekitar tubuhnya berubah hangat lambat laun berubah panas. Bulir-bulir peluh berlomba-lomba bermunculan dan membasahi tubuhnya. Gaun tidur yang dia gunakan lambat-lambat basah akibat keringat yang terus keluar dari tubuhnya.

Perlahan Hinata membaringkan kembali tubuhnya, memakai kembali selimutnya, dan menunggu hingga dayangnya masuk ke kamar.

Selang beberapa menit seorang dayang memasuki kamarnya. Kembali Hinata memposisikan tubuhnya membaring dan mulai memerankan peran layaknya orang sakit. Menutup erat kedua mata dan membuat tubuhnya seolah tengah menggigil untuk meyakinkan dayang tersebut.

Hime-sama...~” panggil dayang itu.

Hime-sama...~” sekali lagi dia mencoba memanggil Hinata agar terbangun.

Tidak ada sahutan, dayang itu maju perlahan dan mencoba membangunkannya. Berfikir apakah boleh seorang dayang sepertinya boleh menyentuh putrid itu. pasalnya selama ini Hinata tak pernah mau disentuh oleh para dayang.

Kaki dayang itu semakin mendekat, hingga ia bisa melihat keadaan Hinata. Tanpa disentuh pun dayang itu tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Hime-nya itu. Dia terlonjak kaget ketika melihat tubuh Hinata yang penuh peluh serta sedikit menggigil. Disentuhnya tubuh Hinata dan ia pun semakin terkejut ketika merasakan tubuh Hinata yang menghangat. “Hi─astaga... Ohime-sama, badan anda panas sekali. Ap.. Apa yang terjadi?” Ucap dayang itu panik dan bergegas keluar mencari pertolongan.

Dirasanya dayang itu sudah tidak berada di dalam kamarnya, sebelah matanya perlahan mengintip dari kelopak mata.

“Hhhh...” hembusan nafas pelan keluar dari bibirnya, “dayang tadi mudah sekali dibihongi.” Kikiknya pelan.

Krieeet.....

Merasa pintu kamarnya dibuka seseorang, dia kembali memposisikan tubuhnya seperti semula.

“Aku tidak tahu kenapa Hime-sama seperti itu. Aku baru saja akan membangunkannya, namun tidak jadi, karena badannya panas dan menggigil.” Jelas dayang yang tadi dibohongi oleh Hinata.

“Apa keluarga kerajaan lain sudah mengetahui ini?” Tanya seseorang yang diyakini Hinata adalah seorang tabib. Ah.. mungkin saja orang itu adalah orang yang sama yang dimaksud oleh sensei-nya.

“Belum Nyonya.” Jawab dayang itu.

“Baiklah kalau begitu. Tolong kau keluarah dulu, aku ingin memeriksanya.” Titah tabib itu dan mempersiapkan perlengkapannya

Haik. Arigato gozaimasu.
...
...

“Kau boleh membuka matamu!” Pinta sang tabib kepada Hinata. “Aku orang yang dimintai Tobirama untuk membantumu Hime. Bertahanlah hingga keluargamu menghampirimu dan kau boleh tidur aku akan membangunkanmu sebentar.”

“Baiklah. arigato gozaimasu, Nona Tsunade dan panggil saja aku Hinata sama seperti sensei memanggilku jika kita hanya berdua.”

“Baiklah dan panggil aku Tsunade.” Potong Tsunade.

“Ah... Arigato Tsunade-san.” Ucapnya dengan senyum.
.
<~0~>
.

Hosh... hosh... hosh...

“Hm... Banyak ternyata yang datang. Kira-kira lawan-lawannya seperti apa?” Ucap seorang dengan tudung yang menutupi tubuhnya. Penutup kepala dari jubah yang dia gunakan membuat rupa wajahnya hampir tak terlihat. Mata almetish-nya melihat-lihat suasana di sekitar gedung. Dia tengah berdiri di depan sebuah bangunan mirip kolosium namun beratap untuk tempat duduk para penonton.

Pendaftaran pertandingan akan ditutup setengah jam lagi, jadi siapa saja yang ingin mengikuti pertandingan ini harap mendaftar sekarang juga. Baik para pasukan kerajaan atau pun untuk penduduk lokal dan luar kerajaan.


Terdengar pengumuman batas pendaftaran oleh seorang panitia, dia kemudian menjajakan kakinya lebih cepat agar tak sampai terlambat.

Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit berlalu dirinya bisa sampai pada tempat pendaftaran dan untunglah dia belum terlambat.

“Ano... Saya mau mendaftarkan diri sebagai peserta.” Ucapnya pada seorang yang bertugas mencatat para peserta pertandingan.

“Saya juga.” Timpal seseorang dengan tiba-tiba dari arah belakangnya. Seseorang yang memiliki rambut model spike orange dengan tiga garis horizontal di masing-masing pipinya. Iris birunya menampakkan raut cemas. Pakaian yang dikenakannya hampir mirip dengan Hinata namun tanpa tudung. Pakaian model seperti seorang peternak.

“Hah... Untunglah kalian masih sempat. Kalian hampir saja terlambat. Kalau begitu ucapkan siapa nama kalian.”

“Saya Hiruka.” Ucap seorang bertudung. Atau Hinata yang tengah menyamar menjadi orang lain.

“Saya Naruto.” Lanjut pemuda itu. Pakaian orange penuh peluh─mungkin karena berlari ke sini─ dengan pedang yang dia sampirkan di punggungnya. Pedang yang memiliki motif rubah pada pegangannya. Hitam dan orange merupakan perpaduan warna pada sarungnya dengan gambar rubah berekor sembilan. Pedang yang belum pernah Hinata lihat di kerajaannya.

Setelah pendaftaran, mereka kemudian berjalan masuk dan menunggu pengumuman tentang siapa lawan tanding mereka nanti. Lorong kolosium yang mereka jejaki nampak remang-remang, karena pencahayaan hanya berasal dari sinar yang masuk dari cela-cela dinding.

Entah sengaja atau tidak. Lampu-lampu yang biasanya digunakan sebagai sumber pencahayaan tidak digunakan. Mungkin ini salah satu tes dalam pertandingan ini, mengingat lorong dalam kolosium seperti labirin yang memungkinkan orang bisa saja tersesat dan mengurangi jumlah peserta.

Pintar sekali.

Namun bukan berarti Hinata akan tersesat. Walau dia tidak pernah datang dan memasuki lorong dalam kolosium itu dia tidak akan tersesat. Cukup mengandalkan indra pendengarannya dan penglihatannya dia bisa mengetahui di mana letak ruangan para peserta menunggu arahan selanjutnya.

Salah satu kelebihan dari keturunan Hyuga dan hanya dimiliki oleh turunannya adalah mata mereka yang bisa melihat tembus pandang. Selain itu, berkat latihan yang selama ini ia lakukan, semakin mempertajam indranya.

“Hai...” Sapa pemuda itu pada Hiruka─Hinata dan membuat fokusnya teralih pada pemuda itu, namun bukan berarti dia akan menatap pemuda itu. “Aku Naruto.” Ucapnya sambil menujurkan tangan kanannya.

Hinata diam tak membalas uluran tangan laki-laki di sampingnya itu dan hanya menatap kedepannya tanpa mengalihkan perhatiannya.

“Hah.. Kau dingin sekali. Aku hanya ingin mencari teman bicara. Aku tidak mau mati kebosanan menunggu pertandingan.” Keluhnya sambil mengamati keadaan di sepanjang lorong yang mereka tapaki.

‘Benar apa yang dikatakan pemuda ini, tapi jika aku meladeninya, bukan tidak mungkin dia akan mengetahui identitasku. Tapi kalau berdiam terus pasti akan membosankan. Lalu apakah aku harus menyapanya juga, tapi─ ah... astaga, kenapa aku jadi bingung sendiri sih. Ah sudahlah, biarkan saja dia berkoar sendiri, toh nanti juga dia akan diam jika bosan.’ Pikir Hinata seraya memperhatika jalan yang mereka lalui.

“Ah... Tidak lama lagi kita sampai.” Ujar Naruto tiba-tiba.

Hinata melirik laki-laki itu sekilas. ‘Apa dia mempunyai kemampuan yang sama sepertiku?’ pikirnya kemudian.

“Kau terlihat biasa saja. Apa kau tidak merasa gugup bertemu dengan petarung yang lain?” sekali lagi pemuda itu bertanya. tak memedulikan jika Hinata terganggu.

Hinata ingin sekali menjawab bahwa dia malah semakin bersemangat bertemu mereka. Dia sangat senang karena bisa bertemu dengan para petarung yang lain dan dia tidak sabar untuk segera bertarung tetapi mulutnya seakan terkunci, tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya sebagai jawaban. Kebiasaan dari pembelajaran yang biasa dia dapatkan membuatnya seperti boneka yang hanya akan menyahuti pertanyaan yang menurutnya penting. Tuntutan kerajaan memaksanya menjadi seorang putri yang anggun dan hanya bisa berbicara seperlunya saja.

Diam dan mengamati adalah prinsipnya. Sangat membosankan. Apa yang dipikirkan tidak bisa tersampaikan dan hanya bisa dipendam. Lagipula untuk saat ini dia pun tak boleh asal bunyi, menyahuti orang. Bukan tidak mungkin ada orang yang bisa mengenali suaranya dan membuatnya harus terkurung lagi dalam istana tanpa melakukan sesuatu.

Lima menit berlalu sepanjang perjalanan hanya diselingi oleh kata-kata Naruto yang tidak dipedulikan oleh Hinata. Dia hanya menanggapinya dengan diam. Walau sebenarnya ingin sekali juga berkomentar, tetapi karena prinsipnya─ atau mungkin kebiasaannya─ dia hanya bisa berdiam dan mendengarkan.

Pemuda itu pun diam sejenak karena melihat cahaya di ujung lorong yang mereka lewati. Hinata tidak merasa heran sama sekali, karena ia tahu apa yang menyebabkan pemuda itu jadi terdiam. Setelah lima belas menit berjalan dan melewati cabang-cabang lorong mereka akhirnya sampai.

Ada sedikit rasa senang yang mencuat dari diri Hinata ketika tahu bahwa mereka telah sampai. Itu artinya sebentar lagi dia akan bertanding dan bisa mendapatkan lawan yang bisa memuaskannya, tidak seperti hewan-hewan buas yang biasa dia hadapi di hutan terlarang. Yang walau mereka kuat, besar, dan buas, namun gerakannya sangat mudah terbaca dan dengan mudah dikalahkan oleh Hinata.

Mereka kemudian memasuki ruangan itu. Ruangan yang sangat besar─yang bahkan bisa menampung ribuan prajurit atau bahkan puluhan ribu. Banyak sekali peserta yang mengikuti pertandingan itu. Tak heran sih sebetulnya, karena hadiah yang ditawarkan sangatlah menggiurkan, satu peti emas yang bisa membuatmu kaya hingga tujuh turunan dan tidak hanya itu pemenangnya juga mendapat gelar penghormatan dari sang raja. Kurang apa coba?

Tetapi tak banyak juga peserta yang mengikuti hanya untuk menjajahkan kekuatan mereka terutama untuk menunjukkan kekuatannya pada kerajaan lain. Bukan hanya para tentara kerajaan Hyuga yang menjadi pesertanya, ada juga rakyat biasa dan petarung dari luar bahkan prajurit dari kerajaan lain pun ikut berpartisipasi.

....Karena pendaftaran telah ditutup, kami akan mengumumkan tata cara pertandingan ini. Pertandingan ini terdiri dari tiga babak. Dan masing-masing peserta akan dibagi menjadi empat grup Kalian bisa melihatnya sebentar...~

Sekian.

Berakhirnya pengumuman tersebut, membuat para peserta segera menuju tempat pertandingannya setelah sebelumnya melihat nama dan grup mereka.

“Kau masuk grup apa?” Tanya seorang pemuda yang sedari tadi mengikuti Hinata. “Ku harap kita tidak satu grup. Aku tidak mau melawanmu selain di babak final nanti.” Lanjutnya beserta dengan cengirannya yang berhasil membuat Hinata sedikit terpesona.

‘Tampan.’ Ucap batin Hinata tanpa sadar.

Sadar akan ucapannya tadi, segera digelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia terpesona kepada pemuda yang baru saja dia kenal yang bahkan akan menjadi lawan tandingnya nanti.

“Sepertinya kita tidak se-grup. Lihatlah namumu dan namaku berada di grup yang berbeda.” Sahut Hinata dengan mengubah suaranya.

“Hah... syukurlah. Aku harap kita bertemu di babak final nanti. Kau jangan sampai kalah yah!”

Hinata tak menjawab, tetapi mengangguk. Rasanya dia juga ingin melawan pemuda itu. intuisinya mengatakan laki-laki itu kuat dan bisa memuaskannya.


.
.

TBC

.
.

Hah… akhirnya chapter 1 di update. Kali ini mickey membuatnya dengan gendre yang berbeda. Fict ini terisnpirasi dari khayalan aneh yang di dapat dari toilet (malu =,=). Hahaha… ^o^ (cengir ala Naruto sambil garuk-garuk kepala), tapi jangan berpikir yang aneh-aneh -_-. Aku dapatnya juga pas mandi kok. Ah.. kalian pasti juga pernah merasa, kebanyakan dapat ide itu pada saat berada di Kamar mandi, hahaha... :-D, aku pernah dengar sih kalau di kamar mandi itu pikiran kita biasa fokus, jadi gampang dapat ide (tapi itu tergantung dari pribadinya masing-masing) >,<

Oh.. iya, pasti ada yang merasa merasa anehkan dengan deskripsi istana dan kerajaan serta pakaian yang Hinata pakai? maaf yah, karena aku gak mengambil dari referensi jadi mungkin agak membingungkan. Penggambaran kerajaannya seperti kerajaan eropa dulu, tapi aku gabungkan dengan dengan adat jepang (tapi karena tidak terlalu di ceritakan dalam fict ini jadi jangan terlalu dipirkan, yah... ^,^) nikmati saja ceritanya.

Dan kalau kalian ada yang merasa aneh dengan jalan ceritanya, jangan sungkan-sungkan untuk menuangkannya dalam kolom review. Aku sangat senang jika ada kritik, saran, atau bahkan yang lain yang bisa membantuku dalam hal penulisan dan penambahan ide untuk cerita kedepannya.

Akhir curhat, Mickey ucapkan terima kasih karena meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. moga gak membosankan yah.

Hehehe... “.<

Mind to RNR?

Next to chapter 2

Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com