Sebelumnya : Chapter 2
Pair: Ryuta, Sasuke dan Sakura
Rate: T
Genre: Family & General
Length :
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
Mickey_Miki
________________________________________
Sarada adalah seorang anak yang tumbuh tanpa didampingi oleh sang ayah. Walaupun ia bahagia bersama dengan ibunya, namun ia masih merasa kurang. Kebahagiaan yang ia rasakan tidaklah cukup hanya bersama dengan sang ibu. Sarada ingin merasakannya juga dengan ayahnya. Sarada memiliki rencana untuk menyatukan kembali kedua orang tuanya dalam waktu seminggu. Ia berbohong kepada ibunya agar ia dapat menjalankan rencananya. Akankah semua rencananya berhasil?
.
.
.
.
HAPPY FOR ENDING
~happy reading~
.
.
.
.
.
Kebahagiaan akan terasa saat kita merasakannya bersama. Bersama dengan ayah dan ibu.
::
::
::
::
::
Chapter 3 : Diakah ayahku?
Malam melipur, dan pagi menjelang. Namun matahari belum sepenuhnya keluar dari batas horizon. Warna-warna kelabu masih mendominasi warna langit. Nampaknya bekas malam masih enggan beranjak dan berganti singgasana dengan pagi.
Meski aktivitas belum sepenuhnya berjalan dan burung-burung masih belum enggan bernyanyi, namun Sarada telah bersiap dengan bukunya. Duduk di atas kasur dengan jendela yang sengaja di biarkan terbuka sedikit.
Dia membuka batas halaman yang kemarin belum sempat dia baca. Membaca setiap ukiran kata-kata yang tertera.
KONOHA, 7 September
Diary, aku sedih… sangat sedih. Ternyata apa yang kutakutkan selama ini akhirnya terjadi. Aku bahkan belum sempat mengungkapkan perasaanku dan dia sudah mengaku kalau dia sudah menjadi kekasih sahabatku. Hatiku remuk redam, bak kertas yang digenggam erat dan diremuk, tak bisa dirapikan lagi. Dia, orang yang kucintai tak pernah menganggapku lebih dari pada sahabat. Aku terlalu percaya diri dengan semua perhatian yang dia berikan padaku. aku bodoh, menganggap semua perhatiannya adalah curahan kasih yang tidak bisa dia ungkapkan.
Diary aku benar-benar sangat sedih. aku tidak tahu sikap apa yang harus kutunjukkan di depan mereka. Mungkin aku tidak akan pernah menemui mereka lagi. Aku tidak ingin merasa sakit. :’(
Sarada menghentikan bacanya sejenak, merasakan seberkas cahaya tipis dari belahan horison yang masuk melalui sela-sela jendela kamar. Hangat namun juga terasa sejuk. Burung-burung kecil mulai berkicau, menyanyi, mengiringi matahari yang semakin bergerak naik.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5.30 pagi. Sarada kemudian membuka lebar jendela kamar, mengikat tirai gorden, membiarkan cahaya perlahan menerangi kamarnya. Dia kembali duduk sambil memangku bukunya lantas kembali melanjutkan bacaannya.
KONOHA, 15 September
Diary seperti kataku sebelumnya, aku tidak pernah lagi menemui mereka, tiap mereka mengajakku keluar atau menyapaku aku tidak terlalu memperdulikannya lagi bahkan mengabaikan. Well, sebetulnya aku tahu bagaimana perasaan mereka saat kuperlakukan seperti itu. Tapi jujur hatiku masih sakit melihat mereka berdua, aku masih mengharapkan Sasuke.
KONOHA, 1 Januari
Diary, tidak terasa, yah sudah dua tahun terlewat dan aku sekarag sudah bekerja di rumah sakit, walaupun masih magang, tapi aku tetap senang, setidaknya aku diterima dan bisa mempelajari semua teknik-teknik yang belum aku praktekkan sewaktu kuliah dulu. Hehehe…. Oh ya, kalau masalah Sasuke dan ino aku tidak pernah lagi bertemu dengan mereka bahkan berkomunikasi pun tidak jadi aku tidak tahu tentang mereka. Tapi jujur hatiku tidak pernah berhenti memikirkan dia. Sasuke Uciha.
KONOHA, 3 Juni
Diary, apa yang harus aku lakukan?─
DEG
Tiba-tiba perasaan tidak mengenakkan melingkupi Sarada. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Terasa menyesakkan. Pegangan tangannya dieratkan pada buku.
─Orang yang selama ini aku cintai datang dengan keadaan yang sangat berantakan. Baju kusut, rambut acak-acakan, dan mulutnya bau alcohol. Dia tidak seperti dulu, kilau mata dinginnya lenyap entah kemana, bergantikan dengan jejak pedih yang benar-benar menyedihkan hingga membuatku merasa iba. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya.
Diary, apa aku salah sudah menolongnya? Kenapa dia melakukan ini padaku? Aku sedih diary. Aku membenci diriku sendiri, walaupun dia sudah memperlakukanku seperti ini, aku bahkan tak bisa membencinya. Diary maafkan aku! Aku akan meninggalkan Konoha, meninggalkan semua kenanganku di sini. Meninggalkan orang yang kucintai.
Sarada makin erat menggenggam diary ibunya. Entahlah, dia merasa sepertinya lelaki itulah ayahnya. Pria yang sama, yang sudah menyakiti ibunya. Pria yang sudah menghasilkan ketakutan pada ibunya. Dan pria yang mungkin masih dicintai oleh Sakura, ibunya.
Dan apa yang harus dia lakukan sekarang?
Dia diam sejenak. Menenangkan segala gelisah dalam dada. Menimbang kemungkinan yang ada. Dan memikirkan maksud dari curhatan ibunya yang terakhir.
Diakah ayahnya? Atau dia hanya seseorang di masa lalu ibunya dan semua yang dikatakan oleh ibunya tentang ayahnya adalah benar. Tetapi kebohongan itu sangat jelas dia baca dari ibunya.
Baiklah satu keputusan harus dia buat sekarang. Berhenti atau terus melanjutkan penyelidikannya walau hasil yang dia peroleh jauh dari kata bahagia.
Sarada memejamkan mata. Beberapa detik kemudian dia membuka. Tersenyum dan melangkah menuju laci meja. Menyimpan buku itu. Yah, inilah yang harus dia lakukan. Seburuk apapun hasilnya nanti.
Dia melirik jendela. Matahari sudah lebih tinggi dari yang tadi. Memunculkan sinar yang lebih hangat. Burung-burung sudah banyak yang bermunculan, berlomba menampilakan suara indah mereka. Keadaan di luarpun juga sudah sangat ramai. Aktivitas sudah setengah berjalan. Dia pun melangkah ke kamar mandi setelah membereskan tempat tidurnya. Nampaknya joging di taman boleh juga. Udara sejuknya pasti lebih baik dari pada di dalam kamar dan pasti lebih bisa menyegarkan pikirannya.
...
Baju kaos merahnya sudah dia pakai, celana rebook selutut, juga sepatu olahraga dengan kos kaki sampai batas mata kakinya. Dia regangkan otot-ototnya dan melakukan pemanasan sebelum mulai berlari.
Beberapa menit kemudian dia berlari. Melewati kompleks rumahnya, melaju di area khusus pejalan kaki yang sedang sepi. Udara pagi itu sangat dingin namun tak terasa di tubuh Sarada. Keringat mulai muncul satu-satu dari pori-pori dahinya kemudian di susul di bagian tubuhnya yang lain.
Sarada mengeluarkan headset dari saku celana lalu memasangkan di telinga. Kini dia sudah sampai di taman. Udaranya sangat sejuk dengan banyak pohon besar yang tumbuh. Beberapa kursi taman menghiasi pinggiran jalan setapak khusus untuk pejalan kaki tempatnya berlari. Dia tidak hanya sendiri di sana. Banyak orang yang juga sedang berlari atau hanya sekedar berjalan santai sambil menikmati udara segar. Di beberapa bagian, banyak orang yang tengah pikinik─dengan keluarga atau dengan teman─ di bawah pohon yang rindang.
BRUK
“Aw...” Sarada terjungkal ke belakang saat tak sengaja menabrak seseorang. Sarada mendongak menatap laki-laki itu.
“Kau tak apa? Maaf aku tidak melihatmu tadi.” Ucapnya penuh sesal. Laki-laki itu kemudain menjulurkan tangannya membantu Sarada untuk berdiri.
Untuk sesaat, Sarada seperti tak mengenal dirinya. Dia terpaku, bumi seolah berhenti berputar saat dia menatap pria yang sudah dia tabrak. Bukan karena dia terpesona pada pria itu. Well, dia akui bahwa pria itu memang memiliki wajah yang sangat tampan. Dengan rahang tegas khas orang dewasa dan rambut raven belah samping sebagai mahkotanya. Matanya berwarna gelap dan sorot yang tegas, hidung mancung, dan bibir merah keunguan─ bekas merokok. Mungkin. Tapi.. bukan itu. Lagipula pria itu terlihat lebih cocok dengan ibunya. Dia hanya merasa ada sesuatu pada orang itu. Terasa dekat, tetapi dia tidak tahu apa itu. Dan lagi bukankah pria itu adalah orang yang pernah dia lihat di mall waktu itu, orang yang ingin dia perlihatkan pada ibunya?
“Ah... Aku baik-baik saja. Ini bukan masalah. Lagipula aku juga yang salah tidak memperhatikan jalan. Aku minta maaf.” Sarada membungkuk meminta maaf setelah berdiri.
Pria itu terlihat memerhatikan Sarada dengan pandangan yang Sarada sulit artikan. “Tidak. Akulah yang salah, aku tidak melihatmu tadi.”
“Hm... Baiklah kalau begitu. Kita sama-sama salah dan sudah saling meminta maaf, kalau begitu aku permisi.” Kata Sarada lantas melanjutkan langkahnya.
“Tunggu! Kalau kau tidak keberatan, bisakah kita makan di cafe itu, sebagai tanda permohonan maafku.” Ucap pria itu menghentikan langkah Sarada.
Sarada sedikit mengerutkan dahi, “Bukankah, kita sudah saling meminta maaf? Lagipula jika kita ke sana, aku juga harus mentraktirmu, bukan? Dan aku tidak membawa uang untuk itu.”
“Tidak apa. Aku saja yang mentraktirmu.” Kata pria itu setengah memaksa, “Tapi kalau kau mau, nanti kau bisa mentraktirku kembali saat kita bertemu.” Lanjutnya.
Sarada menimbang-nimbang tawaran itu. Sepertinya itu adalah tawaran yang baik untuknya saat ini. Dia tidak membawa uang lebih untuk membeli minuman dan dia memang sedang kehausan. “Well, kalau kau memaksa. Baiklah aku terima dan lain kali jika kita bertemu aku akan membayarnya.”
Pria itu tersenyum. “Baiklah.”
...
Cafe tingkat dua itu sangat nyaman dengan lantunan musik klasik yang menenangkan. Ruangan yang luas dengan beberapa tumbuhan yang sengaja di letakkan di dalam ruangan. Ada panggung yang terletak di depan untuk pemain musik. Tangga berada di bagian pinggir kanan-kiri ruangan dengan lantai dua yang tak dibatasi oleh pembatas─ lantai─ dan menyisakan bagian tengah ruangan untuk bisa melihat ke bawah. Tiap jendelanya terdapat sulur-sulur seperti cabang pohon dengan bunga kristal-bunga kristal yang menjalari kacanya. Cafe yang terlihat seperti restoran bintang tiga, pikir Sarada. Walau banyak pengunjung yang datang, restoran ini tidak telihat padat dan pengap. Well, sepertinya arsitek cafe ini sangat lihai dalam penyusunan bangunannya.
Mereka berdua duduk di kursi dekat jendela paling belakang. Entahlah, mereka memiliki pemikiran yang sama dan sepakat untuk duduk di sana. Sarada tidak menyukai menjadi bahan perhatian dan pria di depannya itu akan membuatnya diperhatikan sepanjang mereka berada di sana oleh pengunjung yang lain. Dia tahu, karena dari awal mereka memasuki cafe ini sudah banyak pasang mata yang memperhatikan mereka bahkan saat ini pun banyak wanita yang mencuri-curi pandang menatap ke arah pria itu dan Sarada benar-benar tak menyukainya.
Seorang pelayan cafe datang menghampiri. Gadis berseragam itu terlihat bersemu dan malu-malu ketika dipandang oleh pria di depannya.
“Kau ingin memesan apa, nona..─”
“Panggil saja aku Sarada, Sir.” kata Sarada.
“Baiklah, Sarada. Kau mau pesan apa?”
Sarada mengambil menu di depannya. Matanya menelusuri tiap tulisan di menu itu, lalu menutupya kembali. “Ice cream strowbery, Sir.”
Pria itu sedikit mengerutkan keningnya, “Bukankah lebih baik kau memesan minuman yang tidak dingin? Kau habis berlari, bukan?” Tanyanya.
“Tenggorokanku sangat kering, Sir dan sepertinya hanya ice ceram-lah yang bisa melembabkannya kembali.”
“Baiklah. Apa kau tidak memesan makanan?” Tanyanya dan Sarada hanya membalasnya dengan gelengan. Pria itu kembali memandang gadis pelayan itu dan menyebutkan pesanan mereka.
“Baiklah. Pesanan kalian akan segera diantarkan, mohon tunggu beberapa menit.” Ucapnya sebelum pergi.
“Maaf yah. Kau pasti merasa risih dengan semua tatapan itu?” Ucapnya menatap Sakura yang sedari tadi sudah mennjukkan raut tak suka. Laki-laki itu tahu, jika gadis di depannya itu sebenarnya tidak suka dengan semua tatapan yang mengarah pada mereka karena dia. Bukan dia terlalu membanggakan diri, tetapi itulah kenyatannya. Dia selalu menjadi bahan perhatian. Tidak dulu, sekarang pun begitu. “Maaf yah!”
“Tidak apa-apa, Sir. Itu bukan masalah. Lagipula kau memang pantas menjadi bahan perhatian. Mereka mungkin belum pernah melihat pria setampan anda.”
“Terima kasih pujianmu. Omong-omong, kau bisa memanggilku Sasuke.”
DEG.
Entah itu hanyalah kebetulan, tetapi nama itu benar-benar sukses membuat jantungnya bergemuruh tidak karuan. Sesaat ia terdiam tak bersuara. Nama itu terus terngiang di kepalanya, seolah tak mau pergi dan terus mengingatkannya. Nama dari orang yang ingin dia ketahui keberadaannya dan mungkin saja yang tahu siapa ayahnya ataukah memang dia ayahnya. Seseorang dari masa lalu ibunya. Sasuke.
“Kau tidak apa?” Tanya Sasuke khawatir. Sesaat tangannya coba menyentuh pundak Sarada namun tidak jadi karena Sarada sudah menyahuti dan mendongak menatapnya.
“Aku baik-baik saja. Maafkan aku, tiba-tiba seperti ini. Tapi, rasanya itu tidak sopan jika aku memanggil namamu secara langsung. Bisakan aku memanggilmu paman? Kau terlihat seumuran dengan ibuku.” Kata Sarada memberikan senyum. Ia terus memikirkan nama orang itu. Apakah ia harus bertanya atau dia sendiri yang mencari tahu.
“Ah.. iya. Bukan masalah.”
“Er─”
“Maaf pesanan anda, Sir.” Seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Dia bukan gadis yang tadi, tetapi seorang laki-laki yang kira-kira seumuran dengan Sarada. Tubuh tegap dengan rambut pirang jabrik dan dua goresan vertikal di kedua pipinya.
“Boruto.” Kata Sasuke ketika melihat anak laki-laki tersebut. Sarada juga ikut memerhatikan anak lelaki itu. Keningnya sedikit mengerut. Dia kenal dengan bocah laki-laki itu. Mereka sekelas dan... Bukankah dia adalah anak orang kaya? Lalu kenapa malah bekerja di cafe. Lagipula apa dia tidak mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas?
Anak lelaki itu menatap Sasuke, “Paman.” Sahutnya, keningnya sedikit menyerngit ketika melihat seorang gadis bersama dengan Sasuke. Gadis yang biasa dia lihat sewaktu sekolah dulu dan menjadi salah satu temannya. “Paman sedang apa di sini, dengannya?” matanya sedikit melirik Sarada.
“Kau mengenal Sarada?” Tanya Sasuke tak menjawab pertanyaan Boruto.
“Dia sekelas denganku, dulu.” Sahutnya. “Omong-omong, paman. Kenapa bisa bersama Sarada? Dan bukankah hari ini jadwal kepulangan paman ke Konoha?” Nampan makanan dia pegang ditangan kananya.
DEG.
Lagi. Jantung Sarada kembali bergemuruh tak jelas. Ada perasaan aneh yang menyergapi tubuhnya. Serasa ada aliran listrik yang mengalir dan memporak-porandakan perasaannya. Semakin membuatnya penasaran, rasa tidak sabaran untuk mengetahui kebenaran itu.
Tetapi, mungkin saja semua itu adalah kebetulan. Mungkin saja nama dan asal pria itu juga adalah kebetulan dan tidak seperti apa yang dia pikirkan baru tadi.
Namun tetap saja nama itu tetap memengaruhinya.
“Oh, tadi kami tidak sengaja berabrakan dan aku mentraktirnya di sini. Sebagai permintaan maaf. Lagipula jadwal kepulanganku sedikit berubah. Masih ada urusan yang harus ku selesaikan di sini.”
“Boruto!”
Boruto berbalik menatap seseorang yang memanggilnya. “Ah... Maaf, Paman. Aku permisi dulu.” Kata Boruto lantas pergi meninggalkan mereka berdua. Sarada masih menatap heran pada tingkah Boruto.
Sasuke mengalihkan tatapannya pada Sarada. “Jadi kau juga sudah selesai sekolah, Sarada?”
“Mm..” Sarada mengangguk lalu terdiam. Dia sedang memikirkan kata-kata yang bagus untuk bertanya pada pria di depannya itu. Sejenak dia memejamkan mata, kemudian perlahan dia buka dan menatap pria di depannya itu ragu. “Paman, apa aku bisa bertanya sesuatu?”
Tangan Sasuke terhenti di udara saat ingin menyesap kopinya. Keningnya sedikit menyerngit, “Silahan. Apa itu?”
“Apakah... paman berasal dari Konoha?” Sarada merasa jantungnya bekerja berkali lipat dari biasanya. Tangannya meremas baju kaosnya hingga kusut. Pandangannya tak beralih pada pria di depannya. Ice cream yang dipesannya diabaikan. Rasa penasarannya mengalahkan dahaga yang sedari tadi dia rasakan.
“Iya. Apa kau mau ke sana?” Sasuke bertanya tenang namun menatap Sarada dengan pandangan yang tidak bisa Sarada baca.
Sarada mengangguk, “Aku ingin melanjutkan kuliahku di sana. Sepertinya Universitas Konoha sangat cocok untukku.”
“Ah, kau benar. Universitas itu sangat bagus. Aku juga lulusan universitas itu. Kau ingin mengambil jurusan apa, Sarada?”
“Kedokteran.” Ucapnya singkat. Sarada memerhatikan pria di depannya itu. Ekpresinya berubah, terlihat ada kesedihan dimatanya yang tidak dia tutupi. Cengkraman tangannya pada cangkir kopi mengerat seolah tengah menahan sesuatu. ‘Apa mungkin dia benar-benar kenalan ibuku?’ pikirnya.
“Paman, kau tidak apa-apa?” Sarada terlihat cemas melihat Sasuke. Dia tidak sadar jika tangannya sudah berada di pundak Sasuke.
Sasuke tersentak ketika merasakan sebuah usapan di bahunya, “Ah... Maaf. Aku memikirkan sesuatu.” Ucapnya kemudian melihat jam tangan di pergelangan kirinya. “Sarada, aku minta maaf. Aku harus segera pergi. Ini kartu namaku. Hubungi aku jika kau ingin mentraktirku kembali.” Ucapnya dan memberikan sebuah kartu nama pada Sarada. Ia pun bergegas keluar meninggalkan Sarada di sana.
Sarada masih diam setelah ditinggal oleh Sasuke. Masih banyak yang ingin dia tanyakan pada pria itu. Masih besar rasa penasaran dalam dirinya. Tetapi, mungkin ini bukalah waktunya untuk dia tuntaskan rasa penasarannya itu. Lain kali jika mereka bertemu, dia pasti akan menguapkan rasa penasarannya itu.
Kertas di tangannya masih dia pegang dan belum dia baca. Terlalu banyak yang dia pikirkan hingga tak sadar jika Sasuke memberinya kartu nama.
“Sarada. Kemana paman?” Boruto datang dan membuyarkan lamunan Sarada. Dia duduk menatap Sarada.
Sarada mengalihkan tatapan kosongnya ke arah pemuda blonde itu. “Dia sudah pergi.” Sahutnya.
“Hah, akhirnya kau kembali. Kau nampak seperti gadis labil yang sedang bertemu dengan orang yang kau suka, Sarada. Aku tahu pamanku itu memang tampan, tapi kau harusnya tahu perbedaan umur kalian terlalu jauh. Dia seharusnya jadi ayahmu.” Kata Boruto setelah duduk di hadapan Sarada.
“Apa maksudmu, Boruto? Apa aku terlihat seperti itu tadi?”
Boruto mengangkat bahu.
“Lagipula kenapa kau bekerja di tempat ini? Bukankah ayah dan ibumu memiliki banyak uang?”
“Aku hanya menikmati hidup. Ah.. Aku harus pergi lagi. Sial, padahal aku ingin beristirahat.” Gumamnya dan beranjak dari hadapan Sarada.
Sarada memerhatikan boruto yang tengah bekerja. Dia sangat berbeda saat di sekolah. Sifat usil dan menyebalkan dia tanggalkan untuk sementara dan menjadi seorang laki-laki yang tenang juga ramah, mencatat semua pesanan orang juga membawakan pesanan untuk mereka.
Sarada bangkit berdiri, bergegas keluar dari cafe itu untuk pulang dan membersihkan dirinya yang penuh dengan peluh.
PRAK
Sebuah liontin terjatuh dari atas meja, Sarada menunduk, mengambilnya. Dia baru sadar jika ada sesuatu di tangannya itu. Sebuah kartu nama yang tidak sadar sudah ditinggalkan Sasuke. Dia membalikkan kartu nama itu.
DEG
Untuk kesekian kalinya jantung Sarada berdegup kencang setelah membaca satu nama yang tertera di kartu nama itu. Dia lega juga takut secara bersamaan. Tetapi dia cukup senang, karena kebenaran yang dia cari-cari sebetar lagi akan dia dapatkan.
Dilihanya kalung liontin yang berbentuk hati itu. Penasaran dengan gambar di dalamnya dia pun membuka. Matanya sedikit melebar melihat gambar dua orang dalam liontin itu, namun dia juga tersenyum. Mungkin sebentar lagi tujuannya akan tercapai.
TBC