Fly with your imajination

Showing posts with label Happy for Ending. Show all posts
Showing posts with label Happy for Ending. Show all posts

Saturday, September 12, 2015

Happy For Ending (3)

Sebelumnya : Chapter 2

Pair: Ryuta, Sasuke dan Sakura
Rate: T
Genre: Family & General
Length : 
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
Mickey_Miki

________________________________________

Sarada adalah seorang anak yang tumbuh tanpa didampingi oleh sang ayah. Walaupun ia bahagia bersama dengan ibunya, namun ia masih merasa kurang. Kebahagiaan yang ia rasakan tidaklah cukup hanya bersama dengan sang ibu. Sarada ingin merasakannya juga dengan ayahnya. Sarada memiliki rencana untuk menyatukan kembali kedua orang tuanya dalam waktu seminggu. Ia berbohong kepada ibunya agar ia dapat menjalankan rencananya. Akankah semua rencananya berhasil?
.
.
.
.
HAPPY FOR ENDING

~happy reading~
.
.
.
.
.
Kebahagiaan akan terasa saat kita merasakannya bersama. Bersama dengan ayah dan ibu.
::
::

::
::
::
Chapter 3 : Diakah ayahku?

Malam melipur, dan pagi menjelang. Namun matahari belum sepenuhnya keluar dari batas horizon. Warna-warna kelabu masih mendominasi warna langit. Nampaknya bekas malam masih enggan beranjak dan berganti singgasana dengan pagi.

Meski aktivitas belum sepenuhnya berjalan dan burung-burung masih belum enggan bernyanyi, namun Sarada telah bersiap dengan bukunya. Duduk di atas kasur dengan jendela yang sengaja di biarkan terbuka sedikit.

Dia membuka batas halaman yang kemarin belum sempat dia baca. Membaca setiap ukiran kata-kata yang tertera.

KONOHA, 7 September

Diary, aku sedih… sangat sedih. Ternyata apa yang kutakutkan selama ini akhirnya terjadi. Aku bahkan belum sempat mengungkapkan perasaanku dan dia sudah mengaku kalau dia sudah menjadi kekasih sahabatku. Hatiku remuk redam, bak kertas yang digenggam erat dan diremuk, tak bisa dirapikan lagi. Dia, orang yang kucintai tak pernah menganggapku lebih dari pada sahabat. Aku terlalu percaya diri dengan semua perhatian yang dia berikan padaku. aku bodoh, menganggap semua perhatiannya adalah curahan kasih yang tidak bisa dia ungkapkan.

Diary aku benar-benar sangat sedih. aku tidak tahu sikap apa yang harus kutunjukkan di depan mereka. Mungkin aku tidak akan pernah menemui mereka lagi. Aku tidak ingin merasa sakit. :’(

Sarada menghentikan bacanya sejenak, merasakan seberkas cahaya tipis dari belahan horison yang masuk melalui sela-sela jendela kamar. Hangat namun juga terasa sejuk. Burung-burung kecil mulai berkicau, menyanyi, mengiringi matahari yang semakin bergerak naik.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5.30 pagi. Sarada kemudian membuka lebar jendela kamar, mengikat tirai gorden, membiarkan cahaya perlahan menerangi kamarnya. Dia kembali duduk sambil memangku bukunya lantas kembali melanjutkan bacaannya.

KONOHA, 15 September

Diary seperti kataku sebelumnya, aku tidak pernah lagi menemui mereka, tiap mereka mengajakku keluar atau menyapaku aku tidak terlalu memperdulikannya lagi bahkan mengabaikan. Well, sebetulnya aku tahu bagaimana perasaan mereka saat kuperlakukan seperti itu. Tapi jujur hatiku masih sakit melihat mereka berdua, aku masih mengharapkan Sasuke.

KONOHA, 1 Januari

Diary, tidak terasa, yah sudah dua tahun terlewat dan aku sekarag sudah bekerja di rumah sakit, walaupun masih magang, tapi aku tetap senang, setidaknya aku diterima dan bisa mempelajari semua teknik-teknik yang belum aku praktekkan sewaktu kuliah dulu. Hehehe…. Oh ya, kalau masalah Sasuke dan ino aku tidak pernah lagi bertemu dengan mereka bahkan berkomunikasi pun tidak jadi aku tidak tahu tentang mereka. Tapi jujur hatiku tidak pernah berhenti memikirkan dia. Sasuke Uciha.

KONOHA, 3 Juni

Diary, apa yang harus aku lakukan?─

DEG

Tiba-tiba perasaan tidak mengenakkan melingkupi Sarada. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Terasa menyesakkan. Pegangan tangannya dieratkan pada buku.


─Orang yang selama ini aku cintai datang dengan keadaan yang sangat berantakan. Baju kusut, rambut acak-acakan, dan mulutnya bau alcohol. Dia tidak seperti dulu, kilau mata dinginnya lenyap entah kemana, bergantikan dengan jejak pedih yang benar-benar menyedihkan hingga membuatku merasa iba. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya.


Diary, apa aku salah sudah menolongnya? Kenapa dia melakukan ini padaku? Aku sedih diary. Aku membenci diriku sendiri, walaupun dia sudah memperlakukanku seperti ini, aku bahkan tak bisa membencinya. Diary maafkan aku! Aku akan meninggalkan Konoha, meninggalkan semua kenanganku di sini. Meninggalkan orang yang kucintai.


Sarada makin erat menggenggam diary ibunya. Entahlah, dia merasa sepertinya lelaki itulah ayahnya. Pria yang sama, yang sudah menyakiti ibunya. Pria yang sudah menghasilkan ketakutan pada ibunya. Dan pria yang mungkin masih dicintai oleh Sakura, ibunya.

Dan apa yang harus dia lakukan sekarang?

Dia diam sejenak. Menenangkan segala gelisah dalam dada. Menimbang kemungkinan yang ada. Dan memikirkan maksud dari curhatan ibunya yang terakhir.

Diakah ayahnya? Atau dia hanya seseorang di masa lalu ibunya dan semua yang dikatakan oleh ibunya tentang ayahnya adalah benar. Tetapi kebohongan itu sangat jelas dia baca dari ibunya.

Baiklah satu keputusan harus dia buat sekarang. Berhenti atau terus melanjutkan penyelidikannya walau hasil yang dia peroleh jauh dari kata bahagia.

Sarada memejamkan mata. Beberapa detik kemudian dia membuka. Tersenyum dan melangkah menuju laci meja. Menyimpan buku itu. Yah, inilah yang harus dia lakukan. Seburuk apapun hasilnya nanti.

Dia melirik jendela. Matahari sudah lebih tinggi dari yang tadi. Memunculkan sinar yang lebih hangat. Burung-burung sudah banyak yang bermunculan, berlomba menampilakan suara indah mereka. Keadaan di luarpun juga sudah sangat ramai. Aktivitas sudah setengah berjalan. Dia pun melangkah ke kamar mandi setelah membereskan tempat tidurnya. Nampaknya joging di taman boleh juga. Udara sejuknya pasti lebih baik dari pada di dalam kamar dan pasti lebih bisa menyegarkan pikirannya.

...

Baju kaos merahnya sudah dia pakai, celana rebook selutut, juga sepatu olahraga dengan kos kaki sampai batas mata kakinya. Dia regangkan otot-ototnya dan melakukan pemanasan sebelum mulai berlari.

Beberapa menit kemudian dia berlari. Melewati kompleks rumahnya, melaju di area khusus pejalan kaki yang sedang sepi. Udara pagi itu sangat dingin namun tak terasa di tubuh Sarada. Keringat mulai muncul satu-satu dari pori-pori dahinya kemudian di susul di bagian tubuhnya yang lain.
Sarada mengeluarkan headset dari saku celana lalu memasangkan di telinga. Kini dia sudah sampai di taman. Udaranya sangat sejuk dengan banyak pohon besar yang tumbuh. Beberapa kursi taman menghiasi pinggiran jalan setapak khusus untuk pejalan kaki tempatnya berlari. Dia tidak hanya sendiri di sana. Banyak orang yang juga sedang berlari atau hanya sekedar berjalan santai sambil menikmati udara segar. Di beberapa bagian, banyak orang yang tengah pikinik─dengan keluarga atau dengan teman─ di bawah pohon yang rindang.

BRUK

“Aw...” Sarada terjungkal ke belakang saat tak sengaja menabrak seseorang. Sarada mendongak menatap laki-laki itu.

“Kau tak apa? Maaf aku tidak melihatmu tadi.” Ucapnya penuh sesal. Laki-laki itu kemudain menjulurkan tangannya membantu Sarada untuk berdiri.

Untuk sesaat, Sarada seperti tak mengenal dirinya. Dia terpaku, bumi seolah berhenti berputar saat dia menatap pria yang sudah dia tabrak. Bukan karena dia terpesona pada pria itu. Well, dia akui bahwa pria itu memang memiliki wajah yang sangat tampan. Dengan rahang tegas khas orang dewasa dan rambut raven belah samping sebagai mahkotanya. Matanya berwarna gelap dan sorot yang tegas, hidung mancung, dan bibir merah keunguan─ bekas merokok. Mungkin. Tapi.. bukan itu. Lagipula pria itu terlihat lebih cocok dengan ibunya. Dia hanya merasa ada sesuatu pada orang itu. Terasa dekat, tetapi dia tidak tahu apa itu. Dan lagi bukankah pria itu adalah orang yang pernah dia lihat di mall waktu itu, orang yang ingin dia perlihatkan pada ibunya?

“Ah... Aku baik-baik saja. Ini bukan masalah. Lagipula aku juga yang salah tidak memperhatikan jalan. Aku minta maaf.” Sarada membungkuk meminta maaf setelah berdiri.

Pria itu terlihat memerhatikan Sarada dengan pandangan yang Sarada sulit artikan. “Tidak. Akulah yang salah, aku tidak melihatmu tadi.”

“Hm... Baiklah kalau begitu. Kita sama-sama salah dan sudah saling meminta maaf, kalau begitu aku permisi.” Kata Sarada lantas melanjutkan langkahnya.

“Tunggu! Kalau kau tidak keberatan, bisakah kita makan di cafe itu, sebagai tanda permohonan maafku.” Ucap pria itu menghentikan langkah Sarada.

Sarada sedikit mengerutkan dahi, “Bukankah, kita sudah saling meminta maaf? Lagipula jika kita ke sana, aku juga harus mentraktirmu, bukan? Dan aku tidak membawa uang untuk itu.”

“Tidak apa. Aku saja yang mentraktirmu.” Kata pria itu setengah memaksa, “Tapi kalau kau mau, nanti kau bisa mentraktirku kembali saat kita bertemu.” Lanjutnya.

Sarada menimbang-nimbang tawaran itu. Sepertinya itu adalah tawaran yang baik untuknya saat ini. Dia tidak membawa uang lebih untuk membeli minuman dan dia memang sedang kehausan. “Well, kalau kau memaksa. Baiklah aku terima dan lain kali jika kita bertemu aku akan membayarnya.”

Pria itu tersenyum. “Baiklah.”

...

Cafe tingkat dua itu sangat nyaman dengan lantunan musik klasik yang menenangkan. Ruangan yang luas dengan beberapa tumbuhan yang sengaja di letakkan di dalam ruangan. Ada panggung yang terletak di depan untuk pemain musik. Tangga berada di bagian pinggir kanan-kiri ruangan dengan lantai dua yang tak dibatasi oleh pembatas─ lantai─ dan menyisakan bagian tengah ruangan untuk bisa melihat ke bawah. Tiap jendelanya terdapat sulur-sulur seperti cabang pohon dengan bunga kristal-bunga kristal yang menjalari kacanya. Cafe yang terlihat seperti restoran bintang tiga, pikir Sarada. Walau banyak pengunjung yang datang, restoran ini tidak telihat padat dan pengap. Well, sepertinya arsitek cafe ini sangat lihai dalam penyusunan bangunannya.

Mereka berdua duduk di kursi dekat jendela paling belakang. Entahlah, mereka memiliki pemikiran yang sama dan sepakat untuk duduk di sana. Sarada tidak menyukai menjadi bahan perhatian dan pria di depannya itu akan membuatnya diperhatikan sepanjang mereka berada di sana oleh pengunjung yang lain. Dia tahu, karena dari awal mereka memasuki cafe ini sudah banyak pasang mata yang memperhatikan mereka bahkan saat ini pun banyak wanita yang mencuri-curi pandang menatap ke arah pria itu dan Sarada benar-benar tak menyukainya.

Seorang pelayan cafe datang menghampiri. Gadis berseragam itu terlihat bersemu dan malu-malu ketika dipandang oleh pria di depannya.

“Kau ingin memesan apa, nona..─”

“Panggil saja aku Sarada, Sir.” kata Sarada.

“Baiklah, Sarada. Kau mau pesan apa?”


Sarada mengambil menu di depannya. Matanya menelusuri tiap tulisan di menu itu, lalu menutupya kembali. “Ice cream strowbery, Sir.”

Pria itu sedikit mengerutkan keningnya, “Bukankah lebih baik kau memesan minuman yang tidak dingin? Kau habis berlari, bukan?” Tanyanya.

“Tenggorokanku sangat kering, Sir dan sepertinya hanya ice ceram-lah yang bisa melembabkannya kembali.”

“Baiklah. Apa kau tidak memesan makanan?” Tanyanya dan Sarada hanya membalasnya dengan gelengan. Pria itu kembali memandang gadis pelayan itu dan menyebutkan pesanan mereka.

“Baiklah. Pesanan kalian akan segera diantarkan, mohon tunggu beberapa menit.” Ucapnya sebelum pergi.

“Maaf yah. Kau pasti merasa risih dengan semua tatapan itu?” Ucapnya menatap Sakura yang sedari tadi sudah mennjukkan raut tak suka. Laki-laki itu tahu, jika gadis di depannya itu sebenarnya tidak suka dengan semua tatapan yang mengarah pada mereka karena dia. Bukan dia terlalu membanggakan diri, tetapi itulah kenyatannya. Dia selalu menjadi bahan perhatian. Tidak dulu, sekarang pun begitu. “Maaf yah!”

“Tidak apa-apa, Sir. Itu bukan masalah. Lagipula kau memang pantas menjadi bahan perhatian. Mereka mungkin belum pernah melihat pria setampan anda.”

“Terima kasih pujianmu. Omong-omong, kau bisa memanggilku Sasuke.”

DEG.

Entah itu hanyalah kebetulan, tetapi nama itu benar-benar sukses membuat jantungnya bergemuruh tidak karuan. Sesaat ia terdiam tak bersuara. Nama itu terus terngiang di kepalanya, seolah tak mau pergi dan terus mengingatkannya. Nama dari orang yang ingin dia ketahui keberadaannya dan mungkin saja yang tahu siapa ayahnya ataukah memang dia ayahnya. Seseorang dari masa lalu ibunya. Sasuke.

“Kau tidak apa?” Tanya Sasuke khawatir. Sesaat tangannya coba menyentuh pundak Sarada namun tidak jadi karena Sarada sudah menyahuti dan mendongak menatapnya.

“Aku baik-baik saja. Maafkan aku, tiba-tiba seperti ini. Tapi, rasanya itu tidak sopan jika aku memanggil namamu secara langsung. Bisakan aku memanggilmu paman? Kau terlihat seumuran dengan ibuku.” Kata Sarada memberikan senyum. Ia terus memikirkan nama orang itu. Apakah ia harus bertanya atau dia sendiri yang mencari tahu.

“Ah.. iya. Bukan masalah.”

“Er─”

“Maaf pesanan anda, Sir.” Seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Dia bukan gadis yang tadi, tetapi seorang laki-laki yang kira-kira seumuran dengan Sarada. Tubuh tegap dengan rambut pirang jabrik dan dua goresan vertikal di kedua pipinya.

“Boruto.” Kata Sasuke ketika melihat anak laki-laki tersebut. Sarada juga ikut memerhatikan anak lelaki itu. Keningnya sedikit mengerut. Dia kenal dengan bocah laki-laki itu. Mereka sekelas dan... Bukankah dia adalah anak orang kaya? Lalu kenapa malah bekerja di cafe. Lagipula apa dia tidak mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas?

Anak lelaki itu menatap Sasuke, “Paman.” Sahutnya, keningnya sedikit menyerngit ketika melihat seorang gadis bersama dengan Sasuke. Gadis yang biasa dia lihat sewaktu sekolah dulu dan menjadi salah satu temannya. “Paman sedang apa di sini, dengannya?” matanya sedikit melirik Sarada.
“Kau mengenal Sarada?” Tanya Sasuke tak menjawab pertanyaan Boruto.

“Dia sekelas denganku, dulu.” Sahutnya. “Omong-omong, paman. Kenapa bisa bersama Sarada? Dan bukankah hari ini jadwal kepulangan paman ke Konoha?” Nampan makanan dia pegang ditangan kananya.

DEG.

Lagi. Jantung Sarada kembali bergemuruh tak jelas. Ada perasaan aneh yang menyergapi tubuhnya. Serasa ada aliran listrik yang mengalir dan memporak-porandakan perasaannya. Semakin membuatnya penasaran, rasa tidak sabaran untuk mengetahui kebenaran itu.

Tetapi, mungkin saja semua itu adalah kebetulan. Mungkin saja nama dan asal pria itu juga adalah kebetulan dan tidak seperti apa yang dia pikirkan baru tadi.

Namun tetap saja nama itu tetap memengaruhinya.

“Oh, tadi kami tidak sengaja berabrakan dan aku mentraktirnya di sini. Sebagai permintaan maaf. Lagipula jadwal kepulanganku sedikit berubah. Masih ada urusan yang harus ku selesaikan di sini.”

“Boruto!”

Boruto berbalik menatap seseorang yang memanggilnya. “Ah... Maaf, Paman. Aku permisi dulu.” Kata Boruto lantas pergi meninggalkan mereka berdua. Sarada masih menatap heran pada tingkah Boruto.

Sasuke mengalihkan tatapannya pada Sarada. “Jadi kau juga sudah selesai sekolah, Sarada?”

“Mm..” Sarada mengangguk lalu terdiam. Dia sedang memikirkan kata-kata yang bagus untuk bertanya pada pria di depannya itu. Sejenak dia memejamkan mata, kemudian perlahan dia buka dan menatap pria di depannya itu ragu. “Paman, apa aku bisa bertanya sesuatu?”

Tangan Sasuke terhenti di udara saat ingin menyesap kopinya. Keningnya sedikit menyerngit, “Silahan. Apa itu?”

“Apakah... paman berasal dari Konoha?” Sarada merasa jantungnya bekerja berkali lipat dari biasanya. Tangannya meremas baju kaosnya hingga kusut. Pandangannya tak beralih pada pria di depannya. Ice cream yang dipesannya diabaikan. Rasa penasarannya mengalahkan dahaga yang sedari tadi dia rasakan.

“Iya. Apa kau mau ke sana?” Sasuke bertanya tenang namun menatap Sarada dengan pandangan yang tidak bisa Sarada baca.

Sarada mengangguk, “Aku ingin melanjutkan kuliahku di sana. Sepertinya Universitas Konoha sangat cocok untukku.”

“Ah, kau benar. Universitas itu sangat bagus. Aku juga lulusan universitas itu. Kau ingin mengambil jurusan apa, Sarada?”

“Kedokteran.” Ucapnya singkat. Sarada memerhatikan pria di depannya itu. Ekpresinya berubah, terlihat ada kesedihan dimatanya yang tidak dia tutupi. Cengkraman tangannya pada cangkir kopi mengerat seolah tengah menahan sesuatu. ‘Apa mungkin dia benar-benar kenalan ibuku?’ pikirnya.
“Paman, kau tidak apa-apa?” Sarada terlihat cemas melihat Sasuke. Dia tidak sadar jika tangannya sudah berada di pundak Sasuke.

Sasuke tersentak ketika merasakan sebuah usapan di bahunya, “Ah... Maaf. Aku memikirkan sesuatu.” Ucapnya kemudian melihat jam tangan di pergelangan kirinya. “Sarada, aku minta maaf. Aku harus segera pergi. Ini kartu namaku. Hubungi aku jika kau ingin mentraktirku kembali.” Ucapnya dan memberikan sebuah kartu nama pada Sarada. Ia pun bergegas keluar meninggalkan Sarada di sana.

Sarada masih diam setelah ditinggal oleh Sasuke. Masih banyak yang ingin dia tanyakan pada pria itu. Masih besar rasa penasaran dalam dirinya. Tetapi, mungkin ini bukalah waktunya untuk dia tuntaskan rasa penasarannya itu. Lain kali jika mereka bertemu, dia pasti akan menguapkan rasa penasarannya itu.

Kertas di tangannya masih dia pegang dan belum dia baca. Terlalu banyak yang dia pikirkan hingga tak sadar jika Sasuke memberinya kartu nama.
“Sarada. Kemana paman?” Boruto datang dan membuyarkan lamunan Sarada. Dia duduk menatap Sarada.

Sarada mengalihkan tatapan kosongnya ke arah pemuda blonde itu. “Dia sudah pergi.” Sahutnya.

“Hah, akhirnya kau kembali. Kau nampak seperti gadis labil yang sedang bertemu dengan orang yang kau suka, Sarada. Aku tahu pamanku itu memang tampan, tapi kau harusnya tahu perbedaan umur kalian terlalu jauh. Dia seharusnya jadi ayahmu.” Kata Boruto setelah duduk di hadapan Sarada.

“Apa maksudmu, Boruto? Apa aku terlihat seperti itu tadi?”

Boruto mengangkat bahu.

“Lagipula kenapa kau bekerja di tempat ini? Bukankah ayah dan ibumu memiliki banyak uang?”

“Aku hanya menikmati hidup. Ah.. Aku harus pergi lagi. Sial, padahal aku ingin beristirahat.” Gumamnya dan beranjak dari hadapan Sarada.

Sarada memerhatikan boruto yang tengah bekerja. Dia sangat berbeda saat di sekolah. Sifat usil dan menyebalkan dia tanggalkan untuk sementara dan menjadi seorang laki-laki yang tenang juga ramah, mencatat semua pesanan orang juga membawakan pesanan untuk mereka.

Sarada bangkit berdiri, bergegas keluar dari cafe itu untuk pulang dan membersihkan dirinya yang penuh dengan peluh.

PRAK

Sebuah liontin terjatuh dari atas meja, Sarada menunduk, mengambilnya. Dia baru sadar jika ada sesuatu di tangannya itu. Sebuah kartu nama yang tidak sadar sudah ditinggalkan Sasuke. Dia membalikkan kartu nama itu.

DEG

Untuk kesekian kalinya jantung Sarada berdegup kencang setelah membaca satu nama yang tertera di kartu nama itu. Dia lega juga takut secara bersamaan. Tetapi dia cukup senang, karena kebenaran yang dia cari-cari sebetar lagi akan dia dapatkan.

Dilihanya kalung liontin yang berbentuk hati itu. Penasaran dengan gambar di dalamnya dia pun membuka. Matanya sedikit melebar melihat gambar dua orang dalam liontin itu, namun dia juga tersenyum. Mungkin sebentar lagi tujuannya akan tercapai.


TBC
Share:

Saturday, August 29, 2015

Happy For Ending 2

Sebelumnya : Chapter 1
Pair: Sarada, Sasuke dan Sakura
Rate: T
Genre: Family & General
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC, miss Ty bertebaran, alur GaJe, dll
 (masih perlu banyak belajar)

Story by Mickey miki
________________________________________

Sarada adalah seorang anak yang tumbuh tanpa didampingi oleh sang ayah. Walaupun ia bahagia bersama dengan ibunya, namun ia masih merasa kurang. Kebahagiaan yang ia rasakan tidaklah cukup hanya bersama dengan sang ibu. Sarada ingin merasakannya juga dengan ayahnya. Sarada memiliki rencana untuk menyatukan kembali kedua orang tuanya dalam waktu seminggu. Ia berbohong kepada ibunya agar ia dapat menjalankan rencananya. Akankah semua rencananya berhasil?
.
.
.
.
HAPPY FOR ENDING

~happy reading~
.
.
.
.
.
Kebahagiaan akan terasa saat kita merasakannya bersama. Bersama dengan ayah dan ibu.
::
::
::
::
::
::
Chapter 2 : Siapa Ayahku

Krieeet....!

Pintu kamar berbahan kayu jati coklat tua dengan ukiran-ukiran unik di tiap pinggirnya itu berdecit, manandakan bahwa seseorang telah membukanya. Perlahan pintu itu terbuka dan menampakkankan seorang wanita dengan rambut berwarna senada dengan permen kapas yang sangat dikenalnya. Sakura─ibunya dengan perlahan memasuki kamarnya. Dengan wajah kebingungan wanita itu menghampirinya.

Sarada yang memang pada dasarnya belum siap dan masih dalam proses mengumpulkan nyawanya sendiri, terperanjat dan sedikit terlonjak ketika ibunya sudah memasuki kamarnya.

“Sarada-chan!” Langkah kaki Sakura semakin mendekat, tanpa mengetahui jantung orang yang ia panggil akan segera melompat keluar dari tubuh karena kedatangannya yang tiba-tiba.

Sarada masih terdiam sambil menatap Sakura linglung. Terlalu bingung dengan apa yang terjadi atau mungkin terlalu takut karena kedatangan ibunya yang menurutnya secara tiba-tiba dan tanpa ia sadari.

Rohnya seakan ingin berpisah dari tubuhnya. Ketika melihat Sakura yang semakin mendekat. Ia seolah belum bisa menafsirkan apa yang baru saja dia alami dan hanya terpaku pada langkah ibunya yang semakin mendekat.

Dari awal memang dia sendiri yang salah, tak menyadari Sakura. Terlalu keasikan membaca buku diary ibunya, sehingga tak mendengar langkah kaki yang mengarah kekamarnya, bahkan suara Sakura yang memanggil namanya tak ia dengarkan.

Keterkejutannya bertambah saat Sakura dengan langkah yang cepat dan buru-buru mendekatinya. Melihat itu, seolah ia telah ditampar dan kembali pada dunia nyata, reflex Sarada segera menyembunyikan buku diary itu di balik bantal yang berada dibelakang sandaran punggungya tanpa diketahui oleh sang ibu.

“Sarada!” Panggil Sakura lagi dengan nada heran dan bingung.

Sarada yang dipanggil hanya bisa memandangi ibunya takut-takut. “A.. Ya… A.. Ada apa oka-san?” Jawabnya gugup dengan diiringi degupan jantung yang berdetak cepat tak lupa juga dengan bulir-bulir keringat yang menghiasi wajahnya. Aneh. Ia merasa sangat aneh, perasaan takut ketahuan yang baru pertama kali ia rasakan. Sepertinya hari ini ia mendapat pengalaman pertama yang banyak.

“Kau kenapa, Nak? Kau terlihat pucat. Ada apa? Apa kau sakit? Apa kau salah makan tadi?” Sakura duduk di samping Sarada sambil memegang kening gadis itu, memeriksa suhu tubuh putrinya yang terlihat pucat dan penuh keringat. “Tidak ada apa-apa, tapi kenapa kau pucat, Sarada-chan?”

Tak mendapat jawaban Sakura mendekatkan wajahnya dengan wajah putrinya berharap bisa mendapatkan jawaban. Sakura sedikit memicingkan mata dan mengarahkan pada Sarada, “Kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu, kan?” Tanya Sakura dengan penuh curiga.

Sarada terdiam tak tahu harus menjawab Sakura seperti apa. Dipandangi wajah ibunya yang menatapnya semakin curiga dengan keadaan diamnya itu. Ia seakan sedang menunggu eksekusinya, sorot mata Sakura layaknya seorang algojo yang siap memenggal kepalanya kapan saja.

Entah kenapa ibunya itu selalu tahu kalau dirinya tengah berbohong. Padahal hampir semua orang yang mengenalnya tak bisa mendeteksi saat dirinya tengah berbohong.

“O..oka-san, aku baik-baik saja. Aku hanya kepanasan. Ada apa memanggilku?” Berusaha mengindahkan perasaan gugupnya ia berbicara dengan nada yang sedatar mungkin, walaupun kalimat yang diucapkannya itu sudah sedari tadi tertahan di ujung lidahnya.

Sakura diam dan menatap anaknya masih curiga, dan beberapa detik kemudian tatapannya berubah. “Ah… Iya. Barang belanjaan Oka-san ada kurang. Tas kecil berwarna biru tua dengan motif kupu-kupu berwarna biru langit, tidak ada. Mungkin kau melupakannya di bagasi?” Ucapnya dengan nada yang terdengar sedih.

“Sepertinya tidak.” Jawab Sarada sedikit heran. Setahunya ia sudah memindahkan semua barang milik ibunya dan tak menyisakan apapun di bagasi.

“Apa kau sudah memeriksanya? Tas kecil itu isinya kalung oka-san. Padahal itu kalung yang Oka-san pesan khusus dari kota Iwa.”

Sarada menghela nafas, “Kalau begitu akan ku periksa lagi.” Ucapnya sambil bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar. Dalam hati Sarada bersyukur karena bisa terbebas dari pandangan intimidasi dari wanita yang sudah melahirkannya itu.

Sakura mengikuti Sarada di belakangnya. Dia melihat punggung anaknya yang sekarang telah berubah. Menjadi sosok yang lebih dewasa. Anaknya yang dulu masih kecil dan sering minta digendong, sekarang telah tumbuh besar. Anak kecil manja-nya sekarang menjadi remaja yang semakin dewasa. Waktu telah berjalan sangat jauh hingga membuat banyak perubahan, termasuk pada dia dan anaknya.

Sakura terus memperhatikan Sarada yang berjalan di depannya. Benaknya kembali pada masa lalu. Masa saat ia bersama pria yang ia cintai. Pria yang sampai sekarang masih menempati sebagian ruang kosong dalam hatinya. Pria yang menjadi ayah dari Sarada. Walau pernah disakiti, tapi hatinya tidak pernah bisa berubah untuk mencintai pria itu. Meski mungkin ia tak akan pernah lagi melihat bahkan memiliki pria itu.

FLASH BACK

“Baiklah anak-anak sekarang bapak akan membagi kelompok untuk tugas kelompok dan untuk satu kelompok terdiri dua orang. Yang pertama Kyosuke fujiwara dan Rin yakumo,.... kelompok selanjutnya adalah Sasuke Uciha dan Haruno Sakura. Tugas kalian adalah membuat laporan mengenai penyakit-penyakit radang perut dan tidak boleh ada yang sama. dan laporan ini kalian kumpul sebelum perayaan ulang tahun sekolah. Kalian mengerti?” Kata guru Kakashi sebelum meninggalkan kelas.

“YA....”

Astaga! Aku berkelompok dengan Sasuke. Berkelompok dengannya, hanya berdua. Kyaaaa....’ batin Sakura girang.

“Ano... Permisi! Sakura menghampiri Sasuke yang masih berada dalam kelas sambil membaca novelnya. “Aku akan sekelompok denganmu, jadi mohon bantuannya.” Lanjutnya formal. Sulit rasanya dia bisa berbicara normal dengan laki-laki itu. Laki-laki yang menjadi incaran seluruh gadis sekolahnya.

“Hn” Sasuke tak mengindahkan Sakura dan masih menatap novel di tangannya. Baginya lebih menarik novel itu dari pada gadis yang masih berdiri mematung itu.

“Kalau boleh tahu kapan kita akan melakukan penelitian itu?” Tanya Sakura masih dengan nada yang sopan. Ia sudah tak sabar ingin melakukan riset itu, karena dengan begitu ia bisa jalan berdua dengan Sasuke.

Sasuke sedikit melirik Sakura dari sudut matanya. Sedikit heran, karena gadis itu tak histeris seperti gadis-gadis lain bila berada di dekatnya. “Terserah kau saja!” Jawab Sasuke tak acuh. Ia hanya berharap semua itu bisa selesai dan tak perlu lagi bertemu dengan gadis merah muda yang tak dia tahu namanya itu. Dan melakukan hal merepotkan lagi dengan orang lain.

‘Hah’ Sakura menghela nafas, ‘untung kau laki-laki yang kusukai, kalau tidak, aku pasti akan menendangmu.’ Batinnya. Ia merasa sangat kecewa dengan jawaban Sasuke yang acuh tak acuh itu. Seharusnya ini bisa menjadi awal agar mereka dapat saling mengenal dan lebih dekat, tapi dia malah diacuhkan oleh laki-laki itu.

“Apa masih ada lagi yang ingin kau bicarakan?” tanpa menatap Sakura, Sasuke bertanya. seolah tahu apa yang dipikirkan gadis itu dan ia tak suka.

“Ah... tidak” Sanggahnya lantas menatap lantai. Ia jadi bingung dengan apa yang ingin dia sampaikan pada Sasuke setelah mendengar langsung cara bicara laki-laki itu.

“Kalau begitu kau boleh pergi.” Sakura lekas menatap Sasuke setelah mendengar perkataan Sasuke. “Baiklah.” Sahutnya lantas pergi meninggalkan laki-laki itu.

Sakura kembali ke bangkunya dengan perasaan yang kecewa, padahal ia ingin bisa berbicara lebih lama lagi pada lelaki itu. namun apa boleh dikata, sikap laki-laki itu terlalu dingin dan susah untuk ditembus olehnya. Laki-laki itu terlalu acuh untuk dijak bicara.


...
...
Beberapa hari telah berlalu sejak riset mereka dan waktu pengumpulan laporan semakin dekat. Hubungan Sasuke dan Sakura juga semakin dekat. Sasuke senang dengan Sakura, karena menurutnya Sakura tidak seperti gadis-gadis lain yang sering teriak-teriak kalau berada didekatnya. Ia sempat menyesal karena pernah curiga dengan gadis itu.

“Akhirnya selesai juga.” Desah Sakura, lantas melirik Sasuke sejenak. “Sasuke!?” panggilnya.

“Hn”

“Apa kita tidak akan seperti ini lagi setelah tugas ini kita kumpulkan?” Tanya Sakura. Ia berharap jawaban Sasuke tidak akan membuatnya kecewa. Ia masih ingin lebih lama lagi degan Sasuke agar ia bisa lebih mengenalnya. Tetapi, sepertinya itu adalah mimpi yang terlalu tinggi untuknya. Mana mungkin seorang Sasuke mau berteman dengan dia, gadis cerewet dengan jidat yang lebar.

“Apa maksudmu?” Tanya Sasuke bingung. Aneh rasanya jika seseorang bertanya seperti itu, seolah dia adalah makhluk yang harus dijauhi. Apa dirinya adalah seseorang yang terjangkit virus mematikan dan tidak ada seorang pun yang boleh berhubungan dengan dia? Ia jadi merasa jika gadis itu terpaksa bersama dia karena tugas dan nilai─ Yah walaupun awalnya memang begitu, tetapi lama-kelamaan ia malah merasa nyaman dengan gadis itu.

Sakura menatap Sasuke heran. “Tidak ada. Yah... Bukankah kau tidak suka bersosialisasi dengan kami?”

Sasuke sedikit kesal dengan jawaban gadis merah muda di sampingnya itu. Dia bukannya anti social dengan sengaja, seandainya gadis-gadis itu seperti Sakura dan tidak terlalu berlebihan menatapnya, dia juga akan dengan senang hati berteman dengan mereka. “Jadi itu yang kau pikirkan tentangku? Itu memang wajar. Tapi kau salah, Sakura. Jika mereka sepertimu, aku juga tidak akan seperti ini. Aku tidak suka kebisingan. Mereka itu sangat merepotkan. Kau tahu aku tidak suka saat para siswi sekolah kita ketika mereka meneriakkan namaku. Itu sangat menyebalkan. Telingaku sampai sakit mendengarnya.”

“Jadi, aku boleh menjadi temanmu? Dan kita masih bisa mengobrol seperti ini?” Sakura tak bisa menyembunyikan kegembiraannya setelah mendengar jawaban Sasuke. apalagi setelah anggukan singkat yang diterimanya. “Tapi─” Sasuke menatap Sakura heran. “Tapi, bukankah itu wajar, jika kita memiliki fans?” lanjutnya menatap Sasuke bingung.
“Tapi aku tidak suka.”

“Jadi kau lebih suka dijauhi dan dibenci?”

“Jika tidak ada lagi suara siswi-siswi itu yang meneriaki namaku dan tidak histeris bila berada di dekatku, aku lebih pilih itu.”

“Kau aneh.”

“Yah, seperti itulah. Selain itu, kaukan masih ada di sini. Bersamaku.”

“Aku? Kenapa harus aku?”

“Memang kau tidak menyukaiku?” Sakura cepat-cepat gelengkan kepala, “Aku tidak tahu. Apakah aku menyukaimu atau tidak. Kau terlalu sulit dijangkau, kau itu seolah membuat tembok untuk mencegah orang agar bisa dekat denganmu.”

“Jadi itu adalah tanggapanmu.” Jawab Sasuke menatap Sakura penuh arti. “Aku tidak bermaksud seperti itu.”

“Lalu?”

“Entahlah.”

Jawaban ambigu yang Sasuke lontarkan tidak membuat Sakura puas. Ia ingin bertanya lebih lanjut namun ia juga tidak bisa. Biarlah seperti itu saja. Sakura tidak ingin membuat awal yang baik ini menjadi berantakan karena rasa penasarannya.


FLASH BACK OFF

‘Hah...’ helaan nafas dari mulut Sakura tak digubris oleh Sarada. Sarada ingin segera menyelesaikan urusannya agar ia dapat kembali membaca buku diary itu. Ia tak mau membuang-buang waktu kalau harus meladeni ibunya lagi. Ia memang mengkhawatirkan ibunya, namun ia juga sangat penasaran dengan kelanjutan bukunya.

Selama perjalanan tak ada satupun dari mereka yang membuka mulut hingga mereka tiba di tempat tujuan mereka. Bagasi mobil tempat mobil Sakura disimpan.

Sarada membuka bagasi dan mencari-cari benda yang ibunya beli. Benda yang dibungkus dengan tas kecil itu ternyata terselip di sudut kanan bagasi dan tertutupi oleh Koran dalam bagasi. Sarada mengambil tas itu dan memberikannya pada Sakura.

“Sebetulnya benda ini apa dan untuk siapa sih oka-san?” Tanya Sarada sambil menyerahkan tas kecil itu pada ibunya.

“Kalung kembar untuk teman lama oka-san.” Jawabnya singkat.

Tanpa menanggapi lebih lanjut perkataan ibunya, dia membereskan dan menutup pintu bagasi mobil. Sarada menghela nafas, menumpahkan semua kerisauannya pada hembusan nafasnya. ‘semoga Oka-san melupakan yang tadi!’ doanya dalam hati. Ia kemudian berlalu dan masuk menyusul ibunya, kembali ke dalam rumah. Melihat ibunya yang sudah berbelok di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sarada segera berlari ke arah tangga dan menuju kamarnya.

Sarada kembali ke posisi semula setelah mengunci pintu kamarnya. Jaga-jaga untuk hal yang tak diinginkannya terjadi lagi. Dia kemudian memposisikan tubuhnya agar lebih nyaman untuk melanjutkan bacaannya yang sempat terhenti. Mengambil buku itu di balik bantal dan mulai membacanya dengan menggunakan sebelah tangan, karena sebelahnya lagi digunakan untuk ngemil.

KONOHA, 1 Juni xxxx

Diary!

Tahu tidak, aku diajak dia jalan-jalan loh. Padahal dia belum pernah mengajak seorang gadis jalan-jalan sebelumnya. Dia bilang aku yang pertama diajaknya jalan. Yah walaupun ini karena tugas, tapi aku tetap senang. Aduh… kok aku tambah Pe De yah… hehehe…. Jadi malu. Doakan aku yah diary semoga kami bisa lebih dekta lagi.

Senyum Sarada semakin lebar ketika membaca diary Sakura. Ternyata sifat ibunya tidak berubah dari saat dia gadis sampai sekarang menjadi seorang ibu, dia masih penuh dengan semangat. Walaupun semangatnya yang dulu dengan sekarang beda. Dulu ibunya semangat dalam menggapai cintanya, sedang sekarang semangat dalam memarahinya dan memberinya hukuman.
“hah…” Sarada menghela nafas, “Siapa ayahku sih sebenarnya?” tanyanya pada dirinya sendiri. Membuka kembali halaman berikutnya.

KONOHA, 30 Juni xxxx

Diary gak terasa yah, aku dan dia sekarang sudah jadi sahabat. Kemarin dia memintaku untuk menjadi sahabatnya. Hm… aku pikir dia akan menembakku, pas dia ajak aku jalan-jalan, ternyata dia memintaku untuk jadi sahabatnya. Hehehe… gak apa-apalah, toh banyak orang yang sudah mengalaminya, sahabat jadi cinta.

KONOHA, 1 Maret xxxx

Diary maaf yah aku baru ngabarin lagi setelah tiga tahun yang lalu. Aku terlalu sibuk dengan kuliahku sampai-sampai aku melupakanmu. Maaf yah…!. Oh ya, Aku sekarang kuliah di Universitas Konoha, jurusan kedokteran. Dan kau tak usah khawatir, hubunganku dengan Sasuke baik-baik saja, walaupun kami beda fakultas, tapi kami sering kok sms-an dan juga ketemuan. Yah, tapi hubungan sahabat masih menjadi status kami, aku gak tahu kapan status kami akan berubah, aku masih mengharapkan perubahan itu. Sahabat jadi cinta. Doakan saja aku yah…!

“jadi ayahku bernama Sasuke, tapi marganya apa? Nama Sasuke-kan banyak.”

KONOHA, 15 April xxxx

Diary hari ini aku mengenalkan Sasuke pada sahabat kecilku. Entah kenapa aku merasa bahwa Sasuke sepertinya menyukai sahabatku, itu terbukti dari sorot matanya saat dia memandang sahaabatku itu. Aku belum pernah menerima bahkan melihat sorot mata seperti itu sebelumnya. Sorot mata itu penuh dengan kelembutan dan kekaguman. Diary perasaanku tidak enak, aku takut aku tidak bisa seperti dulu lagi dengannya.

Timbul perasaan aneh, yang entah kenapa membuatnya tak suka. Dia seakan tidak suka ketika orang yang disukai ibunya seakan-akan menyukai sahabatnya orang yang ibunya percayai. Ientah mengapa ia sepertinya merasakan bagaimana perasaan ibunya saat itu. Digenggamnya dengan erat buku harian itu, sambil terus membacanya.

Tok… tok… tok…

Sarada terlonjak kaget ketika mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Lagi-lagi dia terlalu fokus hingga tak sadar jika ada orang yang berjalan menuju kamarnya dan untungnya dia sudah mengunci kamar, jadi kejadian tadi tidak terulang lagi.

“Sarada-chan ayo makan malam dulu!” Ucap ibunya dari balik pintu kamar.

Sarada menutup bukunya, sejenak memejamkan mata menenangkan perasaan tak nyaman sekaligus rasa kekagetannya. Dia lalu menghela nafas dan menyimpan bukunya di tempat yang aman. “Haik oka-san, 5 menit lagi aku akan turun ke bawah. Oka-san duluan saja.” Setelahnya dia membereskan sisa-sisa makanan ngemilnya dan bergegas menuju ruang makan.

.
TBC

a/n : sampai di sini dulu. hehehe... Maaf masih mengenjel alain belum jelas alurnya.

Selanjutnya : Chapter 3
Share:

Wednesday, July 22, 2015

Happy for Ending

Remake dengan judul yang sama.

Pair: Sarada, Sasuke dan Sakura
Rate: T
Genre: Family & General
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
Cici_Mickey
________________________________________

SUMMARY :

Sarada adalah seorang anak yang tumbuh tanpa didampingi oleh sang ayah. Walaupun ia bahagia bersama dengan ibunya, namun ia masih merasa kurang. Kebahagiaan yang ia rasakan tidaklah cukup hanya bersama dengan sang ibu. Sarada ingin merasakannya juga dengan ayahnya. Sarada memiliki rencana untuk menyatukan kembali kedua orang tuanya dalam waktu seminggu. Ia berbohong kepada ibunya agar ia dapat menjalankan rencananya. Akankah semua rencananya berhasil?
.
.
.
.
HAPPY FOR ENDING

~happy reading~
.
.
.
.
.
Kebahagiaan akan terasa saat kita merasakannya bersama. Bersama dengan ayah dan ibu.
::
::
::
::
::
::
::


Chapter 1 : Ayah

Sarada-chan, temani oka-san yah ke mall?!” pinta Sakura pada Sarada yang tengah mencari sesuatu di gudang belakang rumahnya.

Sarada adalah anak tunggal dari Haruno Sakura sejak 15 tahun yang lalu. Dia memiliki rambut berwarna merah maron dengan mata onix kelam yang dihiasi kaca mata ber-frame merah, hidung mancung, kulit putih, dan wajah yang cantik mirip ibunya. Ia adalah anak yang sangat dibanggakan Sakura, bagaimana tidak ia selalu mendapat prestasi di sekolahnya baik akademik maupun non-akademik. Ia juga merupakan idola di sekolahnya, dan walaupun umurnya baru menginjak 15 tahun, tapi saat ini ia sudah menduduki kelas XII di SMA Suna Gakuen dan baru saja menyelesaikan UN. Ia memang mengikuti kelas axelerasi sejak SMP.
Haioka-san.” Jawabnya malas. “Memang oka-san mau beli apa sih?, bukannya kemarin sudah ke mall yah, untuk membeli keperluannya oka-san.” Ucap sarada yang berada di belakang rumah.

“Hehehe…” Sakura nyengir, “Oka-san lupa beli─.. Ah… Sarada-chan antar Oka-san saja!”

“Baiklah. Tapi setelah aku menemukan tongkat baseballku…” Sarada malas berdebat dengan ibunya, lantas melanjutkan pencarian tongkat baseball-nya. Butuh waktu setengah jam untuk menemukan barang itu, karena barang-barang yang terdapat di gudang sangatlah banyak.

Sarada-chan, kau kan seorang gadis, kenapa suka sekali bermain baseball? Itukan olahraga laki-laki, sayang.” ucap Sakura setelah mendengar penuturan putrinya.

Sarada tak menyahut lantas segera beranjak untuk menemui ibunya. Ia tak mau mendengar omelan ibunya karena membuatnya terlalu lama menunggu. Sarada lantas melangkahkan kakinya keluar dari gudang. Akan tetapi, langkahnya terhenti karena telah menginjak sesuatu. Sebuah buku yang sudah tua dan usang. Buku yang belum pernah Sarada lihat. Dilandasi rasa penasaran Sarada lantas mengambilnya dan melihat isi dalam buku itu.

BUKU HARIAN HARUNO SAKURA

Senyum penuh arti terpancar di wajahnya, ‘ini buku harian oka-san. Aku mungkin bisa mengetahui siapa ayahku yang sebenarnya.’ Batinnya.

Sarada-chan!!!” Panggil Sakura.

Sarada cepat-cepat menutup bukunya lantas melanjutkan langkahnya.

“Sudah kau dapatkan apa yang kau cari?” Tanya Sakura ketika melihat sarada yang tengah berjalan ke kamarnya.

Sarada berhenti sejenak, mengangguk lantas memperlihatkan tongkat baseball-nya, tapi tidak dengan buku yang ia dapatkan.

“Kalau begitu mandilah, oka-san tunggu di depan.”

“Hai’.” Sahutnya kembali semakin mempercepat langkahnya menuju kamar.
Sarada memasuki kamar, dan menyimpan buku diary itu di dalam laci meja belajarnya. Setelahnya mengambil handuk dan memasuki kamar mandi. Senyum tersungging terus di bibir merahnya, dia tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat ini. mungkin dengan adanya buku itu dia bisa mengetahui siapa ayah yang hanya ada dalam imajinasinya saja.

Sarada tidak membutuhkan waktu yang lama untuk berbenah diri. toh tubuhya pada dasarnya tidaklah terlalu kotor dan juga ia tidak suka berlama-lama dalam kamar mandi. Lagi pula hari ini adalah awal musim semi, hawa dingin bekas musim dingin kemarin masih terasa.

Sarada memakai pakaian kasual dengan baju kaos putih tanpa lengan dengan gambar ‘The Beatles’ yang dipadukan dengan switer abu-abu dan celana jins hitam panjang, tak lupa sepatu convers black leather snacker-nya yang turut membungkus telapak kakinya. Dia kembali bercermin untuk memastikan penampilannya. Dirasanya sudah sempurna, dia kemudian menghampiri ibunya yang tengah menunggu di bawah.

Oka-san, aku sudah selesai. Kita bisa berangkat sekarang!” Kata Sarada menghampiri ibunya.

“Baik─ astaga Sarada-chan, kenapa pakaianmu seperti itu terus sih? Tak bisakah kau memakai gaun?” Ucap Sakura tampak tak suka melihat penampilan putrinya─ menurutnya putrinya itu tampak seperti laki-laki.

Sarada hanya memutar bola matanya bosan. “Sudahlah, oka-san. Kita berangkat saja. Kita hanya akan banyak membuang waktu dengan sia-sia jika menunggu Oka-san mengomentari penampilanku.” Tukas Sarada pelan sambil berlalu menuju bagasi mobil.

Sakura menghela nafas. Entah kenapa ada rasa penyesalan di benaknya saat ini. Seharusnya dulu ia tak pernah membantah apa yang dikatakan oleh orang tuanya, seharusnya dulu ia menjadi gadis baik yang penurut. Kini anaknya mengikuti jejaknya sewaktu muda, baik sifat pembangkangnya maupun penampilannya.



~*,)(,*~

Oka-san!” Panggil Sarada tapi tak berpaling dari jalanan di depannya.

“Hm.” Sakura menjawab tanpa minat. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini. pandangannya terus telah pada jalanan mobil.

“Boleh aku tanya sesuatu?” Tanya Sarada ragu-ragu. Sedikit melirik ibunya yang tengah mencari ponsel ibunya yang sedari tadi bergetar di dalam tas.

“Tentu saja boleh. Memang apa yang Sarada-chan ingin tanyakan?” Tanya Sakura. Firasatnya tidak enak mendengar anaknya meminta izin untuk bertanya. Biasanya Sarada akan menyuarakan langsung apa yang ada di pikirannya tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu.

“Sebetulnya...” Terdapat jeda dalam kalimatnya. “...Siapa ayahku?” Lanjut Sarada melirik ibunya dari kaca spion.

Sakura menegang mendengar pertanyaan anaknya. Detik berikutnya, ponsel yang dia gemgam terjatuh di lantai mobil. Sakura tercengang. Entah ia tak tahu harus bereaksi apa, saat kalimat itu keluar dari mulut anaknya. Ia terus terdiam. Mata emerald-nya menatap kosong penuh rasa tidak percaya dan keterkejutan. Gambaran-gambaran masa lalu kini berseliweran dalam benak. Sesuatu yang sudah lama ia coba kubur, kini menyeruak akibat pertanyaan anaknya.

Sakura menggigit bibir dalam guna meredakan sesak yang tiba-tiba menyeruak. “Apa ada yang mengganggumu Sarada-chan? Kenapa tiba-tiba menanyakan tou-san, hm?” Tanya Sakura menatap penuh kekhawatiran pada anaknya.

Sarada tahu ibunya sedang mengalihkan pembicaraan mereka, ia ingin menanggapi pertanyaan itu, namun ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Sudah beberapa tahun ia berusaha mengabaikan cibiran orang lain tentang dirinya juga ibunya dan ia berhasil. Namun hati kecilnya tak kuasa lagi menahan rasa sesak sekaligus rasa penasaran akan sosok ayahnya itu yang semakin hari semakin memuncak, “Oka-san, ku mohon jangan alihkan pembicaraan!” Sarada menunduk dalam. Mobil yang dia kendarai sudah di tepikan. Mungkin dia salah menanyakan masalah ini sekarang, di waktu dan tempat yang tidak mendukung tapi dia sudah tak mampu lagi menahannya. Perasaan selama bertahun-tahun yang coba dia kubur, perlahan menyeruak dan ingin segera dibebaskan.

“Aku hanya ingin tahu bagaimana sosok ayah. Selama ini tak pernah sekali pun aku pernah mendengar dan melihat bagaimana sosok ayahku. Saat kecil aku selalu iri pada teman-temanku yang selalu dijemput oleh ayahnya setelah bermain, aku iri pada mereka yang dengan penuh suka cita bercerita tentang sosok ayahnya dan aku sangat iri saat melihat kebersamaan mereka. Aku sudah berusaha menahannya selama ini, tapi aku sudah tidak sanggup. Aku hanya ingin tahu bagaimana dia, bagaimana sosok ayahku, kaa-san.” Tutur Sarada. Matanya berkaca-kaca mengingat semua kenangan-kenangan masa kecil hingga saat ini.

Sakura menatap anaknya iba. Tak pernah ia kira, selama ini ternyata Sarada menyembunyikan kesedihannya. Penyesalan kembali dirasakan Sakura saat melihat setetes cairan bening jatuh dari pelupuk mata indah putrinya, “Maafkan kaa-san sayang. Kaa-san tidak bermaksud menyembunyikan tentang ayahmu, tapi kaa-san hanya menunggu waktu yang tepat untuk memberitahumu,” sekaligus menyiapkan hati menceritakan semuanya lanjut Sakura dalam hati.

Sarada tersenyum tipis mendengar kata ibunya, “Kaa-san aku sudah lama menyiapkan diriku untuk mengetahui semuanya. Apapun itu. Aku tidak peduli walaupun ayah adalah seorang penjahat, aku tak apa. Walau ayah adalah buronan atau seorang tawanan sel. Aku hanya ingin tahu bagaimana sosok ayahku itu.” Jelas Sarada menatap penuh keyakinan ibunya.

“Ayahmu bukanlah seorang penjahat Sarada malahan dia adalah seorang pahlawan namun... Ia sudah meninggal sejak kau masih dalam kandunganku.” Ucap Sakura menatap anaknya dengan menyesal. Dalam hati beribu penyesalan sedang berkecamuk. ‘Maafkan kaa-san sayang, sekarang belum waktunya kau tahu.’ Batin Sakura menyesal.

Sarada tak menjawab. Dia diam dengan perasaan yang berkecamuk. Rasanya sangat perih. Seolah tengah ditimpa berton batuan hingga membuatnya tak kuasa untuk tidak menitikkan setetes air mata. Kenyataan ini terlalu berat untuk anak serapuh dia. Padahal dia sudah menyiapkan hatinya untuk mendengar jawaban dari ibunya, namun kenyataan itu tetap saja terasa menyakitkan.

“Ayahmu adalah seorang tentara, walau terlihat dingin dan nampak tak membutuhkan seseorang, nyatanya dia tetaplah seorang manusia yang membutuhkan perhatian, dia sama sepertimu Sarada-chan. Kau pasti akan mengagumi sosoknya.” Ucap Sakura menerawang, membayangkan wajah seorang pria yang sampai sekarang pun masih menduduki peringkat teratas dalam hatinya. “Seandainya Oka-san punya fotonya. Ah... Maaf yah Sarada-chan, ibu tidak memiliki fotonya.” Lanjutnya seraya menatap lekat anaknya.

Sarada masih bergeming, tak membalas maupun menyahuti perkataan ibunya. Di matanya dia bisa melihat guratan kesedihan yang sangat jelas di mata ibunya. “Dia... Dia meninggal ketika menjalankan misinya. Waktu itu aku hamil 5 bulan dan ayahmu diperintahkan untuk menjadi relawan Negara lain yang sedang berperang. Ayahmu ingin sekali menolaknya, karena khawatir meninggalkan ibu dalam keadaan hamil muda yang pada masa-masa itu, adalah masa ngidamku. Tetapi ia tidak bisa. Hingga setelah dua bulan menunggu, kabar itu tiba. Para relawan kembali termasuk juga ayahmu. Ibu bergegas menuju stasiun, menunggu kedatangan mereka tanpa memedulikan keadaanku yang sedang hamil tua.”

Oka-san mencari-cari ayahmu di antara para tentara yang telah tiba, tapi…” Sakura menghentikan ucapannya. Matanya memanas. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata yang sudah menganak di pelupuk mata.

Setelah beberapa detik. Sakura tak kuasa lagi menahan sesak yang selama ini dia tekan. Dengan derai air mata yang membasahi kedua pipinya, ia melanjutkan cerita. “Tapi yang ibu dapat adalah raga ayahmu tanpa nyawa.”

Tak tahan melihat ibunya bersedih dan menangis, Sarada merengkuh lantas mengelus-elus punggung ibunya yang bergetar berharap ibunya merasa tenang dan tidak lagi bersedih. “Aku minta maaf oka-san! Aku tidak bermaksud mengingatkan Oka-san dengan hal itu. Aku hanya ingin tahu siapa ayahku. Aku tidak akan pernah lagi menanyakan tentang tou-san.” Ungkapnya dengan cemas. ‘tapi aku akan mencari tahunya sendiri, oka-san. Maafkan aku! Aku tahu Oka-san tengah berbohong. Itu semua terlalu terlihat untukku, oka-san.’ lanjutnya dalam hati.

Selama ini Sarada tak pernah menanyakan tentang ayahnya pada ibunya, karena takut hal ini akan terjadi. Dulu, ia pernah tidak sengaja melihat ibunya menangis dalam kamar, ia tahu apa yang membuat ibunya bersedih. Karena dulu setelah ibunya puas menangis yang berakhir dengan tertidur pulas tak henti-hentinya ibunya menyebutkan satu nama yang terdengar samar di telinganya yang ia yakini adalah nama dari ayahnya. Maka dari itu, ia menghilangkan semua niatnya untuk menanyakan siapa ayahnya.

Niat awalnya yang ingin tahu tentang ayahnya, harus dia tahan lagi karena kesedihan ibunya. Ia tak mau membuat ibunya kembali bersedih dan mengeluarkan air mata, dadanya terasa sakit. Maka dari itu, ia akan mencari tahunya sendiri, dan sekelabat memori penemuannya itu hadir membuat dirinya semakin yakin, ia akan segera mengetahuinya dan ia bertekad setelah pulang mengantar ibunya ia akan membacanya.

“Iya, gak apa-apa sayang.” Sakura menghapus air matanya dan tersenyum, senyum yang masih memancarkan kesedihan.

“Apa perjalanannya kita lanjutkan atau kita pulang saja?” Tanya sarada dengan khawatir. Ia merasa mereka tak perlu melanjutkan perjalanan itu, karena menurutnya ibunya tak akan sanggup bila berjalan dengan pikiran yang masih sedih.

“Kita lanjutkan saja, sayang. Ibu sudah tidak apa-apa. Kau jangan terlalu mengkhawatirkan ibu.” Jawab Sakura dengan senyum yang berbeda dengan yang tadi, namun masih terlihat menyembunyikan sesuatu.

“Baiklah!” Dengan tidak rela Sarada pun melanjutkan perjalanan itu.

...
...
...

“Oka-san sebetulnya mau beli apa, sih. Kenapa lama sekali?” Gerutu sarada yang menunggu ibunya di parkiran mall. Sarada tidak masuk ke dalam mall bersama ibunya, dia terlalu malas untuk berjalan, apalagi harus bertemu dengan orang-orang yang berisik di sana. Ia lebih memilih menunggu di dalam mobil yang menurutnya lebih nyaman, karena tak ada suara bising yang dapat mengganggunya. “Hah...” Desah Sarada yang sudah sangat bosan menunggu ibunya. “15 menit lagi, kalau tidak datang, aku akan menyusulnya.” Ucapnya pada dirinya seraya mengamati orang-orang di depan mall.

15 menit kemudian

Sarada membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam mall untuk mencari ibunya. Ia mengambil ponsel di saku celana lantas menghubungi ibunya.

“Moshi-moshi… Oka-san dimana?”

“Aku masih mencari benda yang ibu inginkan, sayang.” Terdengar suara bising di sekitar ibunya saat menjawab panggilan dari Sarada.

Sakura menghela nafas. “Baiklah aku akan menyusul Oka-san ke sana. Aku bosan menuggu di mobil, oka-san.”

“Sebaiknya tidak usah, tunggu Oka-san saja di Japanese Foods saja, kita akan bertemu di sana.”

“Baikalah. Cepatlah oka-san! Aku bosan di perhatikan terus.”

HaikHaik…”

Setelah sambungan terputus Sarada menuruti ibunya dan memasuki sebuah restoran yang menjual berbagai aneka makanan khas jepang. Anak itu kemudian duduk di salah satu bangku paling sudut, dekat dengan kaca transparan, akan tetapi tak terlihat dari luar. Ia menunggu ibunya sambil menopang dagu dan memandangi orang-orang di luar restoran dengan bosan. Minuman yang ia pesan sebelumnya hanya dibiarkan saja di atas meja.

Tiba-tiba matanya menemukan satu objek yang membuatnya tertarik. Dia memfokuskan pandangannya untuk dapat melihat jelas orang itu. walaupun orang itu dikerumuni banyak orang terutama perempuan namun Sarada masih dapat melihat pria itu. entah kenapa, melihat pria itu membuat perasaannya berdesir hangat. Ah... tidak mungkin Sarada jatuh cinta pada pria yang terlihat seumuran dengan ibunya itu. tetapi wajah laki-laki itu memanglah sangat tampan. Mata onix, hidung mancung, kulit putih, rambut raven, dan tatapan matanya seakan menariknya tenggelam dalam gelapnya malam.

Kegiatan memandanginya terus ia lakukan, hingga tanpa sadar seseorang telah duduk di hadapannya.

Sarada-chan, kau sedang memperhatikan apa?” Tanya orang tersebut. Sarada mengalihkan pandangannya dan melihat orang itu. “Kelihatannya menarik sekali, sampai-sampai kau tak sadar ibu sudah disini.” Lanjutnya.

“Ah… Oka-san, aku tadi hanya memperhatikan orang itu.” Sarada menunjukkan orang yang sejak tadi dia perhatikan.

“Yang mana?” Sakura mengikuti arah pandang Sarada.

“Hah… dia sudah pergi.” Jawabnya kecewa. Padahal ia ingin memperlihatkan orang itu pada ibunya karena wajah laki-laki itu yang tampan.

“Memangnya dia siapa?” Sakura penasaran dengan orang yang diperhatikan sedari tadi oleh anaknya. Jarang sekali Sarada memperhatikan seseorang sampai tak menyadari dirinya.

“Aku tidak tau. Wajahnya terlihat tidak asing. Entahlah. padahal aku belum pernah melihatnya.”

Sakura jadi penasaran dengan orang itu, “Apa maksudmu Sarada-chan? Ibu tidak mengerti. Kau bilang tidak pernah berjumpa namun kau merasa tidak asing dengan orang itu.” heran. Tentu saja. Sakura merasa aneh dengan perilaku dari anak semata wayang itu. Ia jadi penasaran dengan orang yang dimaksud anaknya. ingin sekali dia lihat rupa dari orang itu, barangkali dia mengenalnya. Tetapi jauh dari lerung hati yang terdalam perasaan aneh itu hadir. Rasanya sesak namun dia seakan merindukan. Entah bagaimana mendeskripsikannya dengan kata. Sakura juga tak tahu.

“Entahlah, oka-san. Aku juga tidak mengerti. Perasaan ini baru pertama kali ku rasakan.” Jelasnya. “aku merasa kami sudah sangat dekat dan anehnya aku tidak merasa pernah bertemu dengan dia sebelumnya.” Pandangan mata Sarada masih fokus untuk mencari orang itu, barangkali ia dapat menemukan dan memperlihatkannya pada ibunya.

‘Aneh, kenapa aku merasa seperti ini. Kami-sama mudah-mudahan orang yang dilihat anakku bukanlah dia! Aku tak mau lagi bertemu dengan mereka.’ Batin Sakura berdoa.

“Oya Sarada-chan, kau sudah memesan makanan?” Sakura mencoba mengalihkan perhatian anaknya. Ia tak mau Sarada mengingat orang yang menjadi objek perhatian anaknya itu. Entahlah walaupun ia sendiri tidak melihat orang itu, namun ia merasa tidak suka. Bayangan-bayangan beberapa tahun lalu yang telah ia kubur entah kenapa menyeruak keluar. Perasaan takut mulai menghinggapi, hingga tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca. Untungnya Sarada tak menyadari itu karena fokus anaknya bukan pada dia tetapi di luar restoran.

“Belum. Aku menunggu Oka-san tadi.”

Sakura tersenyum, pengalihannya sukses. “Mmm…. Baiklah.”


Sakura mencari-cari waitress. Setelahnya dia memanggilnya. “Pelayan…!” Panggil Sakura dengan menaikkan tangan kanannya.

Pelayan yang dipanggil Sakura datang menghampirinya, “maaf nyonya, ada yang biasa saya bantu? Nyonya mau pesan apa?” Tanya pelayan itu dengan sopan dan memberikan daftar menu yang tersedia.

“Kau mau makan apa Sarada-chan?” Tanya Sakura pada anaknya.

“Ramen saja dengan ekstra tomat, minumannya gak usah.” Jawab Sarada tanpa pikir. Ia masih memikirkan orang yang mirip dengannya itu.

“Saya pesan sashimi dan ramen, minumannya jus jeruk saja.”

Pelayan itu menuliskan pesanan Sakura, “Baiklah, satu sashimi dan ramen dengan minumannya jus jeruk satu.” Sakura mengangguk lantas tersenyum pada pelayan itu. “Baiklah silahkan tunggu 20 menit, pesanan kalian akan segera diantar!?” ucapnya membungkuk sebentar seraya menjauh dari mereka.

Sakura lantas melihat anaknya heran, dari tadi anaknya seperti mencari-cari sesuatu. “Sarada-chan, ada apa? apa kau masih mencari kebedaan orang itu?”

“Tidak ada apa-apa. aku tidak mencarinya kok oka-san. Jangan terlalu khawatir.” jawabnya masih memandangi orang-orang di luar. Berharap bisa melihat orang itu lagi. Yah dia berbohong pada ibunya jika dia tidak sedang mencari-cari orang itu. entah kanapa dia masih penasaran dengan orang yang baru dilihatnya itu.

“Tidak bisaanya kau memikirkan sesuatu. Kalau ada masalah ceritalah pada ibu.” ucap Sakura berharap anaknya bisa menceritakan permasalahannya.

“Tidak ada kok oka-san. Aku baik-baik saja.” Balas Sarada tanpa memandang ibunya. Bertopang dagu dan terus memperhatikan lalu-lalang di luar restoran. Pikirannya berkecamuk, penasaran namun enggan mencari tahu. ‘apa yang ku inginkan sebenarnya?’ pikirnya.

Sakura mendesah melihat kelakuan anaknya yang terlalu kentara menyembunyikan sesuatu. Ia pun membiarkan anaknya seperti itu hingga puas namun dalam hati ia berdoa agar anaknya itu tidak akan melihat orang itu, entah kenapa memikirkan orang itu buat perasaannya jadi tidak enak, tapa juga... rindu. ‘Aneh sekali. Sebenarnya apa yang ku inginkan?’ batin Sakura.

Hingga 20 menit kemudian pesanan mereka tiba, mereka masih tetap diam dan memakannya tanpa bersuara. Sakura makan sambil melihat anaknya yang makan seperti tidak berselera.

Sarada-chan!”

“Hn”

“Kau kenapa? Tidak bisaanya kau seperti ini. Kau ada masalah?”

“Aku baik-baik saja oka-san, jangan khawatir!”

“Hm… baiklah.” Sakura melirik anaknya, lantas mendesah pasrah. ‘bukannya tadi dia yang menenangkanku, kenapa sekarang dia terlihat risau.’ Batin Sakura.


Sarada dan Sakura kemudian beranjak dari mall itu untuk pulang ke rumah. Akan tetapi setelah tiba di parkiran Sakura meninggalkan anaknya dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil duluan.

Sarada-chan, kau masuklah ke dalam mobil duluan, ibu mau ke toilet dulu.”

“Hn”
...
...
...

“Sakura!”

Sakura berhenti, “hah” Sakura bingung dengan suara yang samar-samar didengarnya. ‘siapa? Apa tadi ada yang memanggil namaku?’ pikirnya. Ia pun berjalan lagi.

“Sakura!”

DEG

Sakura memegang dadanya. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak. Dadanya sesak, rasanya seperti perasaan yang dulu telah lama ia tinggalkan.

“Sakura!”

Sekali lagi suara itu terdengar di gendang telinganya dan kali ini terdengar lebih keras, ‘Suara itu, kenapa sangat mirip dengan suaranya. Suara dari laki-laki itu, tidak mungkin. Aku pasti salah dengar. Lagi pula tak hanya dia yang memiliki suara seperti itu.’ Batinnya.

“Sakura! Kau Sakura-kan!?” Panggilnya lagi membuat Sakura secara perlahan berbalik karena penasaran dengan orang yang telah memnggilnya. Kedua matanya sukses membulat sempurna ketika melihat orang itu. “Sasuke.” Lirihnya.

“Ternyata memang benar kau Sakura, aku senang sekali bisa melihatmu disini.” Orang itu berjalan semakin dekat dengan Sakura. Tampak di raut wajahnya, ekspresi bahagia, senang, dan penuh kelegaan. Seperti telah memenangkan sebuah tender yang sudah lama dia kerjakan.

“…” lagi-lagi Sakura tak menggubrisnya. Ia hanya diam dan melihat orang itu berjalan ke arahnya. Tapi itu tak lama, karena semakin orang itu mendekat, maka Sakura pun semakin menjauhinya.

“Apa kau lupa padaku? Aku Sasuke, sahabatmu dulu.” Tanya Sasuke penuh harap. Sasuke semakin mendekati Sakura.

“…” tanpa menjawab, Sakura kemudian berlari menghindari laki-laki itu. Berlari sejauh mungkin dari laki-laki itu. Ia tak peduli dengan orang-orang yang ia tabrak atau kaki yang ia injak. Ia hanya ingin pergi jauh dari sana dan tidak ingin melihat laki-laki itu lagi.

...

Sarada melihat ibunya berlari kearah mobilnya dengan ekspresi campur aduk antara sedih dan ketakutan juga terdapat raut khawatir. Ia kemudian turun dan menghampiri ibunya. Memegang bahu ibunya yang bergetar. Kemudian memeluknya berharap dengan begitu wanita itu dapat tenang.

Oka-san kenapa? Apa yang terjadi? Apa ada yang mengganggu oka-san?” Tanya Sarada dengan nada cemas. Rasanya sakit sekali melihat ibunya seperti itu.

“A..a..aku ba..baik-baik saja.” Jawabnya gugup.

“Apa maksud oka-san baik-baik saja dengan tubuh gemetar kayak gini?”
Sakura tidak memberi jawaban pada Sarada ia hanya memegang kedua lengan anaknya, dan menarik anaknya masuk ke dalam mobil, “ki…kita pulang saja Sarada-chan!”.

Tanpa membuang waktu, Sarada langsung membawa ibunya masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang samping kursi supir sambil menyandarkannya. Sebelum menyetir ia memeriksa keadaan ibunya. Ibunya masih tampak kacau, tak ada lagi sinar kelembutan yang terpancar dari mata ibunya hanya ada kesedihan dan ketakutan. Perasaannya tak enak, ia tak suka melihat ibunya dengan keadaan─ ekspresi sekacau ini. Dia lebih senang melihat ibunya memarahinya atau menghukumnya bila tak menghabiskan sayuran paprika dari pada melihat ekspresi ibunya seperti ini.

“Hah…” Helaan nafas terdengar dari mulut Sarada, ‘ada apa dengan oka-san?’ batin Sarada. Ia tak ingin bertanya langsung kepada ibunya. Ia tak ingin membuat ibunya mengingat masalahnya sewaktu berada di mall dan membuatnya semakin bersedih.

Perjalanan dari mall ke rumah mereka, terasa begitu lama. Tak satupun dari mereka yang memulai percakapan. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sakura terus saja melamun sambil melihat jalanan di sampingnya dan Sarada focus dalam menyetir.
.
.
.

Setibanya mereka di rumah, Sarada membawa ibunya langsung ke kamarnya dan menidurkannya, tetapi sebelum itu ia memberikan minuman kepada ibunya.

Oka-san, minum dulu airnya setelah itu beristirahat, dan masalah yang tadi tidak usah terlalu dipikirkan, walaupun aku sendiri tak tahu masalahnya apa!”

Sakura tak menjawab apapun dan hanya mengambil air minum yang diberikan Sarada padanya. setelahnya membaringkan tubuh dan beristirahat. Ingatannya kembali ke kejadian yang tadi. Orang yang selama ini berusaha dia hindari entah kebetulan dari mana, mereka bertemu di mall. Untung saja dia bergegas lari dan tak menghiraukan panggilan pria itu dan Sakura berharap pria itu tidak melihat Sarada ketika menghampirinya. Entah apa yang akan dipikirkan oleh laki-laki itu jika melihat Sarada. Mereka sudah tak berkomunikasi selama lebih 15 tahun dan ketika bertemu tahu-tahu Sakura telah memiliki seorang anak yang memiliki sedikit rupa sepertinya. Dia tak mau itu terjadi. Sebisa mungkin dia akan menghindari pria itu. Semoga saja itu adalah pertemuan terakhir mereka.

Tanpa dia sadari hari inilah dimulai takdirnya dengan anaknya. Pertemuan yang ia anggap kebetulan telah ditakdirkan untuknya oleh Kami-sama. Pertemuan yang akan membawa perubahan pada mereka.

Setelah yakin bahwa ibunya sudah baik, ia turun dan mengambil barang-barang belanjaan ibunya dari bagasi mobil dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sarada kemudian mengambil cemilan dan minuman dingin sebelum memasuki kamarnya untuk melanjutkan membaca buku harian yang tadi dia temukan. memasuki kamarnya lantas mengambil posisi yang nyaman untuk membaca, duduk di atas ranjang sambil bersandar di sandaran ranjang dengan bantal sebagai lapisannya. Dibukanya buku harian itu dan mulai membacanya.

KONOHA 23 April xxxx


Dear diary



Dia adalah lelaki yang sering kulihat sendiri di bangkunya sambil membaca novel yang biasa dia bawa. Dia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah yang pernah ku lihat. Memiliki wajah yang tampan bak seorang pangeran dalam cerita fiksi yang biasa ku baca. hidung mancung, mata onix kelamnya yang seakan menyerapku ke dalamnya ketika menatap mata itu, rambut biru tuanya yang mencuat ke atas membingkai wajahnya yang kata orang adalah emo style, tapi menurutku model itu lebih mirip dengan pantat ayam. Hehehe... Setiap ada gadis yang mendekatinya langsung diberikan tatapan dingin dan seolah mengatakan ‘pergi kau!’. Itulah sebabnya sampai sekarang aku tak pernah mau mendekatinya. Diary apa yang harus aku lakukan?


Sarada terus membaca buku itu. Entah mengapa dia memiliki firasat bahwa dengan membaca buku itu, dia dapat mengetahui siapa ayahnya. Jujur saja ketika melihat teman-temannya bersama keluarganya yang lengkap ia selalu merasa iri dan juga sedih. Ia ingin sekali ayahnya berada di rumahnya sekarang. Mendengarkan semua keluh kesahnya. Walaupun ibunya juga sering mendengarkannya tapi rasanya sangat beda. Pemikiran laki-laki itu sangat berbeda dengan perempuan, dia ingin sekali mendengarkan solusi yang keluar dari mulut ayahnya.

Selama ini ia belum pernah melihat bagaimana bentuk wajah ayahnya, walaupun dalam bentuk fotonya. Ibunya tak pernah memperlihatkan foto ayahnya, karena semua yang berhubungan dengan ayahnya dibuang atau mungkin telah dibakar oleh ibunya, karena tidak ingin terus mengingat-ingat ayahnya, terlalu sedih untuk ibunya jika mengenang kenangannya bersama ayahnya itu kata ibunya dulu.

Tadi dia memberanikan dirinya bertanya tentang sosok sang ayah pada ibunya, tapi bukan jawaban yang dia dapatkan keluar dari bibir ibunya, melainkan kesedihan yang ia lihat. Sebetulnya dia tahu bahwa tadi ibunya sedang berbohong mengenai cerita tentang ayahnya, namun kesedihan yang tergambar di wajah ibunya adalah asli. Entahlah, kenapa ibunya tadi menunjukkan ekspresi seperti itu. Mungkin ada sesatu yang tidak ingin aku ketahui tentang ayahnya.

Pernah ibunya memberitahunya tentang sifat-sifat ayahnya, juga tentang wajahnya. Akan tetapi, semua itu terjadi secara tidak sengaja (reflex). Ibunya berkata dengan lirih bahwa dia sangat mirip dengan ayahnya.

Ia mengambil beberapa keripik kemudian mengunyahnya sambil membuka lembaran pada buku itu.

KONOHA, 15 Mei xxxx

Diary, hari ini aku senang sekali… Akhirnya aku bisa bicara dengan orang yang kusukai. Hahaha… Terima kasih pada Orochiamru-sensei yang membuatku sekelompok dengannya. Dia juga tidak memberikanku tatapan dinginnya seperti gadis-gadis sebelumnya. Mungkin karena dia tahu aku bukan salah satu dari fans girlnya dan tidak pernah melihatku mendekatinya. Hahaha… Apakah ini adalah tandanya. Kya… aku Pe De sekali.

Sarada tersenyum membaca halaman itu, ternyata dulu ibunya sama seperti remaja-remaja ababil lainnya, jika sedang menyukai seseorang. Sarada kemudian membuka halaman selanjutnya.

Krieeeet…!!!


.
.
.
.

TBC

a/n : ini adalah fict hasil remake dengan judul yang sama.
kalau ada yang ingin di sampaikan silahkan isi paa kolom review :-)
Selanjutnya...........  Chapter 2
Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com