Fly with your imajination

Sunday, June 26, 2022

NOT PERFECT#16

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA



"Lo salah Yog. Ini semua bukan kesalahan Jelita. Jelita tulus sama lo."
 
Yoga mendengkus lalu tersenyum, "Ketulusan tidak akan membuat orang lain menderita."

"Gue tahu. Tapi, lo salah paham."

"Kalau salah paham, kalian berdua tidak akan bersama sekarang. Undangan dan acara itu tidak akan pernah ada dan Ameera Tifany Erlangga tidak akan lahir." kata Yoga dengan suara dinginnya.

Leon mengepalkan tangannya, ia menatap Yoga dengan penuh amarah. Matanya tampak berapi, urat-urat di leher dan pelipisnya terbentuk, terlihat sekali kalau ia ingin menghajar Yoga sekarang. Untungnya, logikanya masih berfungsi dengan baik. Menghajar Yoga hanya akan mempersulit keadaan. Dan, bukannya permasalahan mereka selesai yang ada justru bertambah. Lagipula, ada Jelita di sebelahnya. Menghajar Yoga hanya akan membuat Jelita lebih bersedih.

"Mas..." Jelita menggeleng dengan mata berkabut, memberikan kode agar Leon bisa lebih bersabar. Sebenarnya, dibanding marah Jelita justru sangat sedih mendengar perkataan terakhir Yoga. Laki-laki yang dulunya ia kenal sangat lembut kini melontarkan kata-kata kasar yang mampu mengiris hati orang lain.

Di antara mereka bertiga Yoga memang yang merupakan korban keegoisan mereka. Meski, keadaan yang sebenarnya Jelita juga merupakan korban. Tetapi, salahnya juga karena Jelita tidak berani mengungkapkan kebenaran pada Yoga. Ia terus menunda karena takut menyakiti hati Yoga, sementara waktu tidak bisa dihentikan. Perutnya sudah semakin membesar dan desakan orang tua membuatnya tertekan. Pada akhirnya, ia pun turut menyumbang perih pada Yoga.

Leon menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Elusan Jelita di tangannya berhasil membuat Leon tetap mempertahankan kesabaran. Di sini, Leon adalah orang yang paling salah, dan ia sadar. Kata-kata Yoga barusan pun harusnya dapat ia mengerti. Itu adalah bentuk kemarahan Yoga karena Leon sudah merebut secara paksa orang yang dicintai laki-laki itu.

"Gue nggak akan maksa lo buat percaya apa yang akan gue sampaikan. Gue juga nggak maksa lo buat maafin kita berdua, khususnya gue. Tapi, tolong hapus Ameera dalam kemarahan lo, karena anak gue nggak salah apa-apa. Amera cuma lahir dari orang yang lo benci. Lo cukup benci gue saja."

Yoga tahu itu dan ia benar-benar menyesal. Kebencian sudah membutakan perasaannya hingga ia secara tidak sadar mengucapkan kata-kata yang bahkan dirinya pun tak suka. Yoga tahu betul bagaimana rasanya saat seseorang menyayangkan kehadirannya. Meski, Ameera masih sangat kecil untuk mengerti, tetapi tetap saja, tidak seharusnya Yoga menyangkal sebuah takdir.

Yoga menatap kedua pasangan suami istri di hadapannya. Niat hati ingin meminta maaf dan menarik kata-kata terakhirnya, tetapi mengingat kembali masa lalu dan permasalahan di antara mereka bertiga, bibirnya terasa berat untuk membuka. Laki-laki itu hanya mematung, menatap datar pada Leon dan Jelita yang tengah menunduk dengan bahu bergetar di hadapannya.

Yoga ingat, dulu ketika ia masih bersama Jelita, Yoga tak bisa melihat perempuan itu bersedih bahkan menangis. Namun sekarang, ia tak lagi peduli. Perempuan itulah yang menyebabkan dirinya berakhir seperti sekarang. Penghianatan dan rasa sakit yang Jelita berikan pada Yoga bahkan lebih menyakitkan daripada rasa sesal yang perempuan itu rasakan. Dan lagi, memang apa yang mereka harapkan dari Yoga setelah mendengar pengakuan mereka? Maaf? Atau melupakan perbuatan mereka dan menganggap seolah masa lalu itu hanya mimpi buruk? Yoga benar-benar tak habis pikir.

Tidak bisakah mereka hanya membiarkan dirinya saja? Anggap Yoga bukan bagian dari mereka, seperti keluarganya yang lain. Mengabaikan lebih baik daripada harus berhadapan dengan mereka yang akan membuka luka lamanya. Yoga benar-benar berharap hujan segera berhenti dan Nayla cepat keluar dari persembunyiannya lalu menjauh dari pasangan di hadapannya itu.

"Yog ..." Yoga mendengus dalam hati, malam ini sampai hujan reda ia harus bersabar dan mendengarkan ocehan pasangan itu.

Di sisi lain, Leon mengeraskan rahangnya saat respon Yoga terlihat tanpa minat. Ia memang pria bajingan yang sudah merusak hubungan istri dan sepupunya itu,dan meskipun Leon merasa sangat bersalah, ia tak punya cukup kesabaran menghadapi sikap abai Yoga. "Please."

"Apa yang kalian harapkan dari saya?" Yoga memotong ucapan Leon dengan nada datar. Tidak ada emosi di kata-katanya dan membuat Leon dan Jelita kembali tertegun.

Leon mengepalkan tangannya ketika tangis lirih dari istrinya mulai terdengar di telinganya. Ia memang marah, terlebih ketika istrinya tengah berusaha tegar menghadapi kebencian Yoga di sampingnya, tetapi ia juga tak bisa menampik rasa penyesalan di dadanya yang kini membuncah. Seandainya dulu ia bisa menilai mana kawan dan musuh, Leon pasi tak akan pernah merasakan perasaan sakit seperti sekarang ini. Andai dulu ia tak mementingkan ego dan mendengarkan nasihat ibunya, ia tak mungkin menjadi dalang kemalangan orang lain.

Hari ini, semua harus selesai. Leon tidak mau lagi tersiksa karena penyesalan. Tuhan sudah berbaik hati padanya dengan memberikan kesempatan agar mereka bertiga bisa bertemu di satu ruangan tanpa interupsi orang lain. Leon juga yakin teman Yoga yang tengah bersembunyi pasti mengerti dan tidak akan keluar sampai permasalahan mereka selesai.

Leon kembali menatap Yoga yang atensinya sudah berada padanya. "Gue hanya ingin lo dengar apa yang sudah terjadi dan setelah itu terserah lo. Gue nggak akan maksa lo untuk memaafkan atau melupakan apa yang sudah terjadi."

Yoga kembali diam, menyandarkan punggungnya ke sofa sembari menunggu Leon melanjutkan kata-katanya. Yoga benar-benar berusaha menyamankan dirinya. 

"Malam itu," Leon menarik napas. Genggaman tangan Jelita semakin erat di tangannya. Ia kemudian mengelus tangan Jelita untuk memberitahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Malam itu, gue nggak sadar." Leon sengaja menjeda ucapannya demi melihat reaksi Yoga. Namun, lagi-lagi reaksi Yoga tetap sama. Laki-laki itu tetap mempertahankan kediamannya.

"Ada orang yang memasukkan obat di dalam minuman gue. Dan setelah sadar, Jelita sudah ada di samping gue ... menangis."

Entah karena hujan di luar masih terus mengguyur atau karena guntur dan kilat yang saling bersahutan, suasana di ruangan itu semakin berat. Yoga masih tampak diam di tempatnya, memperhatikan keintiman pasangan di hadapannya itu. Ia tidak terlalu mempercayai kata-kata Leon, terlebih melihat interaksi yang mereka lakukan.

Bohong, kalau Yoga tidak merasa sakit hati melihat mereka. Apalagi kalau mengingat perjuangan yang ia lakukan dulu untuk Jelita. Sayangnya, perempuan itu justru berhianat bahkan dengan seseorang yang bisa dikatakan keluarganya.

"Jelita juga korban ...." Yoga berpaling pada Leon yang menatapnya dengan sorot sendu. Ia belum membuka suara dan lagi-lagi hanya menunggu kelanjutan cerita Leon.

Leon memejamkan mata, menguatkan diri dan menahan semua gejolak di dadanya. Menjelaskan semuanya pada Yoga sama saja membuka kembali luka mereka yang sudah mulai pulih. Terlebih pada Jelita. Ia tidak tahu apa saja yang sudah ia lakukan pada istrinya, namun Leon yakin perbuatannya itu pastilah meninggalkan trauma. 

"Sama seperti Lo." Leon berhenti sejenak untuk menarik napas serta menguatkan hatinya. Ia melirik Jelita di sebelahnya yang masih menunduk sambil tersedu. "Gue lah satu-satunya yang harusnya lo salahin." sambungnya. 

Untuk beberapa detik Yoga tertegun mendengar penjelasan Leon sebelum rasa sakit hatinya kembali mendominasi. Tetapi, ia tetap bungkam. Karena jika Yoga bereaksi, maka lukanya yang perlahan mulai sembuh akan terbuka kembali.

  "Lo nggak tahu kan kenapa Jelita memilih gue?"

Yoga mengepalkan tangannya, berusaha keras untuk mempertahankan ketenangannya saat tahu kemara arah cerita Leon akan berlabuh. Semua gambaran masa lalu perlahan muncul satu per satu di kepala lalu membentuk satu cerita yang membuat dada Yoga terasa terbakar. Bukan hanya marah, melainkan juga rasa sesal. Yoga kembali menatap Jelita yang masih menunduk dengan bahu bergetar dan suara tangisannya yang lirih.

"Apa maksud kamu?"

"Persis seperti yang sudah lo sadari." Leon meringis ketika bayangan kebejatan dirinya di masa lalu hadir dan memenuhi isi kepala. "Gue memperkosa Jelita." Suara Leon memelan seolah ada karang yang menyumbat tenggorokannya. Ia menunduk, menyesal. Tangannya yang berada di bahu Jelita terkulai. "Dan, harusnya lo nyalahin gue bukan Jelita."
 
Tangan Yoga terkepal, rasa marah perlahan membakar dadanya hingga urat-urat di leher dan pelipis menyembul keluar. Tetapi, ia berusaha sekuat tenaga meredam emosinya. Kemudian tertawa. Tawa yang dipenuhi oleh emosi. Laki-laki itu kemudian menggeleng. "Ini yang kamu sebut penjelasan?"

"Itulah kenyataannya." Leon menarik napas. Pandangannya kembali terarah pada Yoga. Sorot matanya tegas menyiratkan tak ada kebohongan di dalam kata-katanya itu.

Sementara Jelita di samping Leon, masih terisak. Angan Leon kembali membawa dirinya di malam menyedihkan di mana menjadi titik awal dari semua masalah dan kesedihan mereka.
 
"Malam itu, gue dijebak sama orang. Gue tidak tahu dia siapa. Apa teman atau perempuan malam di club yang selalu gue tolak. Ada yang masukkan obat di minuman gue dan Jelita yang kebetulan lihat gue kesusahan, menolong gue. Sayangnya, gue bukannya berterimakasih, gue justru membuat dia menderita."

Yoga menarik napas, berusaha agar emosinya tidak keluar dan tetap mempertahankan kewarasannya.

"Jangan mengarang!"
 
"Tapi itulah kenyataannya."

Yoga berpaling pada Jelita yang masih terisak di samping Leon, mencari tahu kebohongan pada perkataan Leon, tetapi perempuan itu tak bereaksi apa-apa selain menunduk dan terus menangis. 

"Kalau memang begitu, kenapa kalian nggak jelaskan ke gue! Kalau Jelita memang menganggap gue penting, kenapa dia tidak ngomong apa-apa? Kenapa?" 

Leon menggeleng, "Apa lo pernah mau menatap kami selama tiga detik? Bahkan di acara bulanan pun lo langsung kabur setelah makan keluarga. Jadi, bagaimana kita bisa jelaskan?" 

Yoga memejamkan mata, Ia akui itu memang kesalahannya karena selalu menghindari mereka. Tetapi, mau bagaimana lagi, rasa sakitnya masih tersisa banyak. Yoga tak mau jika nantinya ia lepas kendali saat melihat kemesraan mereka ketika dirinya masih begitu terpuruk sepeninggal Jelita. 

Namun, bukankah ada banyak kesempatan mereka bisa menjelaskan? Mereka tidak mungkin nikah sehari setelah insiden itu, bukan? 

Yoga menggeleng, sorot matanya masih menunjukkan kemarahan. "Andai, kalian punya sedikit saja ... sedikit rasa bersalah kalian akan menjelaskannya. Bahkan setelah kalian tahu kalau gue tahu kalian akan menikah, kalian tidak sedikit pun berniat menjelaskan. Dan, sekarang kalian mau menyalahkan gue?"
 
"Bukan begitu, Yog ...." 

Yoga mengangkat tangan menyuruh Leon berhenti berbicara. Ia sudah tak mau mendengar penjelasan apa-apa dari mereka, karena semua kata-kata Leon hanya berisi omong kosong. Intinya, baik Jelita maupun Leon tidak ingin disalahkan atas kesalahan yang sudah mereka lakukan. 

"Gak usah ngomong apa-apa lagi." 

"Ta, tapi ...."

"Nay, hujan sudah berhenti kita bisa pulang sekarang." kata Yoga dengan suara lantang. Yoga tahu sedari tadi Nayla bersembunyi di balik dinding karena enggan keluar. Meski, Yoga baru mengenal Nayla, Yoga tahu bagaimana sifat gadis itu. Nayla pastinya bukan bermaksud menguping, hanya saja ia mengerti keadaan mereka bertiga tadi makanya tidak bisa keluar. 

Nayla agak terperanjat dengan kata-kata Yoga. Gadis itu pikir kalau dirinya tidak dilihat oleh Yoga makanya ia tetap sembunyi di belakang tembok. Niatnya, kalau urusan mereka sudah benar-benar selesai barulah ia keluar. Nyatanya, Yoga sudah tahu keberadaannya. 

Nayla kemudian bergerak dengan sedikit malu-malu menuju tiga orang yang Nayla yakin belum menyelesaikan masalah mereka. Ia meringis ketika menatap wajah Yoga. Kemarahan jelas terlihat di wajah laki-laki itu, tetapi Nayla memilih bungkam dan ikut bergerak keluar setelah berpamitan dengan tuan rumah. 

"Kami permisi dulu, Mbak dan Mas. Terima kasih." 

.....           
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com