Hai... Minna, miki balik lagi nih dengan fict baru.
selamat dinikmati. ^,^
*
Habis di edit.*
Pair: Naruto & Hinata
Rate: T
DISCLAIMER : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU,OOC, typo, alur Ga⎯Je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Real of Princess © Mickey_Miki
Summary :
Hal pertama yang orang-orang fikirkan ketika pertama kali melihatku, mungkin adl anggun dan lemah-lembut, terutama pada rakyatku. Tapi di mata ayahku, aku adalah seorang putri yang tidak bisa diandalkan berbeda dengan kakak dan adikku yg selalu membanggakan mereka. Namun ada satu hal yang mereka tidak ketahui tentangku. satu rahasia yg akan mengubah pandangan mereka padaku. 3 SHOOT
.
.
Real Of The Princess
.
.
.
Hal pertama yang orang-orang fikirkan ketika pertama kali melihatku, mungkin adalah anggun dan lemah-lembut, terutama pada rakyatku. Yah. Itu memang benar, karena sedari kecil aku sudah dilatih seperti itu. semua sikap yang harus kutunjukkan haruslah sesuai dengan aturan dan tata krama yang tertera di buku kebijaksanaan istana. Sangat membosankan bukan? Kau tidak bisa bertindak seenaknya dan kau harus selalu tampak sempurna di mata semua orang.
Tapi di mata ayahku, aku adalah seorang putri yang tidak bisa diandalkan berbeda dengan kakak dan adikku. Mereka memiliki banyak kelebihan yang selalu ayah banggakan. Di matanya mereka adalah sosok yang sempurna.
Kakak adalah seorang putra mahkota, calon raja─ pengganti ayahku kelak─ sekaligus seorang yang memimpin para jendral yang kemampuannya telah diakui dan sangat disegani bahkan dengan beberapa kerajaan lain─ sedangkan adikku dengan kemampuan diplomasinya banyak mendatangkan keuntungan bagi kerajaan, karena dirinya banyak kerajaan yang mau melakukan hubungan timbal balik dengan kerajaan kami.
Sementara aku hanya bisa diam dan mengikuti aturan kerajaan yang sangat membosankan tanpa bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa melihat apa yang mereka lakukan tanpa bisa membantu. Aku iri. Tentu saja. Bahkan sangat iri pada mereka. Aku juga ingin membantu, tapi ayah tak pernah mengijinkanku. Ayah menganggap karena sifatku yang lembut, aku akan sangat sulit memutuskan sesuatu dengan bijak bahkan kemungkinan akan memutuskan sesuatu yang salah dan menyebabkan banyak masalah. Memang bagaimana dia tahu, sedangkan dia tak pernah mempercayaiku untuk menangani sesuatu?
Aku merupakan putri dari kerajaan Hyuga dengan penampilan dan sifat yang hampir menyerupai ibuku, anggun dan lemah-lembut. Namun ada sesuatu yang tidak mereka ketahui tentangku. Tidak ada yang tahu di balik sifatku itu aku bahkan mampu mengalahkan hampir seratus prajurit kerajaan jika berada dalam suatu arena─ bertarung, kecuali guruku. Orang yang selama ini mengajarkanku ilmu pedang dan bela diri.
Selama ini aku selalu keluar istana dengan sembunyi-sembunyi tepat saat matahari telah kembali terbenam di ufuk barat, ketika seluruh rakyat termaksud Raja─ayahku beranjak menuju dunia mimpinya. Aku selalu keluar menuju hutan terlarang dan berlatih di sana bersama guruku yang selalu setia mengajarkanku tentang teknik-teknik beladiri.
Guruku adalah mantan jendral perang kerajaanku dulu. Dengan kemampuan serta taktik perangnya tak ada yang pernah mengalahkannya. Dia adalah seorang legenda yang keberaniannya telah dituliskan dalam buku sejarah padahal dia masih hidup.
Guruku merupakan orang terdekat ayahku. Orang yang sangat dipercaya oleh ayahku. Semua rahasia kerajaan termaksud rahasia pribadinya diketahui oleh guruku. Hebat bukan?
Setiap malam guruku selalu melatihku keras. Tidak peduli dengan diriku yang seorang putri bangsawan. Anak dari sahabatnya. Dia melatihku layaknya esok adalah hari terakhir untuk perang.
Tidak jarang, ketika pulang ke rumah, banyak luka dan lebam yang menghiasi tubuhku. Yang tentu saja tidak akan bisa dilihat. Berkat ajaran tata rias mendiang sang Ratu─ibuku aku bisa menyamarkannya dengan riasan. Aku akan kembali menjadi putri yang patuh dan lemah lembut jika sang surya telah kembali menerangi bagian tempatku berpijak.
...
~>0<~
.
Pagi menjelang dan mengharuskan aku untuk segera membuka kedua mataku. Aku tidak boleh menjadi seorang pemalas karena aku merupakan seorang panutan bagi rakyatku─walau pun mereka tidak mungkin ada melihatku di pagi buta seperti ini.
Kurentangkan tanganku kuat-kuat guna meregangkan otot-ototku yang kaku. Walau badanku masih sakit semua akibat latihan semalam, aku tetap tidak boleh menampakkannya. Memang latihan semalam lebih berat dibanding dengan latihan sebelum-sebelumnya.
Bayangkan saja, walau pun aku seorang gadis, guruku tak tanggung memberiku lawan tarung seekor binatang buas yang berada di hutan itu. Beruang yang bahkan ukurannya lebih besar tiga kali lipat dari beruang normal lainnya dan lagi tanpa senjata yang bisa kugunakan.
Guru memang kejam. Tidak tanggung-tanggung memberikan pelatihan bagi muridnya. Atau mungkin hanya aku saja yang diperlakukan begitu.
Tiap kali melihatnya melatih para prajurit kerajaan, tak sekali pun ku lihat dia menggunakan binatang untuk melatih mereka.
Aku jadi sedikit iri pada mereka. Bukan hanya cara pelatihannya, tetapi karena mereka latihan secara berkelompok dan aku hanya ditemani oleh bayangan malam dengan sinar bulan yang setia menerangiku, juga binatang-binatang buas yang berada di hutan terlarang. Bisakah aku menyebutnya tidak adil? Tentu saja tidak. Karena aku adalah seorang putri dan aku selalu diperlakukan berbeda.
“Hah” aku menghela nafas sejenak ku lirik seorang dayang yang sudah berada di depanku. Aku yakin dia sudah menungguku sejak beberapa menit yang lalu.
“Ohime-sama air hangatnya sudah siap.” Ucap dayang itu sopan sambil menundukkan kepalanya. Aku heran kepada dayang itu. Sudah berulang kali aku mengatakan agar tidak perlu berlaku formal bila hanya berdua denganku, tetapi tak pernah dia hiraukan dan masih memanggilku dengan sebutan itu.
“Baiklah. Arigato Tenten-san. Kau boleh keluar.” Ucapku lembut dengan senyuman yang biasa ku tebarkan. Dia membungkuk lagi lalu keluar dan menutup pintu kamarku.
Selimut yang kugunakan segera ku sibakkan lantas berjalan ke arah cermin sebelum memasuki kamar mandi.
Tubuhku penuh dengan luka-luka kecil dan lebam. Terutama di bagian kaki dan tangan. Untung saja Tenten─ dayangku─ itu tidak melihatnya. Aku tidak bisa membayangkan reaksinya bila melihat ini.
Segera ku langkahkan kakiku masuk kamar mandi, melepas semua yang melekat di tubuhku. Sejenak ku hentikan langkahku tepat di depan cermin besar lantas melirik tubuhku. Banyak bekas-bekas luka akibat latihan semalam yang terpeta di punggung, dada dan kaki-kakiku. Semoga saja luka-luka ini bisa segera hilang. Aku tidak ingin ada orang lain yang melihat bekas ini apalagi ayahku. Entah hukuman apa yang akan diberikan padaku terlebih pada guruku. Mengingatnya saja buatku merinding.
Aku segera menuju efuro yang sudah disediakan Tenten lantas mencelupkan diriku dan menikmati sensasi yang ditimbulkannya. Aroma lavender─ aroma kesukaanku─ menguar dari bak air itu. Aroma yang selalu menenangkan diriku. Tubuhku menjadi jauh lebih rileks. Walau pun sedikit meringis kala luka-luka di tubuhku merasakan air mandi ini.
Aku sengaja menyuruh para dayangku menunggu di luar kamar dan mengerjakan hal lain selain menungguku. Tentu saja karena aku tidak ingin mereka melihat seluruh tubuhku yang dipenuhi luka-luka. Bisa gawat jika kondisi tubuhku sampai ke telinga Ayah─ walau itu menyimpang dari aturan kerajaan yang mengharuskan para dayang untuk selalu melayaniku termaksud mandi dan memakai pakaian.
Setelah selesai dengan ritual mandiku, segera ku langkahkan kakiku menuju kamar tempat baju yang sudah disediakan oleh para dayangku. Merias tubuh dan menyamarkan memar di wajah serta bagian tubuhku yang tidak tertutupi oleh gaun kebangsawananku. Aku bersyukur, semua gaunku tidak ada yang mengekspos bagian belakang tubuh, seperti pakaian-pakaian yang sering digunakan oleh Hanabi─adik perempuanku.
Aku melangkah menuju ruang makan tempat biasa keluargaku makan. Di sana sudah ada Neji-nii dan Hanabi-chan yang sudah duduk menunggu kedatangan Raja. Seperti biasa merekalah yang selalu berada di sana terlebih dahulu.
“Ohayo, oni-sama, Hanabi-chan!” Sapaku pada kakak dan Hanabi.
“Hn..” Seperti biasa, kakakku yang satu itu hanya membalas sapaanku dengan sangat singkat dan tidak jelas.
“Ohayo one-sama.” Jawab Hanabi.
Ayah datang dan duduk di kursinya kemudian acara sarapan pagi pun dimulai. Seperti biasa acara sarapan pagi keluarga kelajaan hanya diselingi keheningan. Dalam tata krama, dilarang keras mengeluarkan suara pada saat makan.
.
.
.
Hari ini seperti biasa. Hanya diselingi oleh kegiatan-kegiatan yang menyebalkan dan wajib kulakukan. Aku ingin malam cepat tiba, agar aku bisa latihan. Aku bosan jika harus melakukan kegiatan yang terlalu lembut seperti ini. menyulam, belajar tata krama, hukum kerajaan, pajak, dan hal-hal lain yang sangat membosankan. Lagipula buat apa aku melakukan ini semua toh ayah sepertinya tidak membutuhkanku di istana ini.
Salahkah aku jika menginginkan sesuatu yang luar biasa terjadi? Mungkin seperti perang. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Sudah ada peraturan tentang pengendalian perang antar kerajaan, jadi tidak mungkin sesuatu yang seperti di khayalanku itu terjadi.
“Ohime-sama. Anda dipanggil oleh Baginda Raja.” Ucap seorang prajurit penjaga yang memang biasanya diutus untuk menyampaikan pesan untukku.
“Baiklah. Aku akan segera ke sana. Arigato, ne?” balasku dengan senyum dan membuat pengawal itu bersemu merah.
Mungkin senyumku sangat manis, sampai-sampai pengawal itu bersemu. Banggaku dalam hati.
.
~>0<~
.
“Baginda!” Aku menunduk hormat kemudian mendongak menatap ayah di singgasananya. “Apa ada masalah, hingga baginda memanggilku?” Lanjutku bertanya lembut.
“Minggu depan calon suamimu akan berkunjung ke kerajaan ini, jadi persiapkan dirimu baik-baik! Dan jangan membuat semuanya berantakan.” Ucap ayahku memandangiku lekat-lekat untuk memastikan ucapannya sungguh-sungguh.
“
Haik.” jawabku.
Inilah yang paling aku benci menjadi seorang putri kerajaan. Selalu diatur-atur dan harus mengikuti semua peraturan termaksud dengan calon suamiku. Pernikahan antar keluarga kerajaan. Dalilnya untuk kemakmuran rakyat padahal menyimpan maksud terselubung di dalamnya. Aku tahu mungkin hanya ini yang bisa kulakukan. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membuatnya sedikit senang dengan keberadaanku.
Aku tidak tahu siapa dan seperti apa calon suamiku itu. Yang jelas dia adalah seorang pangeran. Walau mungkin bentuk tubuh dan wajahnya tidak sesuai dengan keinginanku, aku tetap harus menikahinya. Ah... Aku benci peraturan itu. Tidak bisakah aku menikahi pria pilihanku sendiri?
Tidak terasa langkahku membawaku ke dalam ruangan pribadiku. Ruangan yang menjadi saksi bisu semua kegiatan yang telah ku lakukan tiap malamnya.
Aku duduk di tepi ranjang, mendekap tubuhku. Mengingat-ingat semua kenangan dari masa kecil hingga sekarang.
Padahal dulu ayah sangat menyangi kami. Beliau adalah pribadi yang hangat dan selalu bercanda dengan kami─ anak-anaknya. Walau di depan bawahannya selalu dingin dan tegas, tetapi tidak jika sudah di hadapan kami. Dia selalu memberikan senyum kepada kami. Selalu menyempatkan diri bermain dan selalu melihat perkembangan kami.
Tetapi semuanya sudah berubah. Seolah masa lalu adalah sebuah mimpi yang tidak mungkin terjadi. Sosoknya yang dulu telah hilang. Sekarang dia tidak pernah lagi menampakkan sisi hangatnya. Dia dingin tak tersentuh.
Hanya Ratu yang bisa mengubahnya. Membuatnya kembali menjadi pribadi yang hangat dan lembut di depan kami. Tetapi sayang itu semua tak akan pernah terjadi. Sosok hangat ayah telah hilang bersamaan ketika Oka-sama dipanggil oleh Kami-sama.
*~> Hinata POV END <~*
Seperti biasa Hinata akan melakukan latihan ketika matahari telah beranjak untuk menyinari bagian belahan bumi yang lain. Kaki-kaki mungilnya melangkah dengan langkah yang sangat ringan, pelan, lembut, dan hampir tak terdeteksi. Dia melangkah seakan sedang berjalan di atas udara, benar-benar sudah terlatih.
Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru ruangan. Walau kebanyakan pencahayaan ruangan kerajaan tersebut temaram, namun Hinata dapat melihat dengan jelas.
Di depannya kini berjalan dua penjaga dengan tombak lancip yang mereka bawa. Tubuh tegap nan besar, mungkin bila dia masihlah seorang Hyuga Hinata yang lembut dan lemah, dia akan merasa takut, mungkin juga dia akan menangis karena terlalu takut.
Hinata kemudian bersembunyi di balik bayangan gelap pada dinding dengan pencahayaan yang temaram. Tiap latihan Hinata tidaklah menggunakan pakaian kebangsawanannya, dia hanya menggunakan pakaian layaknya seorang lelaki yang bekerja di kandang kuda dengan ukuran yang pas di tubuh tentunya.
Kedua penjaga itu sudah melewati dirinya, sama seperti melewati dinding yang lain. Hinata tak terlihat seperti angin yang biasa mereka hirup. Tak ada rasa curiga, atau pun tanda-tanda ketika menemukan penyusup. Mereka terus berjalan dan terus mengawasi, tanpa menyadari keberadaan Hinata yang baru mereka lewati.
Hinata bernafas lega. Walau dia yakin tak akan ketahuan, namun sebagian dari dirinya masihlah merasa takut. Takut jika ketahuan dan mendapat hukuman yang berat. Bukan, bukannya dia takut dipenjara atau dihukum pancung, namun yang lebih mengerikan adalah dia tidak akan lagi berlatih dan gurunya yang akan mendapatkan hukuman yang lebih mengerikan. Hal yang sangat ditakutkan oleh Hinata.
Kembali dijejakkan kaki-kaki mungilnya. Dia sudah berhasil melewati penjagaan pertama, tinggal dua penjagaan lain. Penjaga pintu masuk kerajaan dan penjaga untuk halaman kerajaan. Matanya kemudian berubah lebih tajam dengan urat-urat yang muncul di sekitar matanya. Byakugan─kemampuan yang hanya diwariskan oleh keturunanya─dapat melihat ke seluruh arah, walau gelap dan terhalang pun penglihatannya bisa menembusnya.
Sekitar sepuluh meter arah depan terdapat dua penjaga yang menjaga pintu masuk kerajaan, lima belas meter dari arah selatan beberapa penjaga sedang berdiskusi, dan tidak jauh dari mereka dari arah utara terdapat seorang penjaga di atas menara yang mengarahkan lampu suar.
“Sepertinya akan sedikit sulit.” Gumam Hinata.
Dia kemudian berlari dengan masih mengaktifkan Byakugan-nya, menghindar dari penglihatan para penjaga, dengan melempar sesuatu hingga menimbulkan sebuah bunyi dan membuat fokus para penjaga teralih sebentar yang tentu saja kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Hinata.
Setelah melewati penjaga pintu, dia kemudian langsung bersembunyi di balik tanaman bongsai besar mirip harimau. Para penjaga yang tadi berdiskusi tidak menyadari keberadaannya, dan sekarang dirinya sedang berfokus pada si pemegang suar yang dia arahkan terus-menerus. Ketika penjaga tersebut mengarahkannya menjauh dari Hinata, Hinata kemudian segera memanfaatkan kesempatan itu untuk cepat berlari dan bergegas menuju hutan terlarang.
Sekitar dua ratus meter dari kerajaannya dan jalan masuk hutan, dapat dilihat adanya sebuah penerangan dari lampu pelita yang digantung di salah satu pohon. Penerangannya memang temaram, namun itu semua tak berefek pada penglihatan Hinata yang bisa melihat layaknya ketika matahari menynari tempatnya tinggal.
“Kau terlambat Hinata!?”
Seorang yang Hinata yakini adalah gurunya muncul dan menegurnya. Sosok bertubuh besar dan kekar dengan tampang datarnya. Dialah Tobirama senju. Walau sifatnya seperti itu, dia tetap oramg yang baik, buktinya dia mau mengajariku beladiri.
“Maaf sensei!” Sesal Hinata. “Penjagaan telah ditingkatkan, jadi aku harus menunggu sedikit lebih lama. tidak mungkin aku memukul mereka hingga pingsan, bisa-bisa terjadi kekacauan dan aku tidak mungkin bisa datang latihan sekarang.” lanjutnya sambil menunduk.
Memang benar akhir-akhir ini penjagaan di sekitar kerajaan makin bertambah padahal tidak ada tanda-tanda akan adanya kekacauan, kudeta, perang, atau sejenisnya.
“Yah sudahlah... Pemanasanlah dulu!” Ucapnya seraya menyerahkan Hinata pemberat untuk kemudian dia gunakan, kaki, tangan, termaksud lengan atas, serta pemberat yang seperti rompi. Yang beratnya rata-rata tiga puluh kilogram dan rompi seberat enam puluh lima kilo gram.
Setelah semua perlengkapan pemberat digunakan, dia kemudian melakukan pemanasan. Mulai pemanasan ringan hingga yang berat. Kemudian memulai latihannya.
Sebuah pedang yang tajam dan terawat berada digenggamannya lantas dia gunakan untuk melakukan tarian pedang yang sudah diajarkan oleh gurunya dengan menambahkan beberapa gerakan. Seketika kayu-kayu berdiameter tiga puluh sentimeter tertebas menjadi beberapa bagian dengan potongan yang sangat halus.
Hinata kemudian memasang kuda-kuda untuk menyerang, memfokuskan pandangannya ke kayu lain yang akan dia tebas. Pandangan matanya tajam menatap kayu-kayu itu seolah kayu tersebut adalah musuhnya. Hembusan nafas pelan keluar dari mulutnya sebelum mengarahkan pedangnya ke arah kayu-kayu itu. Lagi-lagi kayu tersebut tertebas rapi dengan potongan yang halus.
Dia menghunuskan pedang tanpa merasakan beban yang berada di tubuhnya. Memotong layaknya sebuah pudding yang ingin dia makan.
“Kau sudah lebih baik menggunakan pedang. Gerakanmu sudah bagus, tak ada gerakan yang sia-sia dan sepertinya kau menambahkan beberapa gerakan dalam tarian pedang itu, tapi itu bagus. Kau sudah banyak perkembangan.” Ucap guru itu tiba-tiba.
“Ah... Benarkah?” Sahutnya. “Tapi aku masih merasa ada yang kurang sensei, tetapi aku tdak tahu itu apa.” Lanjut Hinata dengan raut bingung menghentikan semua gerakannya. “Aku sepertinya tidak merasa puas dengan hasilku itu─ Entahlah, aku hanya merasa ada yang kurang.”
“Mungkin kau membutuhkan seorang lawan yang hebat.” Sahut guru Hinata memperhatikan raut bingung gadis itu.
“Mungkin saja. Karena selama latihan, aku hanya menebas benda mati dan hanya melawanmu, juga melawan binatang buas hutan ini─ ah. Maksudku kau hebat guru, aku bahkan sulit mengalahkanmu, tapi, benar apa yang sensei katakan aku butuh lawan lain yang bisa memuaskanku.”
“Kalau begitu besok siang kau datanglah ke pelataran. Akan ada pertandingan tarung antar para petarung. Bergabunglah dengan mereka dan bisa saja kau akan mendapatkan lawan yang bisa membuatmu puas.”
“Memang bisa?”
“Kau tinggal menyamar saja. Aku akan membantumu.”
“Wah... benarkah.. Arigato sensei. Hontoni arigato. Kau yang terbaik.” Ucap Sakura berbinar. Pedang yang ia pegang terjatuh lantaran terlalu girang.
“Hn. Kita akhiri sampai di sini. Besok kau tidak usah datang latihan. Besok aku akan mempersiapkan segala yang diperlukan untuk perjalananku ke Utara, ke kerajaan Nara. Raja mengutusku ke sana menggantikan beliau. Mungkin sekitar satu minggu.” Ucap guru Hinata tiba-tiba sambil menyarungi pedangnya dan pedang Hinata.
“Hhhhh.... Kalau begitu selama seminggu aku tidak akan latihan?” Ujar Hinata sendu sambil memperhatikan gurunya dan melepas pemberat yang ia gunakan.
“Sudahlah! Hanya seminggu. Lagi pula tubuhmu juga membutuhkan istirahat. Jadi selama seminggu istirahatkan tubuhmu dan jangan datang ke sini untuk berlatih. Kau mengertikan Hinata!?” kata guru Hinata tegas. Berbaik memberikan Hinata tatapan tak ada penolakan dan bantahan.
“Haik...” jawab Hinata tersentak. Bagaimana bisa gurunya tahu dia akan datang untuk latihan sendiri? Apa terlalu jelas di wajahnya?
“Kalau begitu pulanglah! Istirahat dan besok siang kau bisa ke pelataran untuk pertarungan nyatamu dengan orang lain. Aku akan membantumu.”
“Haik.” Sekali lagi Hinata hanya bisa menuruti perkataan gurunya tanpa bantahan.
...
.
.
.
“Uh....” Keluh seorang gadis yang masih dalam posisi tidurnya, “kata sensei aku harus mengistirahatkan tubuhku. Bangun sebelum dayang datang dan membuat tubuh menghangat. Apa-apaan itu? Tidur saja tidak cukup dua jam dan sekarang harus membuat tubuhku menghangat, jelas aku tidak bisa tidur nyenyak. Aaaahhh....” dengan terpaksa Hinata bangun, mendudukkan diri dan menenangkan pikirannya.
Setelah dirasanya cukup, digerakan tubuhnya layaknya sedang meditasi. Kakinya dia sila-kan, dan kedua tangannya dia tangkupkan sambil memejamkan mata.
Perlahan hawa di sekitar tubuhnya berubah hangat lambat laun berubah panas. Bulir-bulir peluh berlomba-lomba bermunculan dan membasahi tubuhnya. Gaun tidur yang dia gunakan lambat-lambat basah akibat keringat yang terus keluar dari tubuhnya.
Perlahan Hinata membaringkan kembali tubuhnya, memakai kembali selimutnya, dan menunggu hingga dayangnya masuk ke kamar.
Selang beberapa menit seorang dayang memasuki kamarnya. Kembali Hinata memposisikan tubuhnya membaring dan mulai memerankan peran layaknya orang sakit. Menutup erat kedua mata dan membuat tubuhnya seolah tengah menggigil untuk meyakinkan dayang tersebut.
“Hime-sama...~” panggil dayang itu.
“Hime-sama...~” sekali lagi dia mencoba memanggil Hinata agar terbangun.
Tidak ada sahutan, dayang itu maju perlahan dan mencoba membangunkannya. Berfikir apakah boleh seorang dayang sepertinya boleh menyentuh putrid itu. pasalnya selama ini Hinata tak pernah mau disentuh oleh para dayang.
Kaki dayang itu semakin mendekat, hingga ia bisa melihat keadaan Hinata. Tanpa disentuh pun dayang itu tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Hime-nya itu. Dia terlonjak kaget ketika melihat tubuh Hinata yang penuh peluh serta sedikit menggigil. Disentuhnya tubuh Hinata dan ia pun semakin terkejut ketika merasakan tubuh Hinata yang menghangat. “Hi─astaga... Ohime-sama, badan anda panas sekali. Ap.. Apa yang terjadi?” Ucap dayang itu panik dan bergegas keluar mencari pertolongan.
Dirasanya dayang itu sudah tidak berada di dalam kamarnya, sebelah matanya perlahan mengintip dari kelopak mata.
“Hhhh...” hembusan nafas pelan keluar dari bibirnya, “dayang tadi mudah sekali dibihongi.” Kikiknya pelan.
Krieeet.....
Merasa pintu kamarnya dibuka seseorang, dia kembali memposisikan tubuhnya seperti semula.
“Aku tidak tahu kenapa Hime-sama seperti itu. Aku baru saja akan membangunkannya, namun tidak jadi, karena badannya panas dan menggigil.” Jelas dayang yang tadi dibohongi oleh Hinata.
“Apa keluarga kerajaan lain sudah mengetahui ini?” Tanya seseorang yang diyakini Hinata adalah seorang tabib. Ah.. mungkin saja orang itu adalah orang yang sama yang dimaksud oleh sensei-nya.
“Belum Nyonya.” Jawab dayang itu.
“Baiklah kalau begitu. Tolong kau keluarah dulu, aku ingin memeriksanya.” Titah tabib itu dan mempersiapkan perlengkapannya
“Haik. Arigato gozaimasu.”
...
...
“Kau boleh membuka matamu!” Pinta sang tabib kepada Hinata. “Aku orang yang dimintai Tobirama untuk membantumu Hime. Bertahanlah hingga keluargamu menghampirimu dan kau boleh tidur aku akan membangunkanmu sebentar.”
“Baiklah. arigato gozaimasu, Nona Tsunade dan panggil saja aku Hinata sama seperti sensei memanggilku jika kita hanya berdua.”
“Baiklah dan panggil aku Tsunade.” Potong Tsunade.
“Ah... Arigato Tsunade-san.” Ucapnya dengan senyum.
.
<~0~>
.
Hosh... hosh... hosh...
“Hm... Banyak ternyata yang datang. Kira-kira lawan-lawannya seperti apa?” Ucap seorang dengan tudung yang menutupi tubuhnya. Penutup kepala dari jubah yang dia gunakan membuat rupa wajahnya hampir tak terlihat. Mata almetish-nya melihat-lihat suasana di sekitar gedung. Dia tengah berdiri di depan sebuah bangunan mirip kolosium namun beratap untuk tempat duduk para penonton.
Pendaftaran pertandingan akan ditutup setengah jam lagi, jadi siapa saja yang ingin mengikuti pertandingan ini harap mendaftar sekarang juga. Baik para pasukan kerajaan atau pun untuk penduduk lokal dan luar kerajaan.
Terdengar pengumuman batas pendaftaran oleh seorang panitia, dia kemudian menjajakan kakinya lebih cepat agar tak sampai terlambat.
Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit berlalu dirinya bisa sampai pada tempat pendaftaran dan untunglah dia belum terlambat.
“Ano... Saya mau mendaftarkan diri sebagai peserta.” Ucapnya pada seorang yang bertugas mencatat para peserta pertandingan.
“Saya juga.” Timpal seseorang dengan tiba-tiba dari arah belakangnya. Seseorang yang memiliki rambut model spike orange dengan tiga garis horizontal di masing-masing pipinya. Iris birunya menampakkan raut cemas. Pakaian yang dikenakannya hampir mirip dengan Hinata namun tanpa tudung. Pakaian model seperti seorang peternak.
“Hah... Untunglah kalian masih sempat. Kalian hampir saja terlambat. Kalau begitu ucapkan siapa nama kalian.”
“Saya Hiruka.” Ucap seorang bertudung. Atau Hinata yang tengah menyamar menjadi orang lain.
“Saya Naruto.” Lanjut pemuda itu. Pakaian orange penuh peluh─mungkin karena berlari ke sini─ dengan pedang yang dia sampirkan di punggungnya. Pedang yang memiliki motif rubah pada pegangannya. Hitam dan orange merupakan perpaduan warna pada sarungnya dengan gambar rubah berekor sembilan. Pedang yang belum pernah Hinata lihat di kerajaannya.
Setelah pendaftaran, mereka kemudian berjalan masuk dan menunggu pengumuman tentang siapa lawan tanding mereka nanti. Lorong kolosium yang mereka jejaki nampak remang-remang, karena pencahayaan hanya berasal dari sinar yang masuk dari cela-cela dinding.
Entah sengaja atau tidak. Lampu-lampu yang biasanya digunakan sebagai sumber pencahayaan tidak digunakan. Mungkin ini salah satu tes dalam pertandingan ini, mengingat lorong dalam kolosium seperti labirin yang memungkinkan orang bisa saja tersesat dan mengurangi jumlah peserta.
Pintar sekali.
Namun bukan berarti Hinata akan tersesat. Walau dia tidak pernah datang dan memasuki lorong dalam kolosium itu dia tidak akan tersesat. Cukup mengandalkan indra pendengarannya dan penglihatannya dia bisa mengetahui di mana letak ruangan para peserta menunggu arahan selanjutnya.
Salah satu kelebihan dari keturunan Hyuga dan hanya dimiliki oleh turunannya adalah mata mereka yang bisa melihat tembus pandang. Selain itu, berkat latihan yang selama ini ia lakukan, semakin mempertajam indranya.
“Hai...” Sapa pemuda itu pada Hiruka─Hinata dan membuat fokusnya teralih pada pemuda itu, namun bukan berarti dia akan menatap pemuda itu. “Aku Naruto.” Ucapnya sambil menujurkan tangan kanannya.
Hinata diam tak membalas uluran tangan laki-laki di sampingnya itu dan hanya menatap kedepannya tanpa mengalihkan perhatiannya.
“Hah.. Kau dingin sekali. Aku hanya ingin mencari teman bicara. Aku tidak mau mati kebosanan menunggu pertandingan.” Keluhnya sambil mengamati keadaan di sepanjang lorong yang mereka tapaki.
‘Benar apa yang dikatakan pemuda ini, tapi jika aku meladeninya, bukan tidak mungkin dia akan mengetahui identitasku. Tapi kalau berdiam terus pasti akan membosankan. Lalu apakah aku harus menyapanya juga, tapi─ ah... astaga, kenapa aku jadi bingung sendiri sih. Ah sudahlah, biarkan saja dia berkoar sendiri, toh nanti juga dia akan diam jika bosan.’ Pikir Hinata seraya memperhatika jalan yang mereka lalui.
“Ah... Tidak lama lagi kita sampai.” Ujar Naruto tiba-tiba.
Hinata melirik laki-laki itu sekilas. ‘Apa dia mempunyai kemampuan yang sama sepertiku?’ pikirnya kemudian.
“Kau terlihat biasa saja. Apa kau tidak merasa gugup bertemu dengan petarung yang lain?” sekali lagi pemuda itu bertanya. tak memedulikan jika Hinata terganggu.
Hinata ingin sekali menjawab bahwa dia malah semakin bersemangat bertemu mereka. Dia sangat senang karena bisa bertemu dengan para petarung yang lain dan dia tidak sabar untuk segera bertarung tetapi mulutnya seakan terkunci, tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya sebagai jawaban. Kebiasaan dari pembelajaran yang biasa dia dapatkan membuatnya seperti boneka yang hanya akan menyahuti pertanyaan yang menurutnya penting. Tuntutan kerajaan memaksanya menjadi seorang putri yang anggun dan hanya bisa berbicara seperlunya saja.
Diam dan mengamati adalah prinsipnya. Sangat membosankan. Apa yang dipikirkan tidak bisa tersampaikan dan hanya bisa dipendam. Lagipula untuk saat ini dia pun tak boleh asal bunyi, menyahuti orang. Bukan tidak mungkin ada orang yang bisa mengenali suaranya dan membuatnya harus terkurung lagi dalam istana tanpa melakukan sesuatu.
Lima menit berlalu sepanjang perjalanan hanya diselingi oleh kata-kata Naruto yang tidak dipedulikan oleh Hinata. Dia hanya menanggapinya dengan diam. Walau sebenarnya ingin sekali juga berkomentar, tetapi karena prinsipnya─ atau mungkin kebiasaannya─ dia hanya bisa berdiam dan mendengarkan.
Pemuda itu pun diam sejenak karena melihat cahaya di ujung lorong yang mereka lewati. Hinata tidak merasa heran sama sekali, karena ia tahu apa yang menyebabkan pemuda itu jadi terdiam. Setelah lima belas menit berjalan dan melewati cabang-cabang lorong mereka akhirnya sampai.
Ada sedikit rasa senang yang mencuat dari diri Hinata ketika tahu bahwa mereka telah sampai. Itu artinya sebentar lagi dia akan bertanding dan bisa mendapatkan lawan yang bisa memuaskannya, tidak seperti hewan-hewan buas yang biasa dia hadapi di hutan terlarang. Yang walau mereka kuat, besar, dan buas, namun gerakannya sangat mudah terbaca dan dengan mudah dikalahkan oleh Hinata.
Mereka kemudian memasuki ruangan itu. Ruangan yang sangat besar─yang bahkan bisa menampung ribuan prajurit atau bahkan puluhan ribu. Banyak sekali peserta yang mengikuti pertandingan itu. Tak heran sih sebetulnya, karena hadiah yang ditawarkan sangatlah menggiurkan, satu peti emas yang bisa membuatmu kaya hingga tujuh turunan dan tidak hanya itu pemenangnya juga mendapat gelar penghormatan dari sang raja. Kurang apa coba?
Tetapi tak banyak juga peserta yang mengikuti hanya untuk menjajahkan kekuatan mereka terutama untuk menunjukkan kekuatannya pada kerajaan lain. Bukan hanya para tentara kerajaan Hyuga yang menjadi pesertanya, ada juga rakyat biasa dan petarung dari luar bahkan prajurit dari kerajaan lain pun ikut berpartisipasi.
....Karena pendaftaran telah ditutup, kami akan mengumumkan tata cara pertandingan ini. Pertandingan ini terdiri dari tiga babak. Dan masing-masing peserta akan dibagi menjadi empat grup Kalian bisa melihatnya sebentar...~
Sekian.
Berakhirnya pengumuman tersebut, membuat para peserta segera menuju tempat pertandingannya setelah sebelumnya melihat nama dan grup mereka.
“Kau masuk grup apa?” Tanya seorang pemuda yang sedari tadi mengikuti Hinata. “Ku harap kita tidak satu grup. Aku tidak mau melawanmu selain di babak final nanti.” Lanjutnya beserta dengan cengirannya yang berhasil membuat Hinata sedikit terpesona.
‘Tampan.’ Ucap batin Hinata tanpa sadar.
Sadar akan ucapannya tadi, segera digelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia terpesona kepada pemuda yang baru saja dia kenal yang bahkan akan menjadi lawan tandingnya nanti.
“Sepertinya kita tidak se-grup. Lihatlah namumu dan namaku berada di grup yang berbeda.” Sahut Hinata dengan mengubah suaranya.
“Hah... syukurlah. Aku harap kita bertemu di babak final nanti. Kau jangan sampai kalah yah!”
Hinata tak menjawab, tetapi mengangguk. Rasanya dia juga ingin melawan pemuda itu. intuisinya mengatakan laki-laki itu kuat dan bisa memuaskannya.
.
.
TBC
.
.
Hah… akhirnya chapter 1 di update. Kali ini mickey membuatnya dengan gendre yang berbeda. Fict ini terisnpirasi dari khayalan aneh yang di dapat dari toilet (malu =,=). Hahaha… ^o^ (cengir ala Naruto sambil garuk-garuk kepala), tapi jangan berpikir yang aneh-aneh -_-. Aku dapatnya juga pas mandi kok. Ah.. kalian pasti juga pernah merasa, kebanyakan dapat ide itu pada saat berada di Kamar mandi, hahaha... :-D, aku pernah dengar sih kalau di kamar mandi itu pikiran kita biasa fokus, jadi gampang dapat ide (tapi itu tergantung dari pribadinya masing-masing) >,<
Oh.. iya, pasti ada yang merasa merasa anehkan dengan deskripsi istana dan kerajaan serta pakaian yang Hinata pakai? maaf yah, karena aku gak mengambil dari referensi jadi mungkin agak membingungkan. Penggambaran kerajaannya seperti kerajaan eropa dulu, tapi aku gabungkan dengan dengan adat jepang (tapi karena tidak terlalu di ceritakan dalam fict ini jadi jangan terlalu dipirkan, yah... ^,^) nikmati saja ceritanya.
Dan kalau kalian ada yang merasa aneh dengan jalan ceritanya, jangan sungkan-sungkan untuk menuangkannya dalam kolom review. Aku sangat senang jika ada kritik, saran, atau bahkan yang lain yang bisa membantuku dalam hal penulisan dan penambahan ide untuk cerita kedepannya.
Akhir curhat, Mickey ucapkan terima kasih karena meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. moga gak membosankan yah.
Hehehe... “.<
Mind to RNR?