👣👣👣
Langit berubah jingga perlahan, seperti lukisan air yang mengalir dari kuas alam. Di taman di tepi sungai mulai sepi, Yuki duduk sendirian di kursi kayu yang sudah mulai lapuk dimakan waktu. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya melayang ke banyak tempat.
Meski hari ini tidak istimewa. Tidak ada perayaan, tidak ada pencapaian, tidak ada kabar besar. Tapi Yuki memilih datang ke taman ini, seperti yang sering ia lakukan beberapa bulan terakhir. Di sinilah ia merasa bebas—bukan karena tempatnya sunyi, melainkan karena ia bisa melihat dunia bergerak tanpa harus ikut berlari.
Ia menyeruput kopi yang ia buat sebelum ke sana. Rasanya sedikit pahit, tapi itu bukan masalah. Kopi bukan untuk dinikmati dengan lidah saja melainkan dinikmati dengan hati. Dan hati Yuki, hari ini, sedang belajar merasa kembali.
Seorang anak kecil berlari mengejar balon yang tertiup angin, tertawa keras hingga membuat orang-orang di sekitarnya ikut tersenyum. Tak jauh dari situ, sepasang kekasih muda duduk di atas tikar kecil, berbagi camilan sambil menyender ke satu sama lain. Tawa mereka ringan, tak dibuat-buat. Di sudut lain, seorang ibu mengayun bayinya di atas pangkuan, menyanyikan lagu yang nyaris tenggelam oleh angin.
Yuki mengamati semua itu tanpa rasa iri, hanya kekaguman. Betapa indahnya hidup ketika dilihat dari luar, tanpa beban pribadi, tanpa luka yang harus disembunyikan. Ia menyandarkan punggung ke bangku, membiarkan matanya setengah terpejam.
Beberapa bulan lalu, dunia Yuki nyaris runtuh. Pekerjaan yang selama ini ia kejar habis-habisan tiba-tiba hilang. Hubungan yang ia kira akan bertahan, kandas begitu saja. Ia sempat merasa hampa, seperti tubuh yang berjalan tanpa jiwa.
Namun sore demi sore di taman ini mengajarkannya satu hal: hidup tak harus selalu sibuk berlari. Ada waktunya untuk diam. Untuk duduk, memperhatikan, dan belajar tertawa lagi—walau hanya lewat tawa orang lain.
Seekor kucing liar melintas di kakinya, mengeong kecil sebelum melompat ke semak. Yuki tertawa pelan, entah kenapa. Mungkin karena ia merasa ditemani. Mungkin karena ia sadar, dirinya tidak benar-benar sendiri.
Langit semakin temaram, berubah menjadi ungu keabu-abuan. Lampu-lampu taman menyala satu per satu, seperti bintang yang turun lebih awal. Yuki berdiri perlahan, meraih tasnya, dan memandangi sekeliling untuk terakhir kalinya sore itu.
Ia menarik napas dalam-dalam.
“Terima kasih,” bisiknya pada senja, pada tawa anak-anak, pada udara yang masih setia membelai pipinya.
Hidup memang tak selalu mudah. Tapi hari ini, Yuki berhasil menemukan damai dalam hal-hal kecil.
Dan itu cukup.
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment